Rima Hassan, Wanita Prancis-Palestina Pertama yang Jadi Anggota Parlemen Eropa
loading...
A
A
A
PARIS - Rima Hassan, sarjana hukum dan aktivis berusia 32 tahun, telah mengukir sejarah dengan menjadi anggota parlemen Eropa keturunan Prancis-Palestina pertama.
Partainya, La France Insoumise (LFI) yang berhaluan kiri, memperoleh 9,89% suara pada Minggu (9/6/2024) dan kini mengirimkan sembilan anggota parlemen Eropa ke Brussels.
Pemilu Eropa di Prancis dimenangkan partai sayap kanan National Rally (Rassemblement National, RN), yang memperoleh 31,37% suara, atau setara dengan 30 dari 81 kursi di Prancis.
Tidak dikenal masyarakat umum beberapa bulan lalu, Hassan, spesialis hukum internasional, dengan cepat memperoleh ketenaran dan popularitas di kalangan akar rumput LFI dengan menjadi garda terdepan dalam membela perjuangan Palestina, mengutuk pendudukan dan perang Israel di Gaza.
Sering terlihat dengan keffiyeh yang dililitkan di bahunya, "jubah pahlawan super saya", seperti yang dia gambarkan, Hassan adalah cucu dari warga Palestina yang menjadi pengungsi pada Nakba 1948.
Dia telah menjadi salah satu penemuan kampanye Uni Eropa, yang dipuji para demonstran pro-Palestina dan dikecam para pendukung Israel.
Hassan telah menggunakan visibilitas yang ditawarkan oleh pencalonannya untuk mengecam "genosida" yang dilakukan Israel di Gaza, menuduh negara Zionis itu sebagai pelaku "kekejian tak bernama", "entitas kolonial fasis" yang "berbohong setiap hari".
Sekarang di Brussels, dia akan dapat bekerja pada tujuannya untuk melihat Eropa "mengakui Palestina sebagai negara untuk melawan rencana penjajahan Israel, menjatuhkan sanksi ekonomi dengan menangguhkan Perjanjian Asosiasi Uni Eropa-Israel, menegakkan embargo ekspor senjata atas pelanggaran hak asasi manusia, dan menerapkan sanksi diplomatik dan politik terhadap Israel yang serupa dengan sanksi terhadap Afrika Selatan yang menerapkan apartheid hingga hukum internasional ditegakkan."
Hassan lahir tanpa kewarganegaraan pada April 1992 di Suriah dari keluarga yang melarikan diri selama Nakba ("malapetaka" dalam bahasa Arab), ketika sekitar 750.000 warga Palestina diusir secara etnis dari rumah mereka oleh pasukan Zionis untuk memberi jalan bagi pembentukan Israel pada tahun 1948.
Tiga dari kakek-neneknya adalah orang Palestina. Keluarga dari pihak ayahnya berasal dari desa al-Birwa yang terletak 10,5 km di timur Acre, di wilayah Israel utara saat ini.
Dia menghabiskan masa kecilnya di kamp pengungsi Neirab di pinggiran kota Aleppo, sebelum beremigrasi ke Prancis dan kota Niort di bagian barat pada usia 10 tahun, melalui reunifikasi keluarga.
Dia memperoleh kewarganegaraan Prancis pada usia 18 tahun. “Saya tidak berbicara sepatah kata pun dalam bahasa Prancis. Para mahasiswa memanggil saya kepala handuk," ujar dia kepada media Prancis pada Mei 2022.
Kemudian, Hassan belajar hukum dan mengejar gelar master dalam hukum internasional dari Universitas Sorbonne Paris, menulis tesisnya tentang apartheid di Afrika Selatan dan Israel.
Pada tahun 2019, dia mendirikan Refugee Camp Observatory, LSM yang didedikasikan untuk mempelajari kamp-kamp di seluruh dunia dan meningkatkan kesadaran tentang kondisi kehidupan mereka dan pelanggaran hak-hak pengungsi.
"Saya ingat kehebohan, pergaulan bebas, ketegangan permanen. Semua orang merasa gelisah," kenang dia tentang pengalamannya tinggal di tempat yang disebutnya "non-places".
