China dalam Posisi Tak Menguntungkan soal Pertikaiannya dengan Filipina
loading...
A
A
A
MANILA - China menghadapi peringatan tegas dari Amerika Serikat (AS), bahwa jika mereka berani melancarkan serangan terhadap pasukan Filipina, maka Washington akan membantu Manila.
Tidak ada keraguan lagi bahwa Filipina dan AS kini bersatu dalam menentang ekspansionisme maritim China di Laut China Selatan, dan hal ini membuat Beijing merasa perlu mendekati Manila untuk berdialog damai.
Kalangan diplomatik terkejut karena beberapa hari setelah pasukan China melancarkan serangan mematikan terhadap pasukan Filipina yang lebih mirip tindakan pembajakan daripada tindakan ofensif, Wakil Menteri Luar Negeri China Chen Xiaodong pergi ke Manila di awal Juli untuk mencari cara meredakan ketegangan dan menghindari konflik yang dapat melibatkan AS.
Dalam serangan yang dilakukan pada bulan Juni, sebuah kapal Coast Guard China sengaja diarahkan untuk bertabrakan dengan sebuah kapal Filipina yang hendak mengirimkan makanan, perbekalan, dan material konstruksi kepada pasukan Filipina di Second Thomas Shoal—wilayah Filipina yang diklaim secara ilegal oleh China.
Sejak tahun 1999, sebuah kapal perang Filipina yang sudah tua terdampar di Second Thomas Shoal; berfungsi sebagai pos militer terpencil Manila di pulau tersebut.
Seperti perampok pada umumnya, pasukan Coast Guard China melompat ke geladak dua kapal militer Filipina yang mengawal kapal yang mengirimkan perbekalan dan menyerang personel Angkatan Laut Filipina dengan parang, kapak, dan palu; merusak kapal-kapal tersebut. Seorang personel Angkatan Laut Filipina kehilangan ibu jarinya dalam serangan tersebut.
Coast Guard China juga menjarah beberapa senapan dari kedua kapal Filipina. Karena ingin mencegah eskalasi, personel Angkatan Laut Filipina mencoba melawan serangan China dengan tangan kosong.
Namun, AS tidak senang dengan tindakan tak konvensional China tersebut. Keesokan harinya, Washington memperbarui peringatan bahwa mereka berkewajiban membela sekutu dekat mereka, Filipina, dengan menggambarkan manuver China tersebut sebagai "tindakan berbahaya yang mengancam perdamaian dan stabilitas regional."
Mengutip dari The Singapore Post, Selasa (16/7/2024), Wakil Menteri Luar Negeri AS Kurt Campbell menegaskan kembali Perjanjian Pertahanan Bersama tahun 1951 yang mewajibkan Washington dan Manila untuk saling membantu dalam konflik besar, “yang mencakup serangan bersenjata terhadap Angkatan Bersenjata Filipina, kapal atau pesawat umum, termasuk milik Coast Guard-nya, di mana pun di Laut China Selatan.”
Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr telah menegaskan bahwa negaranya tidak akan menyerah kepada "kekuatan asing mana pun”, sementara Kepala Angkatan Bersenjata Filipina Jenderal Romeo Brawner telah memperingatkan bahwa pasukannya akan melawan jika diserang lagi di Laut China Selatan.
Jenderal Brawner juga telah meminta China untuk membayar ganti rugi sebesar USD1 juta kepada Filipina untuk dua kapal Angkatan Laut tersebut, dan mengembalikan tujuh senapan yang disita Coast Guard China. Militer Filipina juga dapat meminta China untuk membiayai operasi yang direncanakan pada tangan perwira Angkatan Laut yang kehilangan ibu jari kanannya.
Tidak seperti retorika yang biasa digunakan untuk membenarkan perilaku sewenang-wenangnya terhadap negara-negara yang dianggap China lebih lemah dari dirinya sendiri, kali ini Beijing telah mendekati Manila untuk berunding.
Dalam kunjungan Wakil Menteri Luar Negeri China Chen Xiaodong ke Manila, sebuah perjanjian ditandatangani antara kedua negara untuk meningkatkan komunikasi selama keadaan darurat di laut.
Kedua belah pihak sepakat melanjutkan pembicaraan tentang peningkatan hubungan antara Coast Guard mereka. Ada juga rencana membangun kepercayaan lain untuk mengadakan forum akademis di antara para ilmuwan dan akademisi guna meningkatkan kerja sama ilmiah kelautan.
Wakil Menteri Luar Negeri Filipina Theresa Lazaro telah menjelaskan kepada Wakil Menteri Luar Negeri China: “Filipina akan gigih dalam melindungi kepentingannya dan menegakkan kedaulatan, hak kedaulatan, dan yurisdiksinya di Laut China Selatan.”
