Rusia Ungkap Bagaimana AS Memfasilitasi Pembentukan Kelompok Teror Seperti ISIS
loading...
A
A
A
MOSKOW - Dalam upaya mereka menghilangkan kecurigaan terhadap Ukraina dengan menyalahkan kelompok Negara Islam (ISIS) atas serangan teroris di Balai Kota Crocus, para ahli strategi politik Amerika Serikat (AS) yang menciptakan taktik ini justru menyudutkan diri mereka sendiri.
Hal itu diungkap juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Rusia Maria Zakharova saat mengomentari serangan teror di Moskow.
“Sama seperti campur tangan AS di Afghanistan pada tahun 1980-an yang membuka jalan bagi kebangkitan al-Qaeda, invasi AS tahun 2003 dan pendudukan de facto di Irak mengakibatkan terbentuknya ISIS,” papar juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova, dilansir Sputnik.
Penilaian itu juga disampaikan Hasan Abdullah, ilmuwan politik di Global Security & Strategy Institute dan pakar militansi Islam.
Abdullah mencatat tindakan AS di Afghanistan selama intervensi militer Soviet menghasilkan “lingkungan yang kondusif yang diciptakan untuk munculnya banyak kelompok” yang nantinya akan “beroperasi di negara-negara tetangga juga.”
“Anda juga bisa berbicara tentang al-Qaeda. Al-Qaeda adalah salah satu kelompok yang muncul dari sana. Jadi, bisa dibilang lingkungan yang tercipta pada akhirnya membuka jalan bagi al-Qaeda juga,” papar dia.
Upaya Amerika Serikat untuk melakukan perang proksi melawan Uni Soviet di Afghanistan mengakibatkan munculnya “generasi Mujahidin baru dengan pola pikir Jihadi yang masih menghantui perdamaian dunia,” menurut Syed Fakhar Kakakhel, jurnalis senior yang berbasis di Peshawar yang mengkhususkan diri dalam meliput politik dan militansi di Afghanistan dan Pakistan.
“Kelompok militan Asia Tengah seperti Gerakan Islam Turkestan Timur (ETIM) dan Gerakan Islam Uzbekistan (IMU) dibentuk berdasarkan inspirasi dari Jihad Afghanistan,” ungkap Kakakhel.
“Saat itulah para pejuang Arab masuk ke wilayah ini, di antaranya adalah Syeikh Saudi Osama Bin Laden, pendiri al-Qaeda. Al-Qaeda sama yang membalas Amerika Serikat dengan serangan teror 9/11 yang menewaskan ratusan warga Amerika yang tidak bersalah,” papar Kakakhel.
Apa yang disebut Perang Melawan Teror yang dilancarkan Amerika Serikat dan sekutu NATO-nya di dunia setelah serangan teroris 9/11, termasuk invasi ke Afghanistan pada tahun 2001 dan invasi ke Irak pada tahun 2003, membuka peluang baru.
Invasi AS, meskipun ilegal, menyebabkan radikalisasi banyak kelompok dan individu di Irak yang, seperti dikatakan Abdullah, “merasa bahwa sudah menjadi kewajiban agama mereka atau, dalam kasus banyak kelompok sekuler, tugas nasionalis untuk melawan penyerbu."
“Invasi AS ke Irak disebabkan (dugaan yang akhirnya salah mengenai) kehadiran senjata pemusnah massal (WMD) yang menyebabkan (Pemimpin al-Qaeda Irak) Abu Musab Al Zarqawi pindah ke Irak dan mulai berperang melawan pasukan Barat di Iraq. Dialah yang membangun kamp pelatihan di Suriah sehingga mengganggu stabilitas seluruh wilayah,” ungkap Kakakhel.
Dia menjelaskan, “Kemudian terungkap bahwa tidak ada senjata pemusnah massal di Irak.”
“Hal ini disebabkan oleh perang di Afghanistan dan Timur Tengah oleh Barat sehingga organisasi militan seperti al-Qaeda, ETIM, IMU, dan ISIS telah dibentuk, sehingga membahayakan perdamaian global,” papar dia.
