Pakar: Iran Mustahil Berani Serang Israel Meski Konsulatnya Digempur Jet Siluman F-35

Kamis, 04 April 2024 - 07:02 WIB
loading...
Pakar: Iran Mustahil Berani Serang Israel Meski Konsulatnya Digempur Jet Siluman F-35
Para pakar menilai Iran mustahil berani serang Israel secara langsung meski konsulatnya di Damaskus, Suriah, diserang jet tempur siluman F-35 Tel Aviv dan tewaskan 2 jenderal IRGC. Foto/AP Photo/Omar Sanadiki
A A A
TEHERAN - Para pakar berpendapat Iran mustahil berani melancarkan serangan ke wilayah Israel secara langsung setelah konsulatnya di Damaskus, Suriah, diserang jet tempur siluman F-35 Tel Aviv.

Serangan udara F-35 Israel pada hari Senin merupakan salah satu pukulan terbesar bagi Iran sejak pembunuhan komandan Pasukan Quds Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Mayor Jenderal Qassem Soleimani oleh Amerika Serikat (AS) pada tahun 2020.

Serangan tersebut mempunyai arti penting bukan hanya karena banyaknya korban jiwa tetapi juga karena serangan tersebut menargetkan fasilitas diplomatik Iran, yang secara efektif merupakan serangan terhadap wilayah Iran oleh Israel.

Serangan tersebut, menurut duta besar Iran, dilakukan oleh jet tempur siluman F-35, meratakan gedung konsulat yang berdiri berdekatan dengan Kedutaan Iran. Media pemerintah Iran melaporkan 13 korban jiwa, termasuk tujuh anggota IRGC Iran dan enam warga negara Suriah.

Di antara anggota IRGC yang terbunuh adalah dua komandan senior: Brigadir Jenderal Mohammad-Reza Zahedi dan wakilnya, Brigadir Jenderal Mohammad-Hadi Haji-Rahimi.



Zahedi, yang diyakini sebagai target utama, telah lama mengawasi operasi Pasukan Quds—cabang operasi luar negeri IRGC—di Suriah dan Lebanon.

Hilangnya para komandan penting ini dan serangan terhadap fasilitas diplomatik Iran menimbulkan pertanyaan tentang potensi pembalasan Iran.

Meskipun kehilangan beberapa tokoh militer tingkat tinggi sejak dimulainya perang Gaza pada bulan Oktober, Iran telah menahan diri dari serangan langsung terhadap Israel.

Pengekangan ini kemungkinan besar berasal dari fokus utama Republik Islam Iran pada pertahanan diri sejak didirikan pada tahun 1979.

Perang langsung dengan Israel dan pendukung utamanya, Amerika Serikat, akan menimbulkan ancaman besar bagi kelangsungan rezim tersebut.

Arash Azizi, dosen senior sejarah dan ilmu politik di Clemson University di South Carolina, mengatakan kepada Al Arabiya English bahwa Iran mustahil mengambil tindakan langsung terhadap sasaran Israel, terutama sasaran yang signifikan.

Azizi mengatakan Iran, meski menghadapi tekanan untuk membalas, mungkin juga berusaha menghindari apa yang dia sebut sebagai “umpan Netanyahu", mengacu pada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang negaranya terlibat dalam perang di Gaza dengan kelompok Hamas yang didukung Iran hampir enam bulan terakhir.

Israel, yang dikenal sering melakukan serangan udara terhadap sasaran-sasaran yang terkait dengan Iran di Suriah, tetap diam mengenai serangan tersebut. Namun, pejabat Israel yang tidak disebutkan namanya yang dikutip oleh New York Times mengakui tanggung jawab Israel.

Pada hari Selasa Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei bersumpah akan membalas dendam.

“[Israel] akan dihukum di tangan orang-orang pemberani kami. Kami akan membuatnya menyesali kejahatan ini dan kejahatan lain yang telah dilakukannya,” katanya.

Beberapa orang berspekulasi apakah rujukan Khamenei pada “orang-orang pemberani kami” mengisyaratkan pembalasan langsung dari Iran dan bukan melalui perantaraan.

Namun, Kasra Aarabi, direktur penelitian IRGC di United Against Nuclear Iran, tidak setuju dengan penafsiran pernyataan Khamenei tersebut, dan mengatakan bahwa pemimpin Iran memandang Timur Tengah “bukan melalui negara-bangsa, tetapi melalui prisma ‘Imam dan Umat’.”