Setelah dia menjadi pelapor di Pengadilan Suaka Nasional (CNDA), pada tahun 2022, Delegasi Antar Kementerian untuk Penerimaan dan Integrasi Pengungsi, badan pemerintah, menghormatinya sebagai "wanita yang inspiratif".
Pada tahun 2023, Hassan bergabung dengan Dewan Penasihat Keragaman, Kesetaraan, dan Inklusi di perusahaan kosmetik L’Oréal, tetapi sikap anti-Israelnya telah menyebabkan penangguhannya.
Pertemuan antara Hassan yang pernah mengatakan dia "berasal dari keluarga komunis", dan LFI terjadi pada konferensi partai musim panas lalu, saat media belum tertarik padanya.
“Persoalan Palestina bahkan belum menjadi berita pada saat itu, dan tetap saja, (LFI) telah menempatkannya di inti materi pelatihannya untuk para aktivis. Bagi saya, bergabung dengan mereka adalah (pilihan) yang jelas,” tegas dia dalam sebuah wawancara.
Setelah serangan yang dipimpin Hamas terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober dan perang Israel berikutnya di Gaza, dia dihubungi LFI untuk bergabung dengan daftarnya untuk pemilu Uni Eropa. Dia ditempatkan di urutan ketujuh dalam daftar kandidatnya.
Kecaman Hassan yang blak-blakan terhadap kebijakan Israel terhadap Palestina membuatnya ditentang oleh banyak orang, termasuk di spektrum politik kiri.
Hassan dan LFI secara umum, secara teratur dituduh antisemitisme atas komentar pro-Palestina mereka, dan mengkritik pelanggaran Israel.
Pada Maret, setelah kritik keras dari para tokoh masyarakat, termasuk produser dan pembawa acara televisi Prancis populer Arthur, acara “Forbes France Women of the Year” 2023 di Paris dibatalkan.
Majalah Amerika tersebut telah memilih Hassan di antara “40 wanita luar biasa yang menandai tahun ini” dan berhasil “mendobrak batasan”.
“Jangan kaget melihat antisemit Rima Hassan dihormati di antara 40 wanita tahun 2023. Antisemitisme dan dalih atas terorisme adalah simbol baru sukses di Forbes,” tulis Arthur di Instagram.
Pada April, Hassan dan pemimpin LFI Mathilde Panot dipanggil polisi sebagai bagian dari penyelidikan atas “dalih atas teror”, menyusul pernyataan LFI yang dipublikasikan pada tanggal 7 Oktober.
Pernyataan tersebut menarik persamaan antara serangan yang dipimpin Hamas, yang digambarkan sebagai "serangan bersenjata oleh pasukan Palestina", dan "peningkatan kebijakan pendudukan Israel" di Palestina.
Dalam wawancara pada akhir November dengan Le Crayon, Hassan mengatakan "benar" bahwa Hamas melakukan tindakan yang sah. Dia kemudian mengecam suntingan yang menyesatkan atas tanggapannya.
“Saya yakin tidak ada yang perlu saya salahkan, karena saya selalu mengekspresikan diri saya secara kritis baik terhadap Hamas maupun modus operasi terorisnya, tetapi juga terhadap Israel,” tegas dia kepada AFP pada hari dia dipanggil polisi.
Yonatan Arfi, presiden Dewan Perwakilan Lembaga Yahudi Prancis (CRIF), kelompok pro-Israel, menuduhnya “mengikuti agenda fundamentalis Hamas dan membenarkan pelanggaran 7 Oktober”.
Di akun media sosialnya, Hassan telah membagikan banyak ancaman dan hinaan seksis dan rasis yang diterimanya setiap hari.
Dia melaporkan telah mengajukan delapan pengaduan selama tiga bulan berkampanye dan memulai proses hukum untuk memastikan kebebasan berekspresi.
Pada Februari, lebih dari 500 tokoh politik, termasuk Panot dan mantan duta besar Palestina Leila Shahid, menandatangani surat dukungan untuk Hassan dan suara-suara pro-Palestina lainnya, yang menurut mereka "menderita penganiayaan nyata dari organisasi dan tokoh pro-Israel" dan "serangan hinaan dan ancaman".
