Konflik Belarusia Bisa Memicu Perang Eropa
loading...
A
A
A
MINSK - Konflik dalam negeri di Belarusia menjadi perhatian negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) pimpinan Amerika Serikat (AS). Mereka juga fokus meningkatkan pertahanan di perbatasan seiring dengan peningkatan penjagaan di perbatasan Belarusia. Rusia menjadi penentu apakah konflik Belarusia akan berubah menjadi medan pertempuran atau tidak.
Belarusia berdalih, mereka tidak ingin mendapatkan intervensi dan campur tangan dari negara Uni Eropa (UE) dan AS terhadap ketegangan politik di dalam negeri mereka. Mereka khawatir jika NATO mengintervensi karena kubu oposisi memang menunjukkan arah keberpihakan kepada UE. Pemerintah Belarusia saat ini juga sepertinya ingin terus berkuasa dan ingin tetap menjadi negara satelit Rusia.
Konflik di dalam negeri Belarusia juga sebenarnya bukan konflik antarpemilih atau elektoral. Namun, konflik yang mengarah kepada suksesi kepemimpinan. Apa yang dialami di Belarusia sebenarnya sama seperti yang dialami negara bekas pecahan Uni Soviet, mulai Rusia hingga Turkmenistan, dari Ukraina hingga Uzbekistan. Tidak ada transisi suksesi damai di antara negara-negara bekas Uni Soviet. Negara yang masih muda itu memandang bahwa pemimpin yang berani melawan, maka akan menghadapi tiga pilihan, yakni kematian, penjara, atau pengasingan. (Baca: Rakyat Belarusia Lawan Diktator)
Namun demikian, konflik di Belarusia sepertinya mengarah menjadi konflik global. Apalagi itu terjadi saat pandemi virus korona yang masih mewabah di seluruh dunia. Keinginan Presiden Alexander Lukashenko untuk tetap bertahan ternyata mendapatkan perlawanan dari rakyatnya. Bukan hanya itu, UE pun menentangnya. AS pun demikian. Namun, Lukashenko masih mendapatkan dukungan penuh Presiden Rusia Vladimir Putin. Posisinya pun aman karena UE dan AS harus berpikir berulang kali untuk mengintervensi Belarusia.
Dalam pandangan Irvin Studin, and Presiden Institute for 21st Century Questions, apa yang terjadi di Belarusia merupakan bentuk “radikalisasi Rusia” di mana Belarusia telah mengalami radikalisasi yang telah diatur strateginya. “Radikalisasi Rusia juga terjadi saat penggulingan Viktor Yanukovich di Ukraina, insiden Rusia menganeksasi Crimea,” ungkap Studin dilansir South China Morning Post. Apa yang terjadi di Belarusia merupakan pengulangan dari apa yang terjadi di Ukraina dan Crimea.
Belarusia dengan penduduk hanya 10 juta jiwa, tentunya tidak seperti Ukraina yang memiliki 40 juta penduduk bagi psikologis dan strategi Rusia. Belarusia juga tidak terlalu penting dalam strategi UE. Masa depan Belarusia dalam keanggotaan NATO juga tidak masuk skenario melihat nasib Lukashenko. “Isu radikalisasi Rusia akibat destabilisasi Belarusia menjadi isu di tengah ketegangan antara Beijing dan Washington, serta pemilu presiden AS,” ungkap Studin. (Baca juga: Zulhas Sebut Gaya Kepemimpinan Amien Rais Ibarat Pesawat)
Dalam jangka panjang, kepemimpinan generasi mendatang Belarusia sebenarnya akan lebih baik karena banyak penduduk berpendidikan tinggi. Satu kubu memiliki kedekatan psikologis dengan Rusia dan Ukraina. Sementara kubu lainnya masih memiliki kedekatan dengan UE dan AS.
Dalam jangka pendek, bisa saja insiden buruk akan terjadi. Belarusia akan kolaps. Rusia akan turun tangan. Perang global terjadi karena aktivasi militer Rusia dengan konsekuensi destabilisasi Eropa. UE jelas tak menginginkan hal itu karena masih trauma dengan Perang Dunia I dan II. Apakah perang bisa dicegah?
