Israel Tak Kenal Bahasa Selain Perang, Jadi Harus Dilawan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rezim Zionis Israel tidak mengenal bahasa selain perang, jadi harus mendapat perlawanan. Demikian disampaikan Koordinator Humas Aksi Hari Al-Quds Internasional se-Indonesia Dede Azwar saat menyampaikan dukungannya untuk Palestina, Rabu (10/4/2024).
Dukungan Dede disampaikan ketika militer Israel sedang bersiap untuk meluncurkan invasi darat ke Rafah, Gaza selatan. Militer Zionis selama ini berdalih, Rafah menjadi tempat para milisi Hamas bercokol—mengabaikan fakta bahwa wilayah yang berbatasan dengan Mesir itu menjadi tempat para warga sipil mengungsi setelah perang Israel-Hamas pecah sejak 7 Oktober 2023.
"Sikap saya terhadap rencana Israel menyerbu Rafah, jelas ini harus disetop,” katanya. “Bukan dengan suara, melainkan dengan perlawanan," katanya lagi.
"Kenapa kami membela Palestina begitu keras karena ini soal penjajahan," lanjut Dede.
Dede menilai pemberitaan media terlalu terpaku pada penderitaan warga Gaza. Faktanya, kata dia, warga Gaza melakukan perlawanan terhadap penjajahan Zionis Israel.
“Gaza secara umum bukan hanya korban. Mereka adalah pahlawan karena tetap bertahan di Tanah Air mereka," kata Dede.
Lebih lanjut, Dede mencermati niat Irlandia dan negara Eropa lainnya untuk mengakui Palestina sebagai negara merdeka.
Dia mempertanyakan pengakuan itu nantinya mencakup semua wilayah, termasuk Gaza, atau hanya mendukung pemerintahan Otoritas Palestina saja.
“Kalau pengakuan lebih ke Otoritas Palestina yang sekarang, kami tidak masuk dalam permainan ini,” katanya.
Pengakuan tersebut, sambung dia, harus mencakup semua wilayah Palestina, yakni Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem. “Kami tidak menempuh jalur pengkhianatan,” katanya.
Sekadar diketahui, Irlandia dan beberapa Negara Uni Eropa berniat mengakui Negara Palestina.
Di sisi lain, Dede mempertanyakan sikap kelompok aktivis World Uighur Congres (WUC) yang justru mengecam Hamas, bukannya mengecam penjajahan dan kekerasan Israel terhadap Palestina sejak 1948—tahun ketika Negara Israel didirikan.
Dede mengkritisi latar belakang WUC sebagai kelompok yang didanai oleh National Endowment for Democracy (NED) milik Amerika Serikat (AS).
“Mereka (WUC) sudah didaftar, disebut pemerintah China sebagai teroris,” kata Dede.
Menurut Dede, WUC yang bermarkas di Munich, Jerman, tak ubahnya seperti “alat” Barat untuk mendestabilisasi China.
“Sekarang identitasi keislaman mereka pakai untuk dibenturkan dengan Hamas. Kami tahu, Hamas jatuh bangun membela Palestina,” ujarnya.
WUC, sambung Dede, tidak mengerti bahwa yang terjadi di Palestina ini adalah kolonialisme sejak 1948.
Dia lantas membandingkan kolonialisme yang dilakukan oleh rezim Hitler dengan rezim Zionis Israel, yang menurutnya justru lebih parah yang dilakukan Israel.
Dede memuji aksi bakar diri tentara Amerika Serikat (AS) di depan Kedutaan Besar Israel di Washington beberapa waktu lalu sebagai aksi luar biasa dalam membela Palestina.
"Itu menunjukkan frustrasi yang luar biasa di diri mereka, bahkan di rakyat Barat sendiri dan ini harus kita jadikan catatan,” katanya.
Perang Israel-Hamas telah menewaskan lebih dari 33.000 orang sejak dimulai 7 Oktober 2023. Mayoritas korban jiwa tersebutadalah warga sipil Palestina di Gaza.
Dukungan Dede disampaikan ketika militer Israel sedang bersiap untuk meluncurkan invasi darat ke Rafah, Gaza selatan. Militer Zionis selama ini berdalih, Rafah menjadi tempat para milisi Hamas bercokol—mengabaikan fakta bahwa wilayah yang berbatasan dengan Mesir itu menjadi tempat para warga sipil mengungsi setelah perang Israel-Hamas pecah sejak 7 Oktober 2023.
"Sikap saya terhadap rencana Israel menyerbu Rafah, jelas ini harus disetop,” katanya. “Bukan dengan suara, melainkan dengan perlawanan," katanya lagi.
"Kenapa kami membela Palestina begitu keras karena ini soal penjajahan," lanjut Dede.
Dede menilai pemberitaan media terlalu terpaku pada penderitaan warga Gaza. Faktanya, kata dia, warga Gaza melakukan perlawanan terhadap penjajahan Zionis Israel.
“Gaza secara umum bukan hanya korban. Mereka adalah pahlawan karena tetap bertahan di Tanah Air mereka," kata Dede.
Eropa Hendak Akui Palestina
Lebih lanjut, Dede mencermati niat Irlandia dan negara Eropa lainnya untuk mengakui Palestina sebagai negara merdeka.
Dia mempertanyakan pengakuan itu nantinya mencakup semua wilayah, termasuk Gaza, atau hanya mendukung pemerintahan Otoritas Palestina saja.
“Kalau pengakuan lebih ke Otoritas Palestina yang sekarang, kami tidak masuk dalam permainan ini,” katanya.
Pengakuan tersebut, sambung dia, harus mencakup semua wilayah Palestina, yakni Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem. “Kami tidak menempuh jalur pengkhianatan,” katanya.
Sekadar diketahui, Irlandia dan beberapa Negara Uni Eropa berniat mengakui Negara Palestina.
Mengapa Uighur Kecam Hamas?
Di sisi lain, Dede mempertanyakan sikap kelompok aktivis World Uighur Congres (WUC) yang justru mengecam Hamas, bukannya mengecam penjajahan dan kekerasan Israel terhadap Palestina sejak 1948—tahun ketika Negara Israel didirikan.
Dede mengkritisi latar belakang WUC sebagai kelompok yang didanai oleh National Endowment for Democracy (NED) milik Amerika Serikat (AS).
“Mereka (WUC) sudah didaftar, disebut pemerintah China sebagai teroris,” kata Dede.
Menurut Dede, WUC yang bermarkas di Munich, Jerman, tak ubahnya seperti “alat” Barat untuk mendestabilisasi China.
“Sekarang identitasi keislaman mereka pakai untuk dibenturkan dengan Hamas. Kami tahu, Hamas jatuh bangun membela Palestina,” ujarnya.
WUC, sambung Dede, tidak mengerti bahwa yang terjadi di Palestina ini adalah kolonialisme sejak 1948.
Dia lantas membandingkan kolonialisme yang dilakukan oleh rezim Hitler dengan rezim Zionis Israel, yang menurutnya justru lebih parah yang dilakukan Israel.
Dede memuji aksi bakar diri tentara Amerika Serikat (AS) di depan Kedutaan Besar Israel di Washington beberapa waktu lalu sebagai aksi luar biasa dalam membela Palestina.
"Itu menunjukkan frustrasi yang luar biasa di diri mereka, bahkan di rakyat Barat sendiri dan ini harus kita jadikan catatan,” katanya.
Perang Israel-Hamas telah menewaskan lebih dari 33.000 orang sejak dimulai 7 Oktober 2023. Mayoritas korban jiwa tersebutadalah warga sipil Palestina di Gaza.
(mas)