Presiden Palestina Mahmoud Abbas Tunjuk Pemerintahan Baru
loading...
A
A
A
TEPI BARAT - Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas mengumumkan pembentukan pemerintahan baru pada Kamis (28/3/2024).
Perdana menteri yang baru menyatakan dia ingin Otoritas Palestina memikul “tanggung jawab atas Gaza” ketika perang Israel-Hamas berakhir.
Abbas, yang memimpin Otoritas Palestina sejak 2005, mengumumkan kabinet barunya melalui keputusan presiden.
Pria berusia 88 tahun itu menunjuk mantan penasihatnya, Mohammed Mustafa, untuk menjabat sebagai perdana menteri, dan mengungkapkan kabinetnya akan mencakup tiga perempuan dan enam pejabat dari Gaza.
Mustafa, ekonom lulusan Amerika Serikat (AS), menggantikan Mohammad Shtayyeh, yang mengundurkan diri bersama seluruh kabinetnya bulan lalu.
Shtayyeh mengatakan dia mengundurkan diri karena “perkembangan politik, keamanan, dan ekonomi terkait dengan agresi terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza, dan eskalasi yang belum pernah terjadi sebelumnya” terhadap wilayah yang dikuasai Otoritas Palestina di Tepi Barat.
Mustafa mengatakan “prioritas nasional utamanya” adalah mengakhiri perang di Gaza, sebelum “merumuskan visi untuk menyatukan kembali institusi-institusi tersebut, termasuk memikul tanggung jawab atas Gaza,” menurut laporan AFP.
Berbasis di kota Ramallah, Otoritas Palestina menjalankan kendali sipil atas sekitar 40% Tepi Barat, sementara wilayah lainnya berada di bawah kendali penuh militer dan sipil Israel.
Otoritas Palestina sebagian besar terdiri dari partai-partai politik di bawah payung Organisasi Pembebasan Palestina, dan didominasi faksi Fatah pimpinan Abbas.
Gaza, bagaimanapun, telah berada di bawah kendali Hamas sejak 2007, ketika kelompok tersebut memenangkan pemilu dan kemudian terlibat konflik bersenjata singkat dan berdarah dengan Fatah.
Hamas memandang Otoritas Palestina tidak sah atas pengakuan dan negosiasinya dengan Israel.
Presiden AS Joe Biden berpendapat Gaza pascaperang harus diperintah oleh “Otoritas Palestina yang telah direvitalisasi.”
Setelah pertemuan dengan Abbas pada bulan Januari, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan kepada wartawan bahwa Washington menginginkan PA yang direformasi untuk “secara efektif mengambil tanggung jawab atas Gaza” ketika pertempuran berhenti.
Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak rencana tersebut dan bersikeras menerapkan “kendali keamanan penuh Israel” atas wilayah tersebut di masa mendatang.
Selain itu, Otoritas Palestina hanya mendapat sedikit dukungan dari masyarakat Palestina karena penolakan Abbas untuk menyelenggarakan pemilu, kesediaannya mengizinkan pasukan Israel beroperasi sesuka hati di Tepi Barat, dan kegagalannya menghentikan penyebaran permukiman ilegal Israel di wilayah tersebut.
Perdana menteri yang baru menyatakan dia ingin Otoritas Palestina memikul “tanggung jawab atas Gaza” ketika perang Israel-Hamas berakhir.
Abbas, yang memimpin Otoritas Palestina sejak 2005, mengumumkan kabinet barunya melalui keputusan presiden.
Pria berusia 88 tahun itu menunjuk mantan penasihatnya, Mohammed Mustafa, untuk menjabat sebagai perdana menteri, dan mengungkapkan kabinetnya akan mencakup tiga perempuan dan enam pejabat dari Gaza.
Mustafa, ekonom lulusan Amerika Serikat (AS), menggantikan Mohammad Shtayyeh, yang mengundurkan diri bersama seluruh kabinetnya bulan lalu.
Shtayyeh mengatakan dia mengundurkan diri karena “perkembangan politik, keamanan, dan ekonomi terkait dengan agresi terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza, dan eskalasi yang belum pernah terjadi sebelumnya” terhadap wilayah yang dikuasai Otoritas Palestina di Tepi Barat.
Mustafa mengatakan “prioritas nasional utamanya” adalah mengakhiri perang di Gaza, sebelum “merumuskan visi untuk menyatukan kembali institusi-institusi tersebut, termasuk memikul tanggung jawab atas Gaza,” menurut laporan AFP.
Berbasis di kota Ramallah, Otoritas Palestina menjalankan kendali sipil atas sekitar 40% Tepi Barat, sementara wilayah lainnya berada di bawah kendali penuh militer dan sipil Israel.
Otoritas Palestina sebagian besar terdiri dari partai-partai politik di bawah payung Organisasi Pembebasan Palestina, dan didominasi faksi Fatah pimpinan Abbas.
Gaza, bagaimanapun, telah berada di bawah kendali Hamas sejak 2007, ketika kelompok tersebut memenangkan pemilu dan kemudian terlibat konflik bersenjata singkat dan berdarah dengan Fatah.
Hamas memandang Otoritas Palestina tidak sah atas pengakuan dan negosiasinya dengan Israel.
Presiden AS Joe Biden berpendapat Gaza pascaperang harus diperintah oleh “Otoritas Palestina yang telah direvitalisasi.”
Setelah pertemuan dengan Abbas pada bulan Januari, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan kepada wartawan bahwa Washington menginginkan PA yang direformasi untuk “secara efektif mengambil tanggung jawab atas Gaza” ketika pertempuran berhenti.
Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak rencana tersebut dan bersikeras menerapkan “kendali keamanan penuh Israel” atas wilayah tersebut di masa mendatang.
Selain itu, Otoritas Palestina hanya mendapat sedikit dukungan dari masyarakat Palestina karena penolakan Abbas untuk menyelenggarakan pemilu, kesediaannya mengizinkan pasukan Israel beroperasi sesuka hati di Tepi Barat, dan kegagalannya menghentikan penyebaran permukiman ilegal Israel di wilayah tersebut.
(sya)