Barat Ciptakan Musuh-musuh, Hasilkan Sekutu Melimpah bagi Rusia

Jum'at, 21 Juni 2024 - 15:01 WIB
loading...
Barat Ciptakan Musuh-musuh,...
Presiden Rusia Vladimir Putin bertemu Presiden Vietnam To Lam di Hanoi pada 20 Juni 2024. Foto/sputnik
A A A
MOSKOW - Presiden Rusia Vladimir Putin mengunjungi Vietnam pada Rabu (19/6/2024), tempat kedua negara berjanji meningkatkan kerja sama militer dan meluncurkan pusat teknologi nuklir.

Kunjungan tersebut dilakukan segera setelah Putin mengunjungi Korea Utara (Korut) untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade dan beberapa hari setelah armada Rusia yang memiliki kemampuan nuklir mengunjungi Kuba dan Venezuela.

Kebijakan intimidasi internasional Amerika Serikat (AS) telah menciptakan banyak musuh bagi dirinya sendiri, dan dalam prosesnya, banyak teman potensial bagi Rusia.

Contoh paling jelas dari hal ini adalah hubungan antara China dan Rusia. AS telah bertindak agresif terhadap keduanya, yang justru memperkuat persahabatan dan kerja sama antara Beijing dan Moskow dalam prosesnya.

Di Korea, lebih dari 70 tahun sanksi agresif, blokade, dan ancaman oleh Barat berarti bahwa tepat ketika Rusia dapat menggunakan sekutu lain, ada kekuatan nuklir militer di Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK atau Korea Utara) yang bersedia dan menunggu untuk berdiri di samping Rusia melawan Barat.

Awal pekan ini, kedua negara menandatangani Kemitraan Strategis Komprehensif yang oleh pakar keamanan dan hubungan internasional Mark Sleboda digambarkan sebagai "aliansi militer".

Pada Rabu, Putin mengunjungi Vietnam, tempat di mana, meskipun hubungan dengan Barat cukup hangat dalam beberapa dekade terakhir, luka akibat Perang Vietnam belum sepenuhnya pulih.



Dalam pernyataan resmi, Vietnam berterima kasih kepada Rusia karena mendukung perjuangan mereka untuk kemerdekaan melawan Barat.

Putin tidak harus hadir secara fisik di suatu wilayah agar bayangannya tampak jelas di sana. Pekan lalu, armada Rusia tiba di Kuba dan saat ini sedang dalam perjalanan menuju Venezuela.

Meskipun kunjungan tersebut merupakan acara tahunan, kali ini armada tersebut mencakup kapal perang dan kapal selam berkemampuan nuklir, pesan yang jelas kepada Barat tidak hanya dari Rusia tetapi juga Kuba, yang terletak hanya 90 mil dari titik paling selatan AS.

Kuba, tentu saja, telah menjadi sasaran sanksi ekonomi ketat dari AS sejak 1962 dan Venezuela telah menjadi sasaran berbagai upaya kudeta dari Amerika Serikat, yang terakhir pada tahun 2019.

Apakah mengherankan mengapa negara-negara ini membiarkan Rusia memanfaatkan mereka untuk menjelek-jelekkan AS?

“Pesan besar di sini adalah bahwa sebagai tanggapan atas kemitraan strategis ini dengan Ukraina dan AS yang menyerang dengan rudal di dalam Rusia, dengan proksi rezim Kiev yang disingkirkan begitu saja di Ukraina,” ujar Sleboda di The Final Countdown.

Dia menjelaskan, “Rusia kembali ke mode konflik penuh dengan Amerika Serikat dan membangkitkan kembali semua sekutu Perang Dinginnya. Dan saya pikir kita bisa mengharapkan lebih banyak lagi.”

Lalu ada Afrika, benua yang telah lama berjuang melawan kolonialisme dan neo-kolonialisme oleh Barat.

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak negara di Sahel telah mengusir penguasa neo-kolonial mereka dan dalam banyak kasus meminta Rusia memberikan keamanan bagi pemerintahan mereka yang sedang berkembang.

Tentu saja, AS dan Barat sedang mengumpulkan semua sekutu yang mereka bisa untuk menghadapi apa yang mereka lihat sebagai konflik yang tak terelakkan dengan Rusia dan/atau China.

Mereka telah berupaya mempertahankan pengaruh yang masih mereka miliki di Afrika. Perluasan NATO terus berlanjut, hanya diperkuat oleh operasi khusus Rusia di Ukraina.

AS dan Inggris telah berupaya memperkuat blok AUKUS, meningkatkan kerja sama dengan Jepang dan Korea Selatan (Korsel), serta menjual kapal selam nuklir ke Australia.

Namun, sebagian besar merupakan kemitraan yang sudah ada sebelumnya atau perluasan kemitraan dengan negara-negara yang sudah bersahabat dengan AS.

Menurut sejumlah pengamat, terkait negara-negara netral, Rusia harus menyambut mereka dengan tangan terbuka untuk membedakan dirinya dengan gaya intimidasi Amerika Serikat.

Pada apa yang disebut "Konferensi Perdamaian" untuk Ukraina di Swiss pekan lalu, tercatat 13 negara peserta menolak menandatangani dokumen tersebut, termasuk negara tetangga AS, Meksiko.

Pemerintah Meksiko, yang saat ini dipimpin Presiden Andres Manuel Lopez Obrador, telah menghadapi retorika yang semakin agresif dari para politisi di AS, termasuk ancaman invasi yang seolah-olah untuk melawan kartel narkoba.

12 negara lainnya yang menolak menandatangani proklamasi akhir acara tersebut berasal dari Afrika, Amerika Selatan, dan Asia.

Dua negara tambahan yakni Irak dan Yordania, kemudian mencabut tanda tangan mereka.

Terakhir, ada BRICS, yang dulunya dianggap sebagai angan-angan oleh para pengamat di Barat, kini menjadi kekuatan global, dan baru-baru ini melampaui kekuatan ekonomi kolektif Kelompok Tujuh (G7).

Lebih banyak negara yang meminta bergabung dengan BRICS+ secara berkala, tren yang tidak diragukan lagi dipercepat oleh desakan AS untuk mempersenjatai posisi ekonomi yang diberikan dalam perjanjian Bretton Woods.

“Saya pikir yang perlu dilakukan AS adalah memperluas poros kejahatan mereka melampaui tiga negara, karena meskipun kita memiliki keanggotaan bergilir, tampaknya sekarang jumlahnya tidak cukup besar. Misalnya, apakah Iran akan digeser oleh Korea Utara sekarang?” canda Sleboda.

Sleboda mengungkapkan, “AS telah menciptakan terlalu banyak musuh di dunia sehingga tidak dapat dibatasi hanya pada tiga musuh saja saat ini,” yang menyarankan agar AS menggunakan julukan “Legion of Doom” atau “Pasukan Malapetaka”.
(sya)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1588 seconds (0.1#10.140)