“Mungkin. Belarusia, Prancis, dan Jerman pernah mengintervensi Ukraina. Perlu negara ketiga dari Asia, Barat, dan bekas jajahan Uni Soviet untuk memediasi konflik di Belarusia,” saran Studin. Mediasi pun harus jelas dengan tujuan utama membangun proses suksesi kekuasaan di Belarusia dan menciptakan stabilitas keamanan, politik, dan ekonomi.
Militer UE Siaga Penuh
Meskipun semua pihak menghendaki tidak ada perang di perbatasan Belarusia. Namun, anggota NATO sudah saling mengamankan perbatasan dengan Belarusia. Mereka sudah memobilisasi pasukan garda depan di perbatasan. (Baca juga: Tembus Rp200 Triliun, Penerimaan Cukai Rokok RI Terbesar se-Asia Tenggara)
Presiden Lukashenko sudah menyalahkan AS yang berencana dan menjalankan kerusuhan bersama dengan negara-negara UE yang memainkan skenario. Dia menuding negara tetangga NATO mencoba meningkatkan eskalasi militer untuk menggulingkannya setelah sebagian blok negara Eropa Timur memilih berpihak ke UE.
“Kamu tahu, ketika terjadi kerusuhan, maka tank dan pesawat akan segera masuk. Ini tidak ada pengecualian,” kata Lukashenko. “Sementara militer menggelar latihan di luar, apa maksud mereka? Mereka hendak melakukan invasi jika dibutuhkan,” paparnya.
Lukashenko pun telah meminta perbatasan Belarusia untuk diperkuat. Militer Belarusia sudah mengumumkan serangkaian manuver dan latihan hingga akhir bulan. “Kita semua rakyat Belarusia,” kata Menteri Pertahanan Mayor Jenderal Viktor Khrenin. “Ini tanah air kita dan kita tidak akan menyerahkannya kepada orang lain,” tambahnya.
Polandia dan Lithuania merupakan anggota NATO yang sangat hati-hati dengan segala langkah mereka. Apalagi, kedua negara itu menginginkan Lukashenko lengser. “Polandia hati-hati mengikuti aktivitas pergerakan militer di luar perbatasan kita,” demikian keterangan Kementerian Luar Negeri Polandia.
Pekan lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin telah menawari bantuan kepada Lukashenko untuk menstabilkan Belarusia jika memang diperlukan. Belarusia pun menerima tawaran Putin jika ada ancaman eksternal ke negara tersebut. Rusia kerap menggunakan aksi militer untuk memberikan dukungan kepada negara yang menjadi sekutunya. Itu terjadi di Georgia pada 2008 dan Ukraina pada 2014.
Sebenarnya, permintaan bantuan militer dari Moskow oleh Belarusia sebagai upaya melindungi rezim berkuasa. Itu juga sebagai upaya untuk mencegah UE dan AS mengintervensi Belarusia lebih dalam. Kebangkitan masyarakat sipil di Belarusia pun akan terasa sulit karena pembungkaman akan terus terjadi. (Lihat videonya: Pembunuh Keji Satu Keluarga di Sukoharjo Ditangkap)
Itu terbukti ketika Presiden Lukashenko mengancam akan menutup pabrik jika para pekerjanya menggelar demonstrasi. “Jika pabrik tidak bekerja, maka pintu gerbang akan ditutup dan berhenti,” ucapnya dilansir RIA. Ancaman itu terjadi ketika sejumlah buruh di pabrik milik pemerintah justru ikut menggelar aksi menentang pemerintah.
Sementara itu, pemimpin oposisi Belarusia Sviatlana Tsikhanouskaya, yang melarikan diri ke Lithuania, mengungkapkan bahwa dirinya mendapatkan dukungan dari sejumlah pemimpin Eropa.Dalam wawancara dengan Reuters, Tsikhanouskaya menganggap sebagai simbol perubahan dan menginginkan pemilu baru atau Lukashenko mengundurkan diri.
