Pemimpin Oposisi Kongo Menangi Pemilu Presiden

Kamis, 10 Januari 2019 - 13:59 WIB
Pemimpin Oposisi Kongo Menangi Pemilu Presiden
Pemimpin Oposisi Kongo Menangi Pemilu Presiden
A A A
KINSHASA - Komisi pemilihan umum Republik Demokratik Kongo pada hari Kamis (10/1/2019) menyatakan pemimpin oposisi Felix Tshisekedi secara mengejutkan memenangi pemilihan presiden bulan lalu. Namun, pihak yang kalah menolak hasil tersebut dan menganggapnya sebagai kudeta pemilu.

Presiden komisi pemilihan umum Kongo (CENI), Corneille Nangaa, mengatakan Tshisekedi menang dengan 38,57 persen dari lebih dari 18 juta surat suara. Pengumuman itu dilakukan pada pukul 3 dini hari guna menghindari reaksi kemenangan di jalanan.

"Felix Tshisekedi Tshilombo dinyatakan sebagai presiden sementara dari Republik Demokratik Kongo," kata Nangaa, dalam campuran sorakan di markas CENI seperti dikutip dari Reuters, Kamis (10/1/2019).

Di lingkungan Limete, Kishasa, di mana Tshisekedi tinggal, ribuan orang menari di jalanan dalam perayaan kemenangan serta mobil-mobil melambat dan membunyikan klakson mereka.

Beberapa meneriakkan bahwa Kongo telah "membalik halaman" pada era Kabila, yang dimulai pada tahun 1997 ketika ayah Joseph Kabila, Laurent, memimpin pemberontakan yang menggulingkan pemimpin lama Mobutu Sese Seko. Joseph kemudian mengambil alih pada tahun 2001 ketika Laurent dibunuh.

Berbicara kepada pendukungnya yang bersorak di markas kampanyenya, Tshisekedi memberikan penghormatan kepada Presiden Joseph Kabila, yang ia sebut sebagai mitra politik penting dan berjanji untuk memerintah bagi 80 juta warga Kongo.

"Saya tidak akan menjadi presiden sebuah organisasi politik ... saya tidak akan menjadi presiden suatu suku. Saya akan menjadi presiden semua rakyat Kongo," ujarnya.

Jika kemenangan Tshisekedi dikonfirmasi dalam 10 hari ke depan oleh mahkamah konstitusi, ia akan menjadi pemimpin pertama yang mengambil alih kekuasaan dari pemilu sejak Perdana Menteri Patrice Lumumba, yang digulingkan dalam kudeta kurang dari tiga bulan setelah kemerdekaan pada 1960 dan terbunuh empat bulan kemudian.

Kekhawatiran kelompok oposisi bahwa pihak berwenang akan memperketat pemungutan suara untuk memilih kandidat yang dipilih Kabila, Emmanuel Ramazani Shadary, tidak terwujud karena Shadary berada di urutan ketiga jauh dari Tshisekedi dan runner up Martin Fayulu dengan sekitar 4,4 juta suara.

Namun, hasilnya akan memicu kecurigaan di kalangan pendukung Fayulu bahwa Tshisekedi membuat perjanjian pembagian kekuasaan dengan Kabila. Dalam hasil jajak pendapat sebelum pemilu, Tshisekedi berada di belakang Fayulu.

Kubu Tshisekedi telah mengakui melakukan kontak dengan perwakilan Kabila sejak pemungutan suara tetapi mengatakan mereka bertujuan untuk memastikan transisi yang damai dan membantah telah ada kesepakatan.

Dalam sebuah wawancara dengan Radio France Internationale (RFI), Fayulu, yang didukung oleh musuh utama Kabila, menggambarkan pemungutan suara sebagai "kudeta pemilu".

"Hasilnya tidak ada hubungannya dengan kebenaran kotak suara," katanya kepada RFI, dan meminta pengamat pada pemilu 30 Desember lalu untuk mempublikasikan hasil nyata.

Tshisekedi adalah putra dari Etienne Tshisekedi yang legendaris. Ia adalah pemimpin oposisi terhadap tiga presiden berturut-turut selama 35 tahun. Profil Felix naik ketika ayahnya meninggal pada tahun 2017 setelah membantu untuk menegosiasikan lengsernya Kabila.

Kabila awalnya menolak untuk mengundurkan diri ketika mandatnya berakhir pada 2016. Dalam sebuah wawancara bulan lalu, dia tidak mengesampingkan pencalonan kembali sebagai presiden pada tahun 2023.

Kandidat yang kalah dapat menggagalkan kemenangan Tshisekedi di hadapan mahkamah konstitusi Kongo, yang memiliki waktu 10 hari untuk mendengar dan memutuskan setiap aduan.

Setiap persepsi yang tersebar luas bahwa pemilu telah dicuri dapat memicu siklus kerusuhan yang tidak stabil, terutama di daerah perbatasan timur yang bergejolak di mana Fayulu menikmati sebagian dari dukungannya yang terkuat.

Konferensi para uskup Gereja Katolik (CENCO) mengatakan minggu lalu bahwa mereka mengetahui identitas pemenang dan menuntut agar CENI mempublikasikan hasil yang akurat. Gereja tidak mengatakan siapa yang dianggap sebagai pemenang, tetapi memberi penjelasan singkat kepada diplomat tentang kesimpulannya. CENCO tidak segera tersedia untuk memberikan komentar setelah hasil.

Menurut hasil penghitungan suara oleh CENCO, Martin Fayulu sebagai pemenang, menurut dua diplomat yang diberi penjelasan singkat tentang temuan itu.

Pemungutan suara awalnya ditunda selama seminggu sebagian karena kebakaran yang menghancurkan surat suara. Pihak berwenang membatalkan pemungutan suara pada hari pemilihan untuk lebih dari satu juta orang, dengan mengatakan pemungutan suara tidak dapat dilanjutkan karena wabah Ebola dan kekerasan milisi.

Pengamat mengatakan banyak TPS dibuka terlambat dan ditutup lebih awal dan di beberapa tempat mesin pemungutan suara tidak berfungsi.
(ian)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4621 seconds (0.1#10.140)