"Tentara pasukan pendudukan kolonial bertindak lebih jauh dengan menuliskan, pada beberapa kesempatan, nama (Hassan) pada bom-bom Israel," tulis mereka.
Hassan juga dikritik karena penggunaan slogan "dari sungai ke Mediterania", seruan populer dan lama Palestina untuk kesetaraan dan kebebasan yang dianggap beberapa kritikus terkait dengan penghancuran Israel.
“Tuntutan saya adalah hak yang sama dari Sungai Yordan hingga ke laut bagi warga Israel dan Palestina,” jawab dia, seraya menambahkan dia “sama sekali tidak” mempertanyakan keberadaan Israel.
Dia menjelaskan, sebelum bergabung dengan daftar LFI, dia mendukung negara binasional. Sejak saat itu, dia telah menyelaraskan dirinya dengan posisi partai dan sebagian besar kelas politik yang mendukung solusi dua negara.
“Saya menghormati gagasan tentang tanah air nasional Yahudi. Saya bahkan tidak keberatan jika tanah air itu berada di Palestina. Saya keberatan dengan bagian kedua Zionisme, yaitu kolonialisme,” tegas dia.
Perjuangannya melawan kolonialisme telah membawanya membangun hubungan antara isu Palestina dan situasi keturunan imigran di Prancis.
“Bagaimana kita bisa melihat Palestina yang dijajah jika kita tidak berkenan melihat sejarah kolonial kita sendiri (Prancis)?” tanyanya dalam pertemuan beberapa hari sebelum pemungutan suara.
"Banyak negara barat, termasuk Prancis, belum sepenuhnya menghadapi masa lalu kolonial mereka, yang dicontohkan oleh keengganan Prancis untuk membahas sejarahnya di Aljazair," ungkap dia baru-baru ini kepada Al Jazeera.
Setelah pemilihannya, Hassan mengatakan kepada media Prancis bahwa dia berjanji menjadikan Gaza sebagai "subjek pertama" yang akan dia garap.
"Saya pikir (kemenangan) akan terasa saat saya menelepon ayah saya, yang masih tinggal di kamp Neirab," pungkas dia.
Partainya, La France Insoumise (LFI) yang berhaluan kiri, memperoleh 9,89% suara pada Minggu (9/6/2024) dan kini mengirimkan sembilan anggota parlemen Eropa ke Brussels.
Pemilu Eropa di Prancis dimenangkan partai sayap kanan National Rally (Rassemblement National, RN), yang memperoleh 31,37% suara, atau setara dengan 30 dari 81 kursi di Prancis.
Tidak dikenal masyarakat umum beberapa bulan lalu, Hassan, spesialis hukum internasional, dengan cepat memperoleh ketenaran dan popularitas di kalangan akar rumput LFI dengan menjadi garda terdepan dalam membela perjuangan Palestina, mengutuk pendudukan dan perang Israel di Gaza.
Sering terlihat dengan keffiyeh yang dililitkan di bahunya, "jubah pahlawan super saya", seperti yang dia gambarkan, Hassan adalah cucu dari warga Palestina yang menjadi pengungsi pada Nakba 1948.
Dia telah menjadi salah satu penemuan kampanye Uni Eropa, yang dipuji para demonstran pro-Palestina dan dikecam para pendukung Israel.
Hassan telah menggunakan visibilitas yang ditawarkan oleh pencalonannya untuk mengecam "genosida" yang dilakukan Israel di Gaza, menuduh negara Zionis itu sebagai pelaku "kekejian tak bernama", "entitas kolonial fasis" yang "berbohong setiap hari".
Sekarang di Brussels, dia akan dapat bekerja pada tujuannya untuk melihat Eropa "mengakui Palestina sebagai negara untuk melawan rencana penjajahan Israel, menjatuhkan sanksi ekonomi dengan menangguhkan Perjanjian Asosiasi Uni Eropa-Israel, menegakkan embargo ekspor senjata atas pelanggaran hak asasi manusia, dan menerapkan sanksi diplomatik dan politik terhadap Israel yang serupa dengan sanksi terhadap Afrika Selatan yang menerapkan apartheid hingga hukum internasional ditegakkan."