Pada hari ini, Tsikhanouskaya dijadwalkan akan bertemu dengan Deputi Menteri Luar Negeri AS Stephen Biegun di Lithuania. Itu bertujuan untuk mencari solusi atas ketegangan di Belarusia. Selain itu, Biegun juga akan terbang ke Moskow untuk mencari resolusi damai dan mencegah intervensi Rusia ke Belarusia. (Andika H Mustaqim)
Belarusia berdalih, mereka tidak ingin mendapatkan intervensi dan campur tangan dari negara Uni Eropa (UE) dan AS terhadap ketegangan politik di dalam negeri mereka. Mereka khawatir jika NATO mengintervensi karena kubu oposisi memang menunjukkan arah keberpihakan kepada UE. Pemerintah Belarusia saat ini juga sepertinya ingin terus berkuasa dan ingin tetap menjadi negara satelit Rusia.
Konflik di dalam negeri Belarusia juga sebenarnya bukan konflik antarpemilih atau elektoral. Namun, konflik yang mengarah kepada suksesi kepemimpinan. Apa yang dialami di Belarusia sebenarnya sama seperti yang dialami negara bekas pecahan Uni Soviet, mulai Rusia hingga Turkmenistan, dari Ukraina hingga Uzbekistan. Tidak ada transisi suksesi damai di antara negara-negara bekas Uni Soviet. Negara yang masih muda itu memandang bahwa pemimpin yang berani melawan, maka akan menghadapi tiga pilihan, yakni kematian, penjara, atau pengasingan. (Baca: Rakyat Belarusia Lawan Diktator)
Namun demikian, konflik di Belarusia sepertinya mengarah menjadi konflik global. Apalagi itu terjadi saat pandemi virus korona yang masih mewabah di seluruh dunia. Keinginan Presiden Alexander Lukashenko untuk tetap bertahan ternyata mendapatkan perlawanan dari rakyatnya. Bukan hanya itu, UE pun menentangnya. AS pun demikian. Namun, Lukashenko masih mendapatkan dukungan penuh Presiden Rusia Vladimir Putin. Posisinya pun aman karena UE dan AS harus berpikir berulang kali untuk mengintervensi Belarusia.
Dalam pandangan Irvin Studin, and Presiden Institute for 21st Century Questions, apa yang terjadi di Belarusia merupakan bentuk “radikalisasi Rusia” di mana Belarusia telah mengalami radikalisasi yang telah diatur strateginya. “Radikalisasi Rusia juga terjadi saat penggulingan Viktor Yanukovich di Ukraina, insiden Rusia menganeksasi Crimea,” ungkap Studin dilansir South China Morning Post. Apa yang terjadi di Belarusia merupakan pengulangan dari apa yang terjadi di Ukraina dan Crimea.
Belarusia dengan penduduk hanya 10 juta jiwa, tentunya tidak seperti Ukraina yang memiliki 40 juta penduduk bagi psikologis dan strategi Rusia. Belarusia juga tidak terlalu penting dalam strategi UE. Masa depan Belarusia dalam keanggotaan NATO juga tidak masuk skenario melihat nasib Lukashenko. “Isu radikalisasi Rusia akibat destabilisasi Belarusia menjadi isu di tengah ketegangan antara Beijing dan Washington, serta pemilu presiden AS,” ungkap Studin. (Baca juga: Zulhas Sebut Gaya Kepemimpinan Amien Rais Ibarat Pesawat)
Dalam jangka panjang, kepemimpinan generasi mendatang Belarusia sebenarnya akan lebih baik karena banyak penduduk berpendidikan tinggi. Satu kubu memiliki kedekatan psikologis dengan Rusia dan Ukraina. Sementara kubu lainnya masih memiliki kedekatan dengan UE dan AS.
Dalam jangka pendek, bisa saja insiden buruk akan terjadi. Belarusia akan kolaps. Rusia akan turun tangan. Perang global terjadi karena aktivasi militer Rusia dengan konsekuensi destabilisasi Eropa. UE jelas tak menginginkan hal itu karena masih trauma dengan Perang Dunia I dan II. Apakah perang bisa dicegah?
“Mungkin. Belarusia, Prancis, dan Jerman pernah mengintervensi Ukraina. Perlu negara ketiga dari Asia, Barat, dan bekas jajahan Uni Soviet untuk memediasi konflik di Belarusia,” saran Studin. Mediasi pun harus jelas dengan tujuan utama membangun proses suksesi kekuasaan di Belarusia dan menciptakan stabilitas keamanan, politik, dan ekonomi.
