Keluarga Terkejut Tak Ada Pemakaman Militer untuk Tentara Mesir yang Ditembak Israel
loading...
A
A
A
KAIRO - Pemakaman tidak resmi diadakan pada Selasa (28/5/2024) untuk salah satu dari dua tentara Mesir yang tewas dalam baku tembak pada Senin dengan tentara Israel di perbatasan Gaza dengan Sinai Mesir.
Meskipun militer Mesir mengkonfirmasi adanya "insiden penembakan" di penyeberangan Rafah, yang diserbu pasukan Israel pada tanggal 7 Mei, namun mereka belum mengidentifikasi satupun tentara yang terbunuh.
Meski demikian, Middle East Eye telah memverifikasi identitas tentara pertama sebagai Abdallah Ramadan, 22 tahun.
Dia adalah seorang penjaga perbatasan yang ditempatkan di dekat penyeberangan dan meninggal pada hari Senin.
“Tentara lainnya, Ibrahim Abdelrazzaq, dipastikan tewas pada Selasa setelah meninggal karena luka-lukanya akibat insiden baku tembak di daerah yang sama,” ungkap sumber lokal kepada MEE.
Kematian Ramadhan telah memicu luapan belasungkawa dan kemarahan di kalangan masyarakat Mesir secara online.
Publik banyak yang mengecam sikap diam pemerintah terhadap tentara tersebut dan kurangnya pernyataan yang jelas mengenai baku tembak tersebut.
“Kami masih tidak percaya dia telah tiada. Satu-satunya hal yang membuat kami bersabar adalah dia meninggal sebagai martir saat membela negaranya dari para agresor,” ujar sepupu Ramadan, Abu Ahmed, kepada MEE.
“Setelah mengabdi pada negaranya di gurun yang keras dan harus melewati malam-malam yang berat, dia dibunuh oleh Zionis dan dia bahkan tidak mendapatkan pemakaman militer,” ungkap Abu Ahmed.
Berita tentang baku tembak pertama kali muncul pada Senin di media Israel, dengan laporan yang awalnya disensor kemudian dikonfirmasi militer Israel, yang menyatakan "insiden penembakan" terjadi di perbatasan Mesir dan sedang diselidiki.
Pada Senin, juru bicara militer Mesir mengkonfirmasi satu "elemen yang bertugas menjaga keamanan perbatasan" tewas dalam insiden penembakan dan mengatakan penyelidikan sedang dilakukan.
Tidak ada pernyataan resmi lainnya yang dibuat mengenai insiden tersebut, dan pihak militer belum mengungkapkan secara terbuka identitas tentara tersebut.
Meskipun tidak jelas bagaimana baku tembak dimulai atau siapa yang melepaskan tembakan pertama, Daily News Egypt, surat kabar Mesir independen berbahasa Inggris, mengutip sumber yang tidak disebutkan namanya yang mengatakan tentara Mesir "terpengaruh" oleh pembantaian Rafah pada hari Minggu, di mana pemboman Israel menyebabkan terbunuhnya 45 warga Palestina di kamp pengungsian.
Akun Facebook Ramadan telah dibagikan secara luas sejak Senin, dengan banyak yang menyoroti postingan terakhirnya di mana dia menulis doa untuk Gaza.
“Ya Tuhan, kedamaian total untuk Gaza,” tulis postingan bertanggal 7 Februari itu.
Dalam postingan sebelumnya, dia menulis: "Hati saya sakit, mata saya berlinang air mata, dan Gaza dekat, namun dunia tuli, bisu, buta... Keheningan adalah ekspresi ketidakberdayaan."
Ramadan lulus dari perguruan tinggi di Fayium dan wajib militer selama dua tahun sebagai penjaga perbatasan di Sinai Utara, menurut keluarga dan teman-temannya.
“Dia seharusnya memulai prosedur untuk menjadi warga sipil lagi pada bulan Agustus dan dibebaskan pada bulan September,” ungkap Samir Abu Atwa, yang kuliah di perguruan tinggi yang sama dengan Ramadan, mengatakan kepada MEE.
“Dia religius dan menyukai sepak bola,” papar Abu Atwa.
“Pada liburan terakhirnya dari dinas, dia bercerita kepada kami tentang para korban pemboman dan keluarga dari Gaza yang melintasi perbatasan ke Mesir,” ujar dia.
“Ramadan berencana menikah setelah selesai mengabdi,” ungkap Abu Atwa.
Pemakaman Ramadan dihadiri keluarga dan teman-teman, tanpa kehadiran perwira militer senior. Acara tersebut diadakan di kampung halamannya di al-Ajamiyyin, dekat Fayium, 110 km selatan Kairo.