Lahir Tanpa Kewarganegaraan
Hassan lahir tanpa kewarganegaraan pada April 1992 di Suriah dari keluarga yang melarikan diri selama Nakba ("malapetaka" dalam bahasa Arab), ketika sekitar 750.000 warga Palestina diusir secara etnis dari rumah mereka oleh pasukan Zionis untuk memberi jalan bagi pembentukan Israel pada tahun 1948.
Tiga dari kakek-neneknya adalah orang Palestina. Keluarga dari pihak ayahnya berasal dari desa al-Birwa yang terletak 10,5 km di timur Acre, di wilayah Israel utara saat ini.
Dia menghabiskan masa kecilnya di kamp pengungsi Neirab di pinggiran kota Aleppo, sebelum beremigrasi ke Prancis dan kota Niort di bagian barat pada usia 10 tahun, melalui reunifikasi keluarga.
Dia memperoleh kewarganegaraan Prancis pada usia 18 tahun. “Saya tidak berbicara sepatah kata pun dalam bahasa Prancis. Para mahasiswa memanggil saya kepala handuk," ujar dia kepada media Prancis pada Mei 2022.
Kemudian, Hassan belajar hukum dan mengejar gelar master dalam hukum internasional dari Universitas Sorbonne Paris, menulis tesisnya tentang apartheid di Afrika Selatan dan Israel.
Pada tahun 2019, dia mendirikan Refugee Camp Observatory, LSM yang didedikasikan untuk mempelajari kamp-kamp di seluruh dunia dan meningkatkan kesadaran tentang kondisi kehidupan mereka dan pelanggaran hak-hak pengungsi.
"Saya ingat kehebohan, pergaulan bebas, ketegangan permanen. Semua orang merasa gelisah," kenang dia tentang pengalamannya tinggal di tempat yang disebutnya "non-places".
Setelah dia menjadi pelapor di Pengadilan Suaka Nasional (CNDA), pada tahun 2022, Delegasi Antar Kementerian untuk Penerimaan dan Integrasi Pengungsi, badan pemerintah, menghormatinya sebagai "wanita yang inspiratif".
Pada tahun 2023, Hassan bergabung dengan Dewan Penasihat Keragaman, Kesetaraan, dan Inklusi di perusahaan kosmetik L’Oréal, tetapi sikap anti-Israelnya telah menyebabkan penangguhannya.
Pertemuan antara Hassan yang pernah mengatakan dia "berasal dari keluarga komunis", dan LFI terjadi pada konferensi partai musim panas lalu, saat media belum tertarik padanya.
“Persoalan Palestina bahkan belum menjadi berita pada saat itu, dan tetap saja, (LFI) telah menempatkannya di inti materi pelatihannya untuk para aktivis. Bagi saya, bergabung dengan mereka adalah (pilihan) yang jelas,” tegas dia dalam sebuah wawancara.
Setelah serangan yang dipimpin Hamas terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober dan perang Israel berikutnya di Gaza, dia dihubungi LFI untuk bergabung dengan daftarnya untuk pemilu Uni Eropa. Dia ditempatkan di urutan ketujuh dalam daftar kandidatnya.
Penganiayaan yang Nyata
Kecaman Hassan yang blak-blakan terhadap kebijakan Israel terhadap Palestina membuatnya ditentang oleh banyak orang, termasuk di spektrum politik kiri.
Hassan dan LFI secara umum, secara teratur dituduh antisemitisme atas komentar pro-Palestina mereka, dan mengkritik pelanggaran Israel.
Pada Maret, setelah kritik keras dari para tokoh masyarakat, termasuk produser dan pembawa acara televisi Prancis populer Arthur, acara “Forbes France Women of the Year” 2023 di Paris dibatalkan.
Majalah Amerika tersebut telah memilih Hassan di antara “40 wanita luar biasa yang menandai tahun ini” dan berhasil “mendobrak batasan”.
“Jangan kaget melihat antisemit Rima Hassan dihormati di antara 40 wanita tahun 2023. Antisemitisme dan dalih atas terorisme adalah simbol baru sukses di Forbes,” tulis Arthur di Instagram.
