Mengenang Rachel Corrie, Aktivis Cantik AS Digilas Buldoser Israel saat Bela Palestina

Minggu, 17 Maret 2024 - 08:23 WIB
loading...
Mengenang Rachel Corrie,...
Rachel Corrie, aktivis AS tewas digilas buldoser militer Israel saat pasang badan membela rumah-rumah warga Palestina yang akan dihancurkan 21 tahun lalu. Foto/REUTERS
A A A
GAZA - Sabtu (16/3/2024) adalah tepat 21 tahun aktivis cantik Amerika Serikat (AS), Rachel Alience Corrie, meninggal setelah tubuhnya digilas buldoser lapis baja Israel. Dia pasang badan ketika pasukan Zionis ingin menghancurkan rumah-rumah warga Rafah, Jalur Gaza, Palestina.

Corrie, saat itu adalah gadis 23 tahun, bukanlah pejuang Fatah atau pun Hamas. Dia bukan Muslim Sunni, juga bukan Muslim Syiah. Dia bahkan gadis dari keluarga Yahudi, asal Olympia, Washington, Amerika Serikat (AS)—meski komunitas Yahudi pro-Zionis enggan mengakui darah Yahudi Corrie.

Meski bukan warga Palestina atau pun Arab, nama Corrie abadi sebagai pahlawan rakyat Palestina.

Namanya kembali menggema ketika puluhan ribu rakyat Palestina di Gaza tewas dalam invasi brutal Zionis sejak 7 Oktober 2023.

Lebih dari dua dekade berlalu, namun pemerintah AS tetap bungkam tanpa memperjuangkan keadilan bagi warganya tersebut.



Perjuangan keluarga Corrie untuk menuntut rezim Israel di berbagai pengadilan selalu kandas. Aktivis muda dan mahasiswi Amerika tersebut meninggal di tangan tentara Pasukan Pertahanan Israel (IDF).

Atas nama kemanusiaan, dia berani berhadapan dengan pasukan Israel ketika orang-orang Palestina ditindas.

Orang pertama Palestina yang menyematkan gelar pahlawan untuk Corrie adalah almarhum Yasser Arafat, mantan pemimpin Palestina.

Saat Corrie mengembuskan napas terakhir, Arafat mengontak orang tua Corrie di Washington, Craig dan Cindy Corrie, untuk memberitahu bahwa putri mereka menjadi martir sekaligus pahlawan Palestina.

Corrie berbeda dengan aktivis kemanusiaan pada umumnya. Sejak masih kecil, sikap kritisnya sudah menonjol. Videonya yang pidato tanpa naskah di depan para siswa cukup mencengangkan. Isi pidatonya bukan tentang imajinasi anak-anak, tapi berisi pesan-pesan moral dan sosial.

Dia tumbuh menjadi aktivis muda di kelompok International Solidarity Movement (ISM) atau Gerakan Solodaritas Internasional. Berkat Corrie, kelompok ini menginsipirasi anak-anak muda dari berbagai negara di dunia untuk bergerak menolong Palestina.

Salah satunya adalah anak-anak muda yang tewas dalam tragedi kapal Mavi Marmara, beberapa tahun silam. Saban 16 Maret, para aktivis dan seniman rutin menggelar pentas teater tentang detik-detik kematian Corrie.

Selain namanya abadi sebagai pahlawan Palestina, nama Corrie juga sudah lama diabadikan sebagai yayasan sosial yang digerakkan orangtuanya untuk menolong orang-orang tertindas.

Kematian Corrie adalah “tamparan” bagi AS yang selama ini sesumbar memperjuangkan hak asasi manusia (HAM). Alih-alih memperjuangkan HAM, Amerika selama 21 tahun terakhir ini bungkam untuk membela warganya sendiri yang tewas dibuldoser Israel.

Gagal di negaranya sendiri, orang tua Corrie menggugat pembunuh putrinya ke pengadilan di Israel. Tapi, hasilnya jauh dari memuaskan.

Sebelum tragedi terjadi, Corrie datang ke Gaza, selain menjalankan misinya sebagai aktivis ISM, juga mengerjakan tugas akhir kuliahnya.

Sejak tiba di Rafah, Corrie kerap mengontak ibunya untuk menceritakan penderitaan bocah-bocah Palestina yang ketakutan mendengar tembakan hingga penggusuran.

Bagi Corrie, itu pengalaman nyata yang menyayat hatinya. Nasibnya tragis. Kurang dari dua bulan setelah kedatangannya di Gaza, aktivis cantik itu meninggal dibunuh pasukan IDF dengan buldoser.

Pasukan rezim Israel kala itu berdalih tidak melihat Corrie karena pandangan terganggu. Tapi, dalih itu janggal, sebab Corrie sudah melambaikan tangan dan berteriak memohon untuk menghentikan laju buldoser.

Penyelidikan militer Israel juga menyimpulkan kematian Corrie sebagai kecelakaan. Kesimpulan ini yang menyedihkan orangtuanya dan para aktivis pro-Palestina.

Kelompok-kelompok HAM, seperti Amnesty International, Human Rights Watch, B’Tselem dan Yesh Din, mengecam penyelidikan militer Israel atas kematian Corrie.

Pada tahun 2005, Craig dan Cindy Corrie mengajukan gugatan perdata terhadap negara Israel. Gugatan diajukan karena Israel tidak melakukan penyelidikan penuh dan kredibel dalam kasus kematian putri mereka.

Orang tua Corrie meyakini putri mereka sengaja dibunuh oleh tentara Israel yang sembrono. Pada bulan Agustus 2012, sebuah pengadilan Israel menolak gugatan orang tua Corrie. Pengadilan Israel justru menjunjung tinggi hasil investigasi militer tahun 2003.

Ironisnya, pengadilan memutuskan bahwa Pemerintah Israel tidak bertanggung jawab atas kematian Corrie. Keputusan pengadilan itu dikecam kelompok-kelompok HAM dunia.

Namun, pemerintah AS tidak bersuara. Orang tua Corrie mengajukan banding terhadap putusan pengadilan Israel bulan Agustus 2012. Lagi-lagi, Mahkamah Agung Israel pada 14 Februari 2015 menolak banding mereka.

Corrie bukan satu-satunya warga AS yang berkorban nyawa membela Palestina. Belum lama ini tentara aktif Angkatan Udara AS, Aaron Bushnell, tewas bakar diri di depan Kedutaan Israel di Washington sebagai protes atas genosida di Gaza oleh Zionis Israel.

Jurnalis independen Talia Jane mengatakan dia telah memperoleh rekaman kejadian tersebut, yang menunjukkan bahwa Bushnell mengenakan seragam militer dan menggambarkan dirinya sebagai anggota aktif Angkatan Udara AS.

"Pria tersebut berkata 'Saya tidak akan lagi terlibat dalam genosida' dan berteriak 'Bebaskan Palestina'," kata Jane, yang mengunggah foto tentara tersebut saat dilalap api.
(mas)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1752 seconds (0.1#10.140)