“Ini adalah situasi yang mengerikan karena kami mengetahui kematiannya dari Facebook dan bukan dari utusan resmi atau kantor wajib militer di kota tersebut,” ungkap sepupu Ramadan kepada MEE.
Dia mengatakan, hanya seorang mayor tentara dan kolonel polisi dari direktorat keamanan Fayium yang menghadiri pemakaman tersebut.
“Sangat menyakitkan bagi kami karena dia tidak dihormati, namun tradisi kami di desa ini adalah menghormati orang yang meninggal berarti mengantarkan mereka ke tempat peristirahatan terakhir mereka,” ujar Abu Ahmed.
Banyak orang dari komunitas Ramadan dan desa-desa sekitarnya berkumpul untuk berduka atas kematiannya.
“Kami menemukan lusinan orang yang tidak kami kenal dan dari desa-desa terdekat datang untuk memberikan penghormatan. Bahkan keluarga yang berselisih dengan kami, datang untuk membantu kami dan memastikan kami tidak kerepotan,” papar Abu Ahmed.
Beberapa warga Mesir di media sosial mengkritik pihak berwenang karena kurangnya transparansi dan pengakuan terhadap tentara yang terbunuh tersebut.
“Syuhada, tentara Mesir Abdallah Ramadan, yang dibunuh Zionis di perbatasan Rafah, dimakamkan di antara orang-orang miskin di kotanya di Fayium. Tidak ada anjing resmi yang menghadiri pemakaman martir negara tersebut, tidak ada gubernur, tidak ada komandan militer, bahkan presiden dewan kota pun tidak,” tulis jurnalis Mesir, Gamal Sultan.
“Tidak ada saluran resmi Mesir yang meliput pemakamannya, juga tidak ada prosesi pemakaman resmi. Seolah-olah dia adalah korban tak dikenal yang meninggal dalam kecelakaan sepeda motor, hanya salah satu elemen, seperti yang dijelaskan dalam pernyataan tentara, tanpa nama, tanpa pangkat, tanpa nilai, tanpa kesucian, tanpa martabat," papar dia.
Abu Atwa, sahabat Ramadan dari kampus, mengatakan kepada MEE bahwa beberapa anak muda yang menghadiri pemakaman mencoba meneriakkan “generasi demi generasi, kami akan menentang Israel”, namun petugas keamanan mencegahnya.
“Petugas keamanan mengatakan kepada kami bahwa pemakaman harus dilakukan dengan tenang dan beberapa orang yang mencoba merekam video dicegah,” ujar dia.
Teman lainnya, Omda, mengatakan kepada MEE, “Abdallah sangat menyukai dinas militernya dan menghargai apa yang dia pelajari, tapi dia juga lelah dan ingin hari-hari ini segera berakhir. Dia adalah salah satu dari kami. Saya tidak bisa mengatakan lebih banyak.”
Media Mesir, termasuk media yang berhubungan dengan pemerintah, hanya mengutip sumber anonim yang memberikan pernyataan tidak jelas tentang insiden tersebut.
“Sumber keamanan resmi mengatakan Mesir telah memperingatkan dampak operasi Israel di Koridor Philadelphi dan memperingatkan agar tidak merugikan elemen-elemennya,” papar Al Qahera News yang memiliki hubungan dengan intelijen melaporkan pada Senin malam.
Perjanjian perdamaian tahun 1979 antara Mesir dan Israel, serta perjanjian perbatasan tahun 2005, membatasi kehadiran militer Israel di sepanjang zona penyangga selebar 100 meter dan panjang 14 km yang dikenal sebagai Koridor Philadelphi.
“Inilah yang telah diperingatkan Mesir selama berbulan-bulan; serangan Israel di Koridor Philadelphi menciptakan kondisi lapangan dan psikologis yang sulit dikendalikan dan diperkirakan akan meningkat,” ungkap sumber keamanan tersebut.
Pengendalian Israel atas penyeberangan Rafah untuk pertama kalinya sejak keluarnya mereka dari Gaza pada tahun 2005 telah memicu pertikaian diplomatik yang jarang terjadi dengan Mesir.
Mesir sejauh ini menolak membukanya dari sisi perbatasannya, dengan mengatakan itu adalah terminal Palestina-Mesir dan seharusnya tetap seperti itu.
Penyeberangan tersebut telah menjadi pintu gerbang utama bagi bantuan penting dan warga sipil sejak awal perang Israel di Gaza pada Oktober.
Wilayah ini dikuasai Hamas di pihak Palestina dan Mesir di pihak Sinai antara tahun 2007 dan serangan Israel pada tanggal 7 Mei.