Penarikan pasukan AS dari Afghanistan pada tahun 2021 tidak banyak memperbaiki keadaan di kawasan, terutama karena pasukan AS yang melarikan diri meninggalkan peralatan dan peralatan militer senilai miliaran dolar.
“Negara-negara tetangga Afghanistan percaya bahwa sekarang berbagai organisasi militan menggunakan senjata ini untuk melawan mereka. Kami telah menyaksikan peningkatan besar serangan di Pakistan dan Iran oleh organisasi ekstremis agama yang dilengkapi dengan senjata terbaru ini,” ujar Kakakhel.
Sementara itu, Abdullah mengamati Amerika Serikat tampak menutup mata terhadap munculnya organisasi teroris di dunia karena kelompok, perusahaan, dan lobi yang kuat di Amerika mendapatkan keuntungan dari ketidakstabilan dan perang.
“Dalam banyak kasus, kami menemukan adanya konvergensi kepentingan antara organisasi-organisasi teroris dan elit penguasa Amerika. Ketika Anda melihat konteks tersebut, dapat dimengerti mengapa konvergensi kepentingan ini terkadang membuka jalan bagi Amerika untuk membiarkan beberapa organisasi teroris ini berkembang biak,” ungkap dia.
Mengenai penolakan Amerika Serikat terhadap usulan Rusia pada tahun 2015 untuk membentuk front global anti-ISIS, Abdullah berspekulasi, “Amerika tidak ingin Rusia menerima pujian apa pun.”
“Usulan Rusia bisa saja sangat berperan dan Amerika tidak ingin Rusia mendapat pujian karena memprakarsai usulan tersebut dan membentuk koalisi yang dapat bermanfaat bagi komunitas internasional secara luas. Saya pikir itu alasan mendasarnya,” ungkap dia.
Abdullah menunjukkan kecenderungan yang aneh, “Meskipun korban terbesar ISIS sebenarnya adalah umat Islam, penerima manfaat terbesar dari aktivitas kelompok teroris tersebut sebenarnya adalah sejumlah negara Barat.”
“Selain itu, sejumlah tokoh ISIS ternyata adalah orang-orang yang memiliki koneksi dengan organisasi-organisasi intelijen Barat atau bahkan yang pernah menjadi bagian dari berbagai pasukan khusus atau organisasi intelijen Barat,” pungkas dia.
Hal itu diungkap juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Rusia Maria Zakharova saat mengomentari serangan teror di Moskow.
“Sama seperti campur tangan AS di Afghanistan pada tahun 1980-an yang membuka jalan bagi kebangkitan al-Qaeda, invasi AS tahun 2003 dan pendudukan de facto di Irak mengakibatkan terbentuknya ISIS,” papar juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova, dilansir Sputnik.
Penilaian itu juga disampaikan Hasan Abdullah, ilmuwan politik di Global Security & Strategy Institute dan pakar militansi Islam.
Abdullah mencatat tindakan AS di Afghanistan selama intervensi militer Soviet menghasilkan “lingkungan yang kondusif yang diciptakan untuk munculnya banyak kelompok” yang nantinya akan “beroperasi di negara-negara tetangga juga.”
“Anda juga bisa berbicara tentang al-Qaeda. Al-Qaeda adalah salah satu kelompok yang muncul dari sana. Jadi, bisa dibilang lingkungan yang tercipta pada akhirnya membuka jalan bagi al-Qaeda juga,” papar dia.
Upaya Amerika Serikat untuk melakukan perang proksi melawan Uni Soviet di Afghanistan mengakibatkan munculnya “generasi Mujahidin baru dengan pola pikir Jihadi yang masih menghantui perdamaian dunia,” menurut Syed Fakhar Kakakhel, jurnalis senior yang berbasis di Peshawar yang mengkhususkan diri dalam meliput politik dan militansi di Afghanistan dan Pakistan.
“Kelompok militan Asia Tengah seperti Gerakan Islam Turkestan Timur (ETIM) dan Gerakan Islam Uzbekistan (IMU) dibentuk berdasarkan inspirasi dari Jihad Afghanistan,” ungkap Kakakhel.
