Sanksi AS Dorong Iran Putus Akses Internet
A
A
A
TEHERAN - Kepala Organisasi Pertahanan Sipil Iran, Brigadir Jenderal Gholamreza Jalali mengatakan, negaranya sedang dalam proses memutus akses internet dan meluncurkan jaringan nasional. Langkah ini dilakukan sebagai dampak atas sanksi yang dikenakan kembali oleh Amerika Serikat (AS) pada awal November.
"Setelah 4 November, dengan dimulainya babak kedua sanksi AS, kami akan beralih ke jaringan informasi nasional yang akan memberikan layanan dasar rakyat," kata Jalali seperti disitir dari Al Arabiya, Sabtu (20/10/2018).
Jalali menambahkan bahwa Iran sedang menghadapi ancaman yang kompleks saat ini di situs dan aplikasi di media sosial.
"Mereka adalah alat dalam perang psikologis terhadap Iran pada tingkat budaya, politik, sekuritas dan ekonomi," imbuhnya.
"Ancaman media sosial yang kompleks adalah prioritas utama kami dan kami menghadapinya sebagai ancaman terhadap keamanan nasional," ujarnya lagi.
Dia memperingatkan bahwa AS ingin menghasut rakyat Iran untuk melawan pemerintah melalui media, telepon dan internet.
Sejak pecahnya protes populer pada bulan Januari, yang terus meletus secara sporadis dari waktu ke waktu karena berbagai alasan ekonomi dan kondisi kehidupan, otoritas Iran mencoba untuk mengontrol server yang menyediakan aplikasi asing, untuk mengungkap aktivis dan konten yang mengandung protes di mana aplikasi media sosial dan jaringan, memainkan peran utama.
Sanksi AS baru-baru ini dijatuhkan kepada Abulhassan Firouz Abadi, kepala Dewan Tertinggi untuk Keamanan Dunia Maya, dengan pejabat Iran lainnya, seperti Abdul Samad Khoram Abadi, kepala komite investigasi kejahatan internet, serta TV dan kepala Otoritas Radio Abd Ali Askari untuk peran mereka dalam pelanggaran hak asasi manusia dan pemblokiran serta pemantauan internet, memberlakukan pengawasan terhadap aktivis damai dan menekan aksi protes baru-baru ini.
Sementara itu rezim Iran berusaha untuk menggantikan aplikasi asing dan internasional dengan aplikasi nasional, seperti Soroush menggantikan Telegram dan QAB. Namun beberapa anggota parlemen Iran dan aktivis telah memprotes, mengatakan warga Iran tidak mempercayai aplikasi nasional di tengah kontrol total Unit Intelijen Republik Islam dan korps Garda Revolusi Iran.
Firouz Abadi, kepala Dewan Tertinggi untuk Keamanan Siber, bulan lalu mengancam akan memblokir Instagram seperti yang dilakukannya dengan Telegram jika perusahaan tidak bekerja sama dengan pemerintah Iran memberikan rincian tentang pengguna.
Meskipun Telegram di blokir, 79 persen pengguna Iran masih terhubung ke media lain melalui survei yang dilakukan antara 20 Mei hingga 20 Juni tahun ini.
Sementara 46,7 persen pengguna media sosial terhubung ke aplikasi internasional dan asing. Dibandingkan dengan 3,9 persen orang Iran yang menggunakan aplikasi nasional, ketika 14,1 persen orang Iran menggunakan kedua media.
"Setelah 4 November, dengan dimulainya babak kedua sanksi AS, kami akan beralih ke jaringan informasi nasional yang akan memberikan layanan dasar rakyat," kata Jalali seperti disitir dari Al Arabiya, Sabtu (20/10/2018).
Jalali menambahkan bahwa Iran sedang menghadapi ancaman yang kompleks saat ini di situs dan aplikasi di media sosial.
"Mereka adalah alat dalam perang psikologis terhadap Iran pada tingkat budaya, politik, sekuritas dan ekonomi," imbuhnya.
"Ancaman media sosial yang kompleks adalah prioritas utama kami dan kami menghadapinya sebagai ancaman terhadap keamanan nasional," ujarnya lagi.
Dia memperingatkan bahwa AS ingin menghasut rakyat Iran untuk melawan pemerintah melalui media, telepon dan internet.
Sejak pecahnya protes populer pada bulan Januari, yang terus meletus secara sporadis dari waktu ke waktu karena berbagai alasan ekonomi dan kondisi kehidupan, otoritas Iran mencoba untuk mengontrol server yang menyediakan aplikasi asing, untuk mengungkap aktivis dan konten yang mengandung protes di mana aplikasi media sosial dan jaringan, memainkan peran utama.
Sanksi AS baru-baru ini dijatuhkan kepada Abulhassan Firouz Abadi, kepala Dewan Tertinggi untuk Keamanan Dunia Maya, dengan pejabat Iran lainnya, seperti Abdul Samad Khoram Abadi, kepala komite investigasi kejahatan internet, serta TV dan kepala Otoritas Radio Abd Ali Askari untuk peran mereka dalam pelanggaran hak asasi manusia dan pemblokiran serta pemantauan internet, memberlakukan pengawasan terhadap aktivis damai dan menekan aksi protes baru-baru ini.
Sementara itu rezim Iran berusaha untuk menggantikan aplikasi asing dan internasional dengan aplikasi nasional, seperti Soroush menggantikan Telegram dan QAB. Namun beberapa anggota parlemen Iran dan aktivis telah memprotes, mengatakan warga Iran tidak mempercayai aplikasi nasional di tengah kontrol total Unit Intelijen Republik Islam dan korps Garda Revolusi Iran.
Firouz Abadi, kepala Dewan Tertinggi untuk Keamanan Siber, bulan lalu mengancam akan memblokir Instagram seperti yang dilakukannya dengan Telegram jika perusahaan tidak bekerja sama dengan pemerintah Iran memberikan rincian tentang pengguna.
Meskipun Telegram di blokir, 79 persen pengguna Iran masih terhubung ke media lain melalui survei yang dilakukan antara 20 Mei hingga 20 Juni tahun ini.
Sementara 46,7 persen pengguna media sosial terhubung ke aplikasi internasional dan asing. Dibandingkan dengan 3,9 persen orang Iran yang menggunakan aplikasi nasional, ketika 14,1 persen orang Iran menggunakan kedua media.
(ian)