Namun pergerakan melalui penyeberangan juga dipantau Israel, kekuatan penjajahan Gaza berdasarkan hukum internasional, berkoordinasi dengan Mesir.
Meskipun militer Mesir mengkonfirmasi adanya "insiden penembakan" di penyeberangan Rafah, yang diserbu pasukan Israel pada tanggal 7 Mei, namun mereka belum mengidentifikasi satupun tentara yang terbunuh.
Meski demikian, Middle East Eye telah memverifikasi identitas tentara pertama sebagai Abdallah Ramadan, 22 tahun.
Dia adalah seorang penjaga perbatasan yang ditempatkan di dekat penyeberangan dan meninggal pada hari Senin.
“Tentara lainnya, Ibrahim Abdelrazzaq, dipastikan tewas pada Selasa setelah meninggal karena luka-lukanya akibat insiden baku tembak di daerah yang sama,” ungkap sumber lokal kepada MEE.
Kematian Ramadhan telah memicu luapan belasungkawa dan kemarahan di kalangan masyarakat Mesir secara online.
Publik banyak yang mengecam sikap diam pemerintah terhadap tentara tersebut dan kurangnya pernyataan yang jelas mengenai baku tembak tersebut.
“Kami masih tidak percaya dia telah tiada. Satu-satunya hal yang membuat kami bersabar adalah dia meninggal sebagai martir saat membela negaranya dari para agresor,” ujar sepupu Ramadan, Abu Ahmed, kepada MEE.
“Setelah mengabdi pada negaranya di gurun yang keras dan harus melewati malam-malam yang berat, dia dibunuh oleh Zionis dan dia bahkan tidak mendapatkan pemakaman militer,” ungkap Abu Ahmed.
Berita tentang baku tembak pertama kali muncul pada Senin di media Israel, dengan laporan yang awalnya disensor kemudian dikonfirmasi militer Israel, yang menyatakan "insiden penembakan" terjadi di perbatasan Mesir dan sedang diselidiki.
Pada Senin, juru bicara militer Mesir mengkonfirmasi satu "elemen yang bertugas menjaga keamanan perbatasan" tewas dalam insiden penembakan dan mengatakan penyelidikan sedang dilakukan.
Tidak ada pernyataan resmi lainnya yang dibuat mengenai insiden tersebut, dan pihak militer belum mengungkapkan secara terbuka identitas tentara tersebut.
Meskipun tidak jelas bagaimana baku tembak dimulai atau siapa yang melepaskan tembakan pertama, Daily News Egypt, surat kabar Mesir independen berbahasa Inggris, mengutip sumber yang tidak disebutkan namanya yang mengatakan tentara Mesir "terpengaruh" oleh pembantaian Rafah pada hari Minggu, di mana pemboman Israel menyebabkan terbunuhnya 45 warga Palestina di kamp pengungsian.
Akun Facebook Ramadan telah dibagikan secara luas sejak Senin, dengan banyak yang menyoroti postingan terakhirnya di mana dia menulis doa untuk Gaza.
“Ya Tuhan, kedamaian total untuk Gaza,” tulis postingan bertanggal 7 Februari itu.
Dalam postingan sebelumnya, dia menulis: "Hati saya sakit, mata saya berlinang air mata, dan Gaza dekat, namun dunia tuli, bisu, buta... Keheningan adalah ekspresi ketidakberdayaan."
Ramadan lulus dari perguruan tinggi di Fayium dan wajib militer selama dua tahun sebagai penjaga perbatasan di Sinai Utara, menurut keluarga dan teman-temannya.
“Dia seharusnya memulai prosedur untuk menjadi warga sipil lagi pada bulan Agustus dan dibebaskan pada bulan September,” ungkap Samir Abu Atwa, yang kuliah di perguruan tinggi yang sama dengan Ramadan, mengatakan kepada MEE.
“Dia religius dan menyukai sepak bola,” papar Abu Atwa.
“Pada liburan terakhirnya dari dinas, dia bercerita kepada kami tentang para korban pemboman dan keluarga dari Gaza yang melintasi perbatasan ke Mesir,” ujar dia.
“Ramadan berencana menikah setelah selesai mengabdi,” ungkap Abu Atwa.
Dia Salah Satu dari Kita
Pemakaman Ramadan dihadiri keluarga dan teman-teman, tanpa kehadiran perwira militer senior. Acara tersebut diadakan di kampung halamannya di al-Ajamiyyin, dekat Fayium, 110 km selatan Kairo.
“Ini adalah situasi yang mengerikan karena kami mengetahui kematiannya dari Facebook dan bukan dari utusan resmi atau kantor wajib militer di kota tersebut,” ungkap sepupu Ramadan kepada MEE.
