Siapa Benny Gantz? Menteri Israel yang Mundur karena Ingin Menggulingkan Netanyahu
loading...
A
A
A
Baca Juga: 3 Alasan Israel Akan Kalah dalam Invasi Darat ke Basis Hizbullah Versi Mantan Pejabat Mossad
Foto/AP
Gantz, putra imigran Rumania dan Hongaria yang selamat dari Holocaust, telah mencoba menumbuhkan citra politik yang agresif.
Dia menyerukan kendali militer Israel atas sebagian besar Tepi Barat, yang telah diduduki oleh tentara Israel sejak tahun 1967, serta aneksasi Lembah Yordan.
Ia bergabung dengan tentara pada usia 18 tahun, naik pangkat menjadi jenderal pada tahun 2001 dan menjadi panglima militer pada tahun 2011, ketika ia memimpin dua perang melawan Hamas.
“Dia tidak meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada tentara namun tetap mempertahankan citra stabilitas dan kejujuran,” menurut Amos Harel, reporter pertahanan di harian Israel Haaretz.
Bahkan ketika ia berupaya untuk menyerang kelompok-kelompok Palestina yang bertanggung jawab atas serangan anti-Israel, ia secara bersamaan terlibat dalam diskusi untuk mengatasi “masalah keamanan dan ekonomi” dengan Otoritas Palestina, yang memiliki sebagian kewenangan administratif di Tepi Barat.
Foto/AP
Melansir Al Jazeera, Gantz bergabung dengan tentara pada usia 18 tahun dan naik pangkat menjadi komandan unit komando elit Shaldag Israel. Ia menjabat Kepala Staf Angkatan Darat pada 2011-2015. Selama perang tahun 2014 di Gaza, lebih dari 2.000 warga Palestina terbunuh.
Pada tahun 2018, ia menjadi sasaran gugatan perdata yang menuduhnya melanggar hukum internasional dengan sengaja menargetkan warga sipil. Pengadilan Belanda menolak kasus tersebut.
Gantz meluncurkan Partai Persatuan Nasional yang berhaluan kanan-tengah pada tahun 2019 dengan tujuan eksplisit untuk menyingkirkan Netanyahu dari kekuasaan.
Foto/AP
Mantan jenderal tersebut adalah menteri pertahanan Israel pada tahun 2020-2022, dan pada tahun 2021, Israel melancarkan serangan 11 hari di Gaza yang menyebabkan lebih dari 250 warga Palestina tewas. Pada bulan Agustus tahun berikutnya, serangan udara dan artileri selama tiga hari terhadap Jihad Islam di Jalur Gaza menyebabkan 49 warga Palestina tewas termasuk beberapa pejuang.
Membangun Citra Politik yang Agresif
Foto/AP
Gantz, putra imigran Rumania dan Hongaria yang selamat dari Holocaust, telah mencoba menumbuhkan citra politik yang agresif.
Dia menyerukan kendali militer Israel atas sebagian besar Tepi Barat, yang telah diduduki oleh tentara Israel sejak tahun 1967, serta aneksasi Lembah Yordan.
Ia bergabung dengan tentara pada usia 18 tahun, naik pangkat menjadi jenderal pada tahun 2001 dan menjadi panglima militer pada tahun 2011, ketika ia memimpin dua perang melawan Hamas.
“Dia tidak meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada tentara namun tetap mempertahankan citra stabilitas dan kejujuran,” menurut Amos Harel, reporter pertahanan di harian Israel Haaretz.
Bahkan ketika ia berupaya untuk menyerang kelompok-kelompok Palestina yang bertanggung jawab atas serangan anti-Israel, ia secara bersamaan terlibat dalam diskusi untuk mengatasi “masalah keamanan dan ekonomi” dengan Otoritas Palestina, yang memiliki sebagian kewenangan administratif di Tepi Barat.
Meniti Karier sebagai Prajurit hingga Menjadi Jenderal
Foto/AP
Melansir Al Jazeera, Gantz bergabung dengan tentara pada usia 18 tahun dan naik pangkat menjadi komandan unit komando elit Shaldag Israel. Ia menjabat Kepala Staf Angkatan Darat pada 2011-2015. Selama perang tahun 2014 di Gaza, lebih dari 2.000 warga Palestina terbunuh.
Pada tahun 2018, ia menjadi sasaran gugatan perdata yang menuduhnya melanggar hukum internasional dengan sengaja menargetkan warga sipil. Pengadilan Belanda menolak kasus tersebut.
Gantz meluncurkan Partai Persatuan Nasional yang berhaluan kanan-tengah pada tahun 2019 dengan tujuan eksplisit untuk menyingkirkan Netanyahu dari kekuasaan.
Tangannya Penuh Darah Rakyat Palestina
Foto/AP
Mantan jenderal tersebut adalah menteri pertahanan Israel pada tahun 2020-2022, dan pada tahun 2021, Israel melancarkan serangan 11 hari di Gaza yang menyebabkan lebih dari 250 warga Palestina tewas. Pada bulan Agustus tahun berikutnya, serangan udara dan artileri selama tiga hari terhadap Jihad Islam di Jalur Gaza menyebabkan 49 warga Palestina tewas termasuk beberapa pejuang.