Dalam gerakan perdamaian lebih lanjut, China baru-baru ini mengungkapkan untuk kali pertama apa yang diklaimnya sebagai "perjanjian tidak tertulis" dengan Filipina mengenai akses ke kepulauan Laut China Selatan ketika mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte, yang dikenal pro-China, telah mengunjungi Beijing.
Berdasarkan perjanjian ini, Filipina telah diizinkan untuk melakukan penangkapan ikan skala kecil di sekitar kepulauan di Laut China Selatan, menurut laporan Australian Broadcasting Corporation (ABC).
Para pakar dalam urusan Angkatan Laut mengomentari pernyataan China terkait perjanjian tidak tertulis dengan Filipina. Menurut mereka, hal ini menunjukkan bahwa Beijing tidak memiliki dokumen resmi untuk membuktikan posisinya di Second Thomas Shoal.
Selain Filipina, Vietnam, Malaysia, Taiwan, dan Brunei Darussalam juga memiliki klaim atas pulau-pulau di Laut China Selatan yang diklaim China. Beijing telah menolak untuk mengakui putusan arbitrase internasional pada 2016 oleh pengadilan terafiliasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Den Haag, yang mementahkan klaim sepihak China di Laut China Selatan.
Menurut para analis, China sekarang khawatir bahwa hubungan militer yang lebih erat antara Filipina dan Amerika Serikat dapat memperkuat posisi Washington di Laut China Selatan—yang tentunya merugikan Beijing.
Di masa mendatang, militer AS akan berada dalam posisi yang lebih baik untuk campur tangan jika China melancarkan tindakan militer yang salah terhadap Taiwan.
Dalam skenario seperti itu, berdasarkan ketentuan Perjanjian Pertahanan Bersama, Filipina akan memberikan bantuan kepada pasukan AS dengan fasilitas logistik yang diperlukan.
Puluhan ribu pasukan Filipina dan AS telah mengambil bagian dalam serangkaian latihan gabungan sejak 2023. Latihan tersebut berlanjut pada 2024 di bawah program "kegiatan kerja sama maritim."
Bersamaan dengan ini, patroli maritim gabungan, latihan militer, dan pengadaan perangkat keras militer terus berlanjut.
Sejak Presiden Ferdinand Marcos Jr memangku jabatan di Filipina pada 2022, pasukan AS telah diizinkan mengakses semakin banyak pangkalan militer di negara tersebut.
Pada 2023, Manila setuju untuk menambah jumlah pangkalan militer AS di Filipina berdasarkan Perjanjian Kerja Sama Pertahanan yang Ditingkatkan antara kedua negara, dari empat menjadi sembilan.
Salah satu lokasi tempat pasukan AS diizinkan tinggal bergilir lebih lama adalah di ujung timur laut kepulauan Luzon, hanya sekitar 400 kilometer dari Taiwan.
Jika Beijing berpikir bahwa mereka dapat memenangkan hati Manila melalui negosiasi damainya, para pemimpin Partai Komunis China (CCP) perlu berpikir ulang. Seperti yang ditulis kantor berita Al Jazeera: "Pada tanggal 2 Februari 1995, sebuah kapal patroli Angkatan Laut Filipina menemukan sebuah bangunan baru di atas panggung yang mengibarkan bendera China di terumbu karang yang terendam, sekitar 240 km dari pulau Palawan, Filipina.”
Para pelaut itu pergi ke Mischief Reef di Laut China Selatan setelah seorang nelayan Filipina melaporkan telah ditawan tentara China. Beijing menepis tuduhan tersebut dan mengeklaim bahwa bangunan di terumbu karang yang memiliki antena parabola untuk komunikasi dengan daratan China itu merupakan tempat berlindung bagi para nelayan China.
Saat ini, Mischief Reef menjadi pos militer China yang lengkap dengan landasan pacu lapangan terbang, sistem radar, dan gudang yang menampung sistem rudal permukaan-ke-udara di tanah yang direklamasi dari laut.
“Kapal-kapal militer China berpatroli di daerah itu, mengganggu pasukan Filipina dengan laser dan meriam air, serta menghalangi para nelayan Filipina dari daerah penangkapan ikan yang kaya di perairan itu dengan menabrakkan kapal-kapal mereka dan menyita hasil tangkapan mereka,” lanjut laporan Al Jazeera.
Pandangan di kalangan militer Filipina adalah; "Seandainya ada kehadiran Amerika, China tidak akan bisa mengambil alih Mischief Reef."
Tidak mengherankan bahwa warga Filipina saat ini pro-Amerika. Sikap pro-China sebelumnya tidak bisa diterima di negara tersebut.
"Jutaan etnis Filipina-Amerika tinggal di Amerika Serikat, dan beremigrasi ke Amerika masih menjadi tujuan populer bagi warga Filipina," tulis artikel South China Morning Post.