Dia mengatakan, hanya seorang mayor tentara dan kolonel polisi dari direktorat keamanan Fayium yang menghadiri pemakaman tersebut.
“Sangat menyakitkan bagi kami karena dia tidak dihormati, namun tradisi kami di desa ini adalah menghormati orang yang meninggal berarti mengantarkan mereka ke tempat peristirahatan terakhir mereka,” ujar Abu Ahmed.
Banyak orang dari komunitas Ramadan dan desa-desa sekitarnya berkumpul untuk berduka atas kematiannya.
“Kami menemukan lusinan orang yang tidak kami kenal dan dari desa-desa terdekat datang untuk memberikan penghormatan. Bahkan keluarga yang berselisih dengan kami, datang untuk membantu kami dan memastikan kami tidak kerepotan,” papar Abu Ahmed.
Beberapa warga Mesir di media sosial mengkritik pihak berwenang karena kurangnya transparansi dan pengakuan terhadap tentara yang terbunuh tersebut.
“Syuhada, tentara Mesir Abdallah Ramadan, yang dibunuh Zionis di perbatasan Rafah, dimakamkan di antara orang-orang miskin di kotanya di Fayium. Tidak ada anjing resmi yang menghadiri pemakaman martir negara tersebut, tidak ada gubernur, tidak ada komandan militer, bahkan presiden dewan kota pun tidak,” tulis jurnalis Mesir, Gamal Sultan.
“Tidak ada saluran resmi Mesir yang meliput pemakamannya, juga tidak ada prosesi pemakaman resmi. Seolah-olah dia adalah korban tak dikenal yang meninggal dalam kecelakaan sepeda motor, hanya salah satu elemen, seperti yang dijelaskan dalam pernyataan tentara, tanpa nama, tanpa pangkat, tanpa nilai, tanpa kesucian, tanpa martabat," papar dia.
Abu Atwa, sahabat Ramadan dari kampus, mengatakan kepada MEE bahwa beberapa anak muda yang menghadiri pemakaman mencoba meneriakkan “generasi demi generasi, kami akan menentang Israel”, namun petugas keamanan mencegahnya.
“Petugas keamanan mengatakan kepada kami bahwa pemakaman harus dilakukan dengan tenang dan beberapa orang yang mencoba merekam video dicegah,” ujar dia.
Teman lainnya, Omda, mengatakan kepada MEE, “Abdallah sangat menyukai dinas militernya dan menghargai apa yang dia pelajari, tapi dia juga lelah dan ingin hari-hari ini segera berakhir. Dia adalah salah satu dari kami. Saya tidak bisa mengatakan lebih banyak.”
Pernyataan Anonim
Media Mesir, termasuk media yang berhubungan dengan pemerintah, hanya mengutip sumber anonim yang memberikan pernyataan tidak jelas tentang insiden tersebut.
“Sumber keamanan resmi mengatakan Mesir telah memperingatkan dampak operasi Israel di Koridor Philadelphi dan memperingatkan agar tidak merugikan elemen-elemennya,” papar Al Qahera News yang memiliki hubungan dengan intelijen melaporkan pada Senin malam.
Perjanjian perdamaian tahun 1979 antara Mesir dan Israel, serta perjanjian perbatasan tahun 2005, membatasi kehadiran militer Israel di sepanjang zona penyangga selebar 100 meter dan panjang 14 km yang dikenal sebagai Koridor Philadelphi.
“Inilah yang telah diperingatkan Mesir selama berbulan-bulan; serangan Israel di Koridor Philadelphi menciptakan kondisi lapangan dan psikologis yang sulit dikendalikan dan diperkirakan akan meningkat,” ungkap sumber keamanan tersebut.
Pengendalian Israel atas penyeberangan Rafah untuk pertama kalinya sejak keluarnya mereka dari Gaza pada tahun 2005 telah memicu pertikaian diplomatik yang jarang terjadi dengan Mesir.
Mesir sejauh ini menolak membukanya dari sisi perbatasannya, dengan mengatakan itu adalah terminal Palestina-Mesir dan seharusnya tetap seperti itu.
Penyeberangan tersebut telah menjadi pintu gerbang utama bagi bantuan penting dan warga sipil sejak awal perang Israel di Gaza pada Oktober.
Wilayah ini dikuasai Hamas di pihak Palestina dan Mesir di pihak Sinai antara tahun 2007 dan serangan Israel pada tanggal 7 Mei.
Namun pergerakan melalui penyeberangan juga dipantau Israel, kekuatan penjajahan Gaza berdasarkan hukum internasional, berkoordinasi dengan Mesir.
(sya)