Militer UE Siaga Penuh
Meskipun semua pihak menghendaki tidak ada perang di perbatasan Belarusia. Namun, anggota NATO sudah saling mengamankan perbatasan dengan Belarusia. Mereka sudah memobilisasi pasukan garda depan di perbatasan. (Baca juga: Tembus Rp200 Triliun, Penerimaan Cukai Rokok RI Terbesar se-Asia Tenggara)
Presiden Lukashenko sudah menyalahkan AS yang berencana dan menjalankan kerusuhan bersama dengan negara-negara UE yang memainkan skenario. Dia menuding negara tetangga NATO mencoba meningkatkan eskalasi militer untuk menggulingkannya setelah sebagian blok negara Eropa Timur memilih berpihak ke UE.
“Kamu tahu, ketika terjadi kerusuhan, maka tank dan pesawat akan segera masuk. Ini tidak ada pengecualian,” kata Lukashenko. “Sementara militer menggelar latihan di luar, apa maksud mereka? Mereka hendak melakukan invasi jika dibutuhkan,” paparnya.
Lukashenko pun telah meminta perbatasan Belarusia untuk diperkuat. Militer Belarusia sudah mengumumkan serangkaian manuver dan latihan hingga akhir bulan. “Kita semua rakyat Belarusia,” kata Menteri Pertahanan Mayor Jenderal Viktor Khrenin. “Ini tanah air kita dan kita tidak akan menyerahkannya kepada orang lain,” tambahnya.
Polandia dan Lithuania merupakan anggota NATO yang sangat hati-hati dengan segala langkah mereka. Apalagi, kedua negara itu menginginkan Lukashenko lengser. “Polandia hati-hati mengikuti aktivitas pergerakan militer di luar perbatasan kita,” demikian keterangan Kementerian Luar Negeri Polandia.
Pekan lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin telah menawari bantuan kepada Lukashenko untuk menstabilkan Belarusia jika memang diperlukan. Belarusia pun menerima tawaran Putin jika ada ancaman eksternal ke negara tersebut. Rusia kerap menggunakan aksi militer untuk memberikan dukungan kepada negara yang menjadi sekutunya. Itu terjadi di Georgia pada 2008 dan Ukraina pada 2014.
Sebenarnya, permintaan bantuan militer dari Moskow oleh Belarusia sebagai upaya melindungi rezim berkuasa. Itu juga sebagai upaya untuk mencegah UE dan AS mengintervensi Belarusia lebih dalam. Kebangkitan masyarakat sipil di Belarusia pun akan terasa sulit karena pembungkaman akan terus terjadi. (Lihat videonya: Pembunuh Keji Satu Keluarga di Sukoharjo Ditangkap)
Itu terbukti ketika Presiden Lukashenko mengancam akan menutup pabrik jika para pekerjanya menggelar demonstrasi. “Jika pabrik tidak bekerja, maka pintu gerbang akan ditutup dan berhenti,” ucapnya dilansir RIA. Ancaman itu terjadi ketika sejumlah buruh di pabrik milik pemerintah justru ikut menggelar aksi menentang pemerintah.
Sementara itu, pemimpin oposisi Belarusia Sviatlana Tsikhanouskaya, yang melarikan diri ke Lithuania, mengungkapkan bahwa dirinya mendapatkan dukungan dari sejumlah pemimpin Eropa.Dalam wawancara dengan Reuters, Tsikhanouskaya menganggap sebagai simbol perubahan dan menginginkan pemilu baru atau Lukashenko mengundurkan diri.
Pada hari ini, Tsikhanouskaya dijadwalkan akan bertemu dengan Deputi Menteri Luar Negeri AS Stephen Biegun di Lithuania. Itu bertujuan untuk mencari solusi atas ketegangan di Belarusia. Selain itu, Biegun juga akan terbang ke Moskow untuk mencari resolusi damai dan mencegah intervensi Rusia ke Belarusia. (Andika H Mustaqim)
(ysw)