"Khamenei menganggap dirinya sebagai Imam dan semua pejuang proksi Imam. Dengan demikian, mereka juga dapat dianggap sebagai ‘orang kami’ untuk Khamenei,” jelas Aarabi dalam posting-an di platform media sosial X.

Dia menambahkan bahwa dia tidak yakin serangan Israel akan mengarah pada perang langsung atau serangan Iran terhadap Israel.

“IRGC tidak memiliki doktrin atau kemampuan untuk berperang langsung dengan Israel, terutama ketika ketidakstabilan dalam negeri di Iran setinggi yang terjadi saat ini," katanya.

Penargetan fasilitas diplomatik Iran yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh Israel telah menarik perhatian, terutama karena secara teknis tindakan tersebut merupakan serangan terhadap wilayah Iran.

Namun Israel, dalam beberapa tahun terakhir, melakukan berbagai operasi di wilayah Iran tanpa menghadapi tindakan pembalasan langsung. Misalnya, pada tahun 2020, ilmuwan nuklir terkemuka Iran, Mohsen Fakhrizadeh, dibunuh di Iran dalam serangan yang dikaitkan dengan Israel.

Meir Javedanfar, dosen politik Iran di Reichman University di Israel, juga percaya bahwa tanggapan langsung Iran terhadap Israel tidak mungkin terjadi.

Dia menyoroti kerentanan ekonomi Iran, dan menyatakan bahwa perang dengan Israel dapat menjadi bencana besar bagi Iran.

“Tekanan ekonomi akibat perang melawan Israel dapat mendorong perekonomian Iran ke jurang jurang kehancuran. Dan ini bukanlah risiko yang, secara logika, ingin diambil oleh Khamenei,” kata Javedanfar kepada Al Arabiya English, Kamis (4/4/2024).

Oleh karena itu, Javedanfar menyarankan agar Iran lebih cenderung mengandalkan proksinya untuk menargetkan Israel atau kepentingan Israel daripada terlibat langsung dengan Israel sendiri.

Di masa lalu, Iran membalas serangan Israel dengan menargetkan situs-situs di Kurdistan Irak yang dituduh terkait dengan agen mata-mata Israel, Mossad.

Namun, mengingat sifat serangan Israel terbaru, Republik Islam Iran mungkin menghadapi tekanan yang meningkat dari para pendukungnya di dalam negeri untuk melakukan bentuk pembalasan yang berbeda dan berpotensi lebih kuat.

Para pejabat tinggi di Iran, yang biasanya menyamakan tindakan AS dan Israel dalam pernyataan publik mereka, telah menyalahkan Washington atas serangan tersebut.

Dalam posting-an X jam setelah serangan Israel, Menteri Luar Negeri Hossein Amir-Abdollahian mengatakan bahwa Iran menganggap AS bertanggung jawab atas serangan terhadap konsulatnya. “Amerika harus bertanggung jawab," tulis dia.

Ali Shamkhani, penasihat Khamenei, menyuarakan sentimen serupa, menulis dalam sebuah postingan di platform media sosial: "AS tetap bertanggung jawab secara langsung baik mereka menyadari niat untuk melakukan serangan ini atau tidak.”

Namun para pejabat AS membantah terlibat, dan menekankan bahwa Washington tidak berperan dalam serangan tersebut.

Iran dapat membalas dengan memerintahkan proksinya untuk melanjutkan serangan terhadap pasukan AS di Irak dan Suriah. Serangan semacam itu sering terjadi hingga akhir Januari ketika Washington menanggapi pembunuhan tiga tentara AS di Yordania dengan sejumlah serangan udara terhadap sasaran di Suriah dan Irak yang berafiliasi dengan Iran dan milisi yang didukungnya.

Menyusul serangan Israel pada hari Senin, pasukan AS di Suriah mencegat serangan drone satu arah di dekat pangkalan al-Tanf. Namun, para pejabat AS mengatakan mereka tidak yakin pangkalan itu merupakan sasaran yang dimaksudkan.

Asal-usul drone tersebut dan pihak yang bertanggung jawab atas peluncurannya masih belum jelas, meskipun Wakil Juru Bicara Pentagon Sabrina Singh mengaitkannya dengan milisi yang didukung IRGC.
(mas)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1665 seconds (0.1#10.140)