Kehabisan Makanan, Korut Minta Bantuan Internasional
A
A
A
NEW YORK - Korea Utara (Korut) mengatakan telah kehabisan makanan dengan cepat dan telah memangkas jatah makanan bagi warganya. Momok bencana kelaparan mematikan pada 1994-1998 yang menewaskan lebih dari 3 juta orang pun membayangi negara itu.
Pengakuan mengejutkan ini disampaikan oleh Duta Besar Korut untuk PBB , Kim Song, dalam sebuah memo yang didapatkan oleh NBC News. Dalam memonya, Song menekankan bahwa negaranya kekurangan makanan untuk rakyatnya.
Ia pun menyebut bencana alam dan sanksi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat (AS) dan masyarakat internasional menjadi biang keladinya. Sanksi membuat Korut kesulitan untuk membeli peralatan pertanian dari luar negeri.
Korut pun meminta bantuan dari organisasi internasional untuk memberi makan rakyatnya. Ia mencatat bahwa taksiran makanan yang dilakukan pada akhir 2018 bekerja sama dengan Program Pangan Dunia PBB menemukan bahwa Korut memproduksi 503 ribu ton lebih sedikit makanan daripada pada 2017.
Kekurangan besar ini ditengarai akibat suhu tinggi yang menciptakan rekor, kekeringan, curah hujan deras dan sanksi internasional.
Song mengatakan pembatasan pengiriman bahan pertanian yang dibutuhkan salah satu alasan utama lainnya yang membuat Korut menghadapai kekurangan makanan. Hal ini telah memaksa Pyongyang untuk memotong ransum makanan per kapita untuk keluarga pekerja kerah biru atau putih menjadi menjadi 300 gram dari 550 gram pada Januari.
"Dalam semuanya, itu membuktikan bahwa bantuan kemanusiaan dari badan-badan PBB sangat dipolitisasi dan bagaimana sanksi biadab dan tidak manusiawi," kata Song dalam memonya seperti dikutip dari IB Times, Rabu (20/2/2019).
Song mengungkapkan bahwa Korut akan terus menghadapi kekurangan pangan dan hanya dapat meningkatkan ransum sebesar 10 gram pada Juli mendatang meskipun ada upaya untuk meningkatkan impor pangan dan memanen tanamannya awal tahun ini.
PBB mengatakan 10,3 juta atau 41 persen dari populasi Korut yang berjumlah 25 juta menghadapi kerawanan pangan. Sementara 10,1 juta lainnya menderita gizi buruk.
Namun, beberapa pakar kebijakan luar negeri internasional menyimpan kekhawatiran atas pengkuan ini. Korut selama ini tidak pernah mengakui kegagalan nasional yang luar biasa ini.
Klaim Korut tentang kekurangan pangan mungkin menjadi taktik negosiasi menjelang KTT kedua yang akan datang antara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan diktator Korut Kim Jong-un di Vietnam minggu depan.
"Negara ini mungkin mengakui kelemahan, tetapi ini bukan tanpa rencana," kata Dr. Victor Cha, yang sebelumnya adalah direktur untuk Urusan Asia di Dewan Keamanan Nasional selama pemerintahan George W. Bush.
Cha mengatakan Korut mungkin merasa memiliki beberapa kekuatan untuk meyakinkan Trump untuk melonggarkan sanksi terhadapnya, terutama dengan Korea Selatan (Korsel), China dan Rusia "mengalahkan pintu Amerika Serikat."
Pengakuan mengejutkan ini disampaikan oleh Duta Besar Korut untuk PBB , Kim Song, dalam sebuah memo yang didapatkan oleh NBC News. Dalam memonya, Song menekankan bahwa negaranya kekurangan makanan untuk rakyatnya.
Ia pun menyebut bencana alam dan sanksi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat (AS) dan masyarakat internasional menjadi biang keladinya. Sanksi membuat Korut kesulitan untuk membeli peralatan pertanian dari luar negeri.
Korut pun meminta bantuan dari organisasi internasional untuk memberi makan rakyatnya. Ia mencatat bahwa taksiran makanan yang dilakukan pada akhir 2018 bekerja sama dengan Program Pangan Dunia PBB menemukan bahwa Korut memproduksi 503 ribu ton lebih sedikit makanan daripada pada 2017.
Kekurangan besar ini ditengarai akibat suhu tinggi yang menciptakan rekor, kekeringan, curah hujan deras dan sanksi internasional.
Song mengatakan pembatasan pengiriman bahan pertanian yang dibutuhkan salah satu alasan utama lainnya yang membuat Korut menghadapai kekurangan makanan. Hal ini telah memaksa Pyongyang untuk memotong ransum makanan per kapita untuk keluarga pekerja kerah biru atau putih menjadi menjadi 300 gram dari 550 gram pada Januari.
"Dalam semuanya, itu membuktikan bahwa bantuan kemanusiaan dari badan-badan PBB sangat dipolitisasi dan bagaimana sanksi biadab dan tidak manusiawi," kata Song dalam memonya seperti dikutip dari IB Times, Rabu (20/2/2019).
Song mengungkapkan bahwa Korut akan terus menghadapi kekurangan pangan dan hanya dapat meningkatkan ransum sebesar 10 gram pada Juli mendatang meskipun ada upaya untuk meningkatkan impor pangan dan memanen tanamannya awal tahun ini.
PBB mengatakan 10,3 juta atau 41 persen dari populasi Korut yang berjumlah 25 juta menghadapi kerawanan pangan. Sementara 10,1 juta lainnya menderita gizi buruk.
Namun, beberapa pakar kebijakan luar negeri internasional menyimpan kekhawatiran atas pengkuan ini. Korut selama ini tidak pernah mengakui kegagalan nasional yang luar biasa ini.
Klaim Korut tentang kekurangan pangan mungkin menjadi taktik negosiasi menjelang KTT kedua yang akan datang antara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan diktator Korut Kim Jong-un di Vietnam minggu depan.
"Negara ini mungkin mengakui kelemahan, tetapi ini bukan tanpa rencana," kata Dr. Victor Cha, yang sebelumnya adalah direktur untuk Urusan Asia di Dewan Keamanan Nasional selama pemerintahan George W. Bush.
Cha mengatakan Korut mungkin merasa memiliki beberapa kekuatan untuk meyakinkan Trump untuk melonggarkan sanksi terhadapnya, terutama dengan Korea Selatan (Korsel), China dan Rusia "mengalahkan pintu Amerika Serikat."
(ian)