Lihat Juga: Daftar 11 Kapal Induk Bertenaga Nuklir AS, Aset Strategis untuk Pertahankan Pengaruh Global
Tidak ada keraguan lagi bahwa Filipina dan AS kini bersatu dalam menentang ekspansionisme maritim China di Laut China Selatan, dan hal ini membuat Beijing merasa perlu mendekati Manila untuk berdialog damai.
Kalangan diplomatik terkejut karena beberapa hari setelah pasukan China melancarkan serangan mematikan terhadap pasukan Filipina yang lebih mirip tindakan pembajakan daripada tindakan ofensif, Wakil Menteri Luar Negeri China Chen Xiaodong pergi ke Manila di awal Juli untuk mencari cara meredakan ketegangan dan menghindari konflik yang dapat melibatkan AS.
Dalam serangan yang dilakukan pada bulan Juni, sebuah kapal Coast Guard China sengaja diarahkan untuk bertabrakan dengan sebuah kapal Filipina yang hendak mengirimkan makanan, perbekalan, dan material konstruksi kepada pasukan Filipina di Second Thomas Shoal—wilayah Filipina yang diklaim secara ilegal oleh China.
Sejak tahun 1999, sebuah kapal perang Filipina yang sudah tua terdampar di Second Thomas Shoal; berfungsi sebagai pos militer terpencil Manila di pulau tersebut.
Seperti perampok pada umumnya, pasukan Coast Guard China melompat ke geladak dua kapal militer Filipina yang mengawal kapal yang mengirimkan perbekalan dan menyerang personel Angkatan Laut Filipina dengan parang, kapak, dan palu; merusak kapal-kapal tersebut. Seorang personel Angkatan Laut Filipina kehilangan ibu jarinya dalam serangan tersebut.
Coast Guard China juga menjarah beberapa senapan dari kedua kapal Filipina. Karena ingin mencegah eskalasi, personel Angkatan Laut Filipina mencoba melawan serangan China dengan tangan kosong.
Namun, AS tidak senang dengan tindakan tak konvensional China tersebut. Keesokan harinya, Washington memperbarui peringatan bahwa mereka berkewajiban membela sekutu dekat mereka, Filipina, dengan menggambarkan manuver China tersebut sebagai "tindakan berbahaya yang mengancam perdamaian dan stabilitas regional."
Mengutip dari The Singapore Post, Selasa (16/7/2024), Wakil Menteri Luar Negeri AS Kurt Campbell menegaskan kembali Perjanjian Pertahanan Bersama tahun 1951 yang mewajibkan Washington dan Manila untuk saling membantu dalam konflik besar, “yang mencakup serangan bersenjata terhadap Angkatan Bersenjata Filipina, kapal atau pesawat umum, termasuk milik Coast Guard-nya, di mana pun di Laut China Selatan.”
Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr telah menegaskan bahwa negaranya tidak akan menyerah kepada "kekuatan asing mana pun”, sementara Kepala Angkatan Bersenjata Filipina Jenderal Romeo Brawner telah memperingatkan bahwa pasukannya akan melawan jika diserang lagi di Laut China Selatan.
Jenderal Brawner juga telah meminta China untuk membayar ganti rugi sebesar USD1 juta kepada Filipina untuk dua kapal Angkatan Laut tersebut, dan mengembalikan tujuh senapan yang disita Coast Guard China. Militer Filipina juga dapat meminta China untuk membiayai operasi yang direncanakan pada tangan perwira Angkatan Laut yang kehilangan ibu jari kanannya.
China Melunak?
Tidak seperti retorika yang biasa digunakan untuk membenarkan perilaku sewenang-wenangnya terhadap negara-negara yang dianggap China lebih lemah dari dirinya sendiri, kali ini Beijing telah mendekati Manila untuk berunding.
Dalam kunjungan Wakil Menteri Luar Negeri China Chen Xiaodong ke Manila, sebuah perjanjian ditandatangani antara kedua negara untuk meningkatkan komunikasi selama keadaan darurat di laut.
Kedua belah pihak sepakat melanjutkan pembicaraan tentang peningkatan hubungan antara Coast Guard mereka. Ada juga rencana membangun kepercayaan lain untuk mengadakan forum akademis di antara para ilmuwan dan akademisi guna meningkatkan kerja sama ilmiah kelautan.
Wakil Menteri Luar Negeri Filipina Theresa Lazaro telah menjelaskan kepada Wakil Menteri Luar Negeri China: “Filipina akan gigih dalam melindungi kepentingannya dan menegakkan kedaulatan, hak kedaulatan, dan yurisdiksinya di Laut China Selatan.”
Dalam gerakan perdamaian lebih lanjut, China baru-baru ini mengungkapkan untuk kali pertama apa yang diklaimnya sebagai "perjanjian tidak tertulis" dengan Filipina mengenai akses ke kepulauan Laut China Selatan ketika mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte, yang dikenal pro-China, telah mengunjungi Beijing.