Pada April, Hassan dan pemimpin LFI Mathilde Panot dipanggil polisi sebagai bagian dari penyelidikan atas “dalih atas teror”, menyusul pernyataan LFI yang dipublikasikan pada tanggal 7 Oktober.
Pernyataan tersebut menarik persamaan antara serangan yang dipimpin Hamas, yang digambarkan sebagai "serangan bersenjata oleh pasukan Palestina", dan "peningkatan kebijakan pendudukan Israel" di Palestina.
Dalam wawancara pada akhir November dengan Le Crayon, Hassan mengatakan "benar" bahwa Hamas melakukan tindakan yang sah. Dia kemudian mengecam suntingan yang menyesatkan atas tanggapannya.
“Saya yakin tidak ada yang perlu saya salahkan, karena saya selalu mengekspresikan diri saya secara kritis baik terhadap Hamas maupun modus operasi terorisnya, tetapi juga terhadap Israel,” tegas dia kepada AFP pada hari dia dipanggil polisi.
Yonatan Arfi, presiden Dewan Perwakilan Lembaga Yahudi Prancis (CRIF), kelompok pro-Israel, menuduhnya “mengikuti agenda fundamentalis Hamas dan membenarkan pelanggaran 7 Oktober”.
Di akun media sosialnya, Hassan telah membagikan banyak ancaman dan hinaan seksis dan rasis yang diterimanya setiap hari.
Dia melaporkan telah mengajukan delapan pengaduan selama tiga bulan berkampanye dan memulai proses hukum untuk memastikan kebebasan berekspresi.
Pada Februari, lebih dari 500 tokoh politik, termasuk Panot dan mantan duta besar Palestina Leila Shahid, menandatangani surat dukungan untuk Hassan dan suara-suara pro-Palestina lainnya, yang menurut mereka "menderita penganiayaan nyata dari organisasi dan tokoh pro-Israel" dan "serangan hinaan dan ancaman".
"Tentara pasukan pendudukan kolonial bertindak lebih jauh dengan menuliskan, pada beberapa kesempatan, nama (Hassan) pada bom-bom Israel," tulis mereka.
Sejalan dengan Sejarah Prancis Sendiri
Hassan juga dikritik karena penggunaan slogan "dari sungai ke Mediterania", seruan populer dan lama Palestina untuk kesetaraan dan kebebasan yang dianggap beberapa kritikus terkait dengan penghancuran Israel.
“Tuntutan saya adalah hak yang sama dari Sungai Yordan hingga ke laut bagi warga Israel dan Palestina,” jawab dia, seraya menambahkan dia “sama sekali tidak” mempertanyakan keberadaan Israel.
Dia menjelaskan, sebelum bergabung dengan daftar LFI, dia mendukung negara binasional. Sejak saat itu, dia telah menyelaraskan dirinya dengan posisi partai dan sebagian besar kelas politik yang mendukung solusi dua negara.
“Saya menghormati gagasan tentang tanah air nasional Yahudi. Saya bahkan tidak keberatan jika tanah air itu berada di Palestina. Saya keberatan dengan bagian kedua Zionisme, yaitu kolonialisme,” tegas dia.
Perjuangannya melawan kolonialisme telah membawanya membangun hubungan antara isu Palestina dan situasi keturunan imigran di Prancis.
“Bagaimana kita bisa melihat Palestina yang dijajah jika kita tidak berkenan melihat sejarah kolonial kita sendiri (Prancis)?” tanyanya dalam pertemuan beberapa hari sebelum pemungutan suara.
"Banyak negara barat, termasuk Prancis, belum sepenuhnya menghadapi masa lalu kolonial mereka, yang dicontohkan oleh keengganan Prancis untuk membahas sejarahnya di Aljazair," ungkap dia baru-baru ini kepada Al Jazeera.
Setelah pemilihannya, Hassan mengatakan kepada media Prancis bahwa dia berjanji menjadikan Gaza sebagai "subjek pertama" yang akan dia garap.
"Saya pikir (kemenangan) akan terasa saat saya menelepon ayah saya, yang masih tinggal di kamp Neirab," pungkas dia.
(sya)