“Saat itulah para pejuang Arab masuk ke wilayah ini, di antaranya adalah Syeikh Saudi Osama Bin Laden, pendiri al-Qaeda. Al-Qaeda sama yang membalas Amerika Serikat dengan serangan teror 9/11 yang menewaskan ratusan warga Amerika yang tidak bersalah,” papar Kakakhel.
Apa yang disebut Perang Melawan Teror yang dilancarkan Amerika Serikat dan sekutu NATO-nya di dunia setelah serangan teroris 9/11, termasuk invasi ke Afghanistan pada tahun 2001 dan invasi ke Irak pada tahun 2003, membuka peluang baru.
Invasi AS, meskipun ilegal, menyebabkan radikalisasi banyak kelompok dan individu di Irak yang, seperti dikatakan Abdullah, “merasa bahwa sudah menjadi kewajiban agama mereka atau, dalam kasus banyak kelompok sekuler, tugas nasionalis untuk melawan penyerbu."
“Invasi AS ke Irak disebabkan (dugaan yang akhirnya salah mengenai) kehadiran senjata pemusnah massal (WMD) yang menyebabkan (Pemimpin al-Qaeda Irak) Abu Musab Al Zarqawi pindah ke Irak dan mulai berperang melawan pasukan Barat di Iraq. Dialah yang membangun kamp pelatihan di Suriah sehingga mengganggu stabilitas seluruh wilayah,” ungkap Kakakhel.
Dia menjelaskan, “Kemudian terungkap bahwa tidak ada senjata pemusnah massal di Irak.”
“Hal ini disebabkan oleh perang di Afghanistan dan Timur Tengah oleh Barat sehingga organisasi militan seperti al-Qaeda, ETIM, IMU, dan ISIS telah dibentuk, sehingga membahayakan perdamaian global,” papar dia.
Penarikan pasukan AS dari Afghanistan pada tahun 2021 tidak banyak memperbaiki keadaan di kawasan, terutama karena pasukan AS yang melarikan diri meninggalkan peralatan dan peralatan militer senilai miliaran dolar.
“Negara-negara tetangga Afghanistan percaya bahwa sekarang berbagai organisasi militan menggunakan senjata ini untuk melawan mereka. Kami telah menyaksikan peningkatan besar serangan di Pakistan dan Iran oleh organisasi ekstremis agama yang dilengkapi dengan senjata terbaru ini,” ujar Kakakhel.
Sementara itu, Abdullah mengamati Amerika Serikat tampak menutup mata terhadap munculnya organisasi teroris di dunia karena kelompok, perusahaan, dan lobi yang kuat di Amerika mendapatkan keuntungan dari ketidakstabilan dan perang.
“Dalam banyak kasus, kami menemukan adanya konvergensi kepentingan antara organisasi-organisasi teroris dan elit penguasa Amerika. Ketika Anda melihat konteks tersebut, dapat dimengerti mengapa konvergensi kepentingan ini terkadang membuka jalan bagi Amerika untuk membiarkan beberapa organisasi teroris ini berkembang biak,” ungkap dia.
Mengenai penolakan Amerika Serikat terhadap usulan Rusia pada tahun 2015 untuk membentuk front global anti-ISIS, Abdullah berspekulasi, “Amerika tidak ingin Rusia menerima pujian apa pun.”
“Usulan Rusia bisa saja sangat berperan dan Amerika tidak ingin Rusia mendapat pujian karena memprakarsai usulan tersebut dan membentuk koalisi yang dapat bermanfaat bagi komunitas internasional secara luas. Saya pikir itu alasan mendasarnya,” ungkap dia.
Abdullah menunjukkan kecenderungan yang aneh, “Meskipun korban terbesar ISIS sebenarnya adalah umat Islam, penerima manfaat terbesar dari aktivitas kelompok teroris tersebut sebenarnya adalah sejumlah negara Barat.”
“Selain itu, sejumlah tokoh ISIS ternyata adalah orang-orang yang memiliki koneksi dengan organisasi-organisasi intelijen Barat atau bahkan yang pernah menjadi bagian dari berbagai pasukan khusus atau organisasi intelijen Barat,” pungkas dia.
(sya)