Berdasarkan perjanjian ini, Filipina telah diizinkan untuk melakukan penangkapan ikan skala kecil di sekitar kepulauan di Laut China Selatan, menurut laporan Australian Broadcasting Corporation (ABC).
Para pakar dalam urusan Angkatan Laut mengomentari pernyataan China terkait perjanjian tidak tertulis dengan Filipina. Menurut mereka, hal ini menunjukkan bahwa Beijing tidak memiliki dokumen resmi untuk membuktikan posisinya di Second Thomas Shoal.
Selain Filipina, Vietnam, Malaysia, Taiwan, dan Brunei Darussalam juga memiliki klaim atas pulau-pulau di Laut China Selatan yang diklaim China. Beijing telah menolak untuk mengakui putusan arbitrase internasional pada 2016 oleh pengadilan terafiliasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Den Haag, yang mementahkan klaim sepihak China di Laut China Selatan.
Menurut para analis, China sekarang khawatir bahwa hubungan militer yang lebih erat antara Filipina dan Amerika Serikat dapat memperkuat posisi Washington di Laut China Selatan—yang tentunya merugikan Beijing.
Di masa mendatang, militer AS akan berada dalam posisi yang lebih baik untuk campur tangan jika China melancarkan tindakan militer yang salah terhadap Taiwan.
Dalam skenario seperti itu, berdasarkan ketentuan Perjanjian Pertahanan Bersama, Filipina akan memberikan bantuan kepada pasukan AS dengan fasilitas logistik yang diperlukan.
Puluhan ribu pasukan Filipina dan AS telah mengambil bagian dalam serangkaian latihan gabungan sejak 2023. Latihan tersebut berlanjut pada 2024 di bawah program "kegiatan kerja sama maritim."
Bersamaan dengan ini, patroli maritim gabungan, latihan militer, dan pengadaan perangkat keras militer terus berlanjut.
Sentimen Pro-Amerika
Sejak Presiden Ferdinand Marcos Jr memangku jabatan di Filipina pada 2022, pasukan AS telah diizinkan mengakses semakin banyak pangkalan militer di negara tersebut.
Pada 2023, Manila setuju untuk menambah jumlah pangkalan militer AS di Filipina berdasarkan Perjanjian Kerja Sama Pertahanan yang Ditingkatkan antara kedua negara, dari empat menjadi sembilan.
Salah satu lokasi tempat pasukan AS diizinkan tinggal bergilir lebih lama adalah di ujung timur laut kepulauan Luzon, hanya sekitar 400 kilometer dari Taiwan.
Jika Beijing berpikir bahwa mereka dapat memenangkan hati Manila melalui negosiasi damainya, para pemimpin Partai Komunis China (CCP) perlu berpikir ulang. Seperti yang ditulis kantor berita Al Jazeera: "Pada tanggal 2 Februari 1995, sebuah kapal patroli Angkatan Laut Filipina menemukan sebuah bangunan baru di atas panggung yang mengibarkan bendera China di terumbu karang yang terendam, sekitar 240 km dari pulau Palawan, Filipina.”
Para pelaut itu pergi ke Mischief Reef di Laut China Selatan setelah seorang nelayan Filipina melaporkan telah ditawan tentara China. Beijing menepis tuduhan tersebut dan mengeklaim bahwa bangunan di terumbu karang yang memiliki antena parabola untuk komunikasi dengan daratan China itu merupakan tempat berlindung bagi para nelayan China.
Saat ini, Mischief Reef menjadi pos militer China yang lengkap dengan landasan pacu lapangan terbang, sistem radar, dan gudang yang menampung sistem rudal permukaan-ke-udara di tanah yang direklamasi dari laut.
“Kapal-kapal militer China berpatroli di daerah itu, mengganggu pasukan Filipina dengan laser dan meriam air, serta menghalangi para nelayan Filipina dari daerah penangkapan ikan yang kaya di perairan itu dengan menabrakkan kapal-kapal mereka dan menyita hasil tangkapan mereka,” lanjut laporan Al Jazeera.
Pandangan di kalangan militer Filipina adalah; "Seandainya ada kehadiran Amerika, China tidak akan bisa mengambil alih Mischief Reef."
Tidak mengherankan bahwa warga Filipina saat ini pro-Amerika. Sikap pro-China sebelumnya tidak bisa diterima di negara tersebut.
"Jutaan etnis Filipina-Amerika tinggal di Amerika Serikat, dan beremigrasi ke Amerika masih menjadi tujuan populer bagi warga Filipina," tulis artikel South China Morning Post.
Lihat Juga: Daftar 11 Kapal Induk Bertenaga Nuklir AS, Aset Strategis untuk Pertahankan Pengaruh Global
(mas)