Krisis Properti Lemahkan Ekonomi China, Investor Asing Lirik Negara Lain

Senin, 11 Maret 2024 - 16:05 WIB
loading...
Krisis Properti Lemahkan Ekonomi China, Investor Asing Lirik Negara Lain
Krisis properti melemahkan ekonomi China, investor asing melirik negara lain. Foto/REUTERS
A A A
BEIJING - Meledaknya gelembung properti dan krisis utang sebagai akibatnya—lebih dari tiga kali lipat krisis subprime Amerika Serikat (AS) di tahun 2008—telah melemahkan perekonomian China. Beijing mungkin dihadapkan pada kekhawatiran baru jika Donald Trump menang dalam pemilu AS tahun ini.

Trump melancarkan perang tarif terhadap China di masa jabatan pertamanya. Kali ini, dia menjanjikan tarif 60 persen untuk seluruh impor China. Menurut Bloomberg, tarif yang tinggi tersebut dapat menyebabkan kerusakan serius pada perdagangan AS-China senilai USD575 miliar.

Dampak langsung dari Tarif Trump 2.0 akan terasa terhadap investasi asing di China.



"Tarif yang diterapkan Donald Trump sebelumnya hanya menimbulkan sedikit dampak buruk terhadap perekonomian China, namun China mungkin akan lebih sulit untuk mengabaikan dampak buruk jika tarif ini diterapkan kembali," ujar badan penasihat Capital Economics yang berbasis di London, seperti dikutip dari Daily Asian Age pada Senin (11/3/2024).

"Trump mengancam kenaikan tarif yang lebih besar jika terpilih kembali. Faktor-faktor yang meredam dampak yang terjadi sebelumnya—depresiasi mata uang dan penghindaran tariff—mungkin akan memberikan perlindungan yang lebih sedikit."

"Putaran tarif lainnya juga dapat mempercepat perpindahan produksi ke luar China yang masih baru terjadi," ucapnya.

Trump kini memimpin dalam kontestasi pemilu presiden AS. Menurut laporan Bloomberg baru-baru ini, dia telah memenangkan setiap kontes pencalonan sejauh ini dengan selisih yang besar, menempatkannya pada jalur yang tepat untuk mendapatkan cukup delegasi untuk memastikan pencalonan presiden dari Partai Republik pada pertengahan Maret.

Tarif Dagang AS-China


China mungkin tetap mempunyai kekhawatiran, bahkan jika Trump tidak menang. Pasalnya, perdebatan seputar hubungan AS-China menambah tekanan pada Presiden Joe Biden untuk mengambil tindakan perdagangan yang lebih keras terhadap Beijing.

Bersikap “keras terhadap China” terbukti menjadi alat pendulang suara yang efektif di AS. Retorika Trump menambah tekanan pada Biden untuk meningkatkan taruhannya.

Biden mungkin tidak akan menaikkan tarif secara dramatis. Namun, dia mungkin akan meningkatkan pembatasan pada bidang teknologi, yang sejauh ini sudah merugikan China.

Pada Oktober 2023, pemerintahan Biden memberlakukan pembatasan penjualan semikonduktor oleh perusahaan AS ke China. Para analis sekarang memperkirakan Biden akan menerapkan pembatasan baru.

Tindakan seperti itu tidak akan memberikan dampak baik bagi perekonomian China yang kini berada dalam kondisi deflasi, yang mengindikasikan kurangnya permintaan. Di saat prospek ekspor terpukul pembatasan dan hambatan tarif; permintaan domestik juga gagal meningkat, menyusul jatuhnya pasar real estate.

Keruntuhan ini terjadi di dua sisi, baik di ranah domestik atau luar negeri. Hal yang dipertaruhkan adalah 24 persen produk domestik bruto (PDB) dan 70 persen tabungan rumah tangga China.

Sistem keuangan sudah kewalahan, baik karena gagal bayar pinjaman oleh pengembang properti maupun kebangkrutan pemerintah daerah yang mengumpulkan utang sebesar USD13 triliun. Sebelum krisis, penjualan tanah kepada pengembang merupakan sumber pendapatan utama pemerintah daerah di China.

Ketika aliran pendapatan mengering, pemerintah daerah menjadi bangkrut. Pasar saham runtuh. Investor saham China di seluruh dunia kehilangan USD7 triliun sejak tahun 2021.

Turbulensi telah berdampak buruk pada permintaan. Harga konsumen China merosot lebih dalam ke wilayah deflasi. Secara tahunan, indeks harga konsumen (CPI) turun 0,8 persen di bulan Januari.

Kerentanan China


Penurunan ini merupakan yang paling tajam sejak September 2009 dan menandai penurunan selama empat bulan berturut-turut.

Penerbit online, Visual Capitalist, memperkirakan inflasi sebesar 1,9 persen di China pada 2024, lebih rendah dari 2,6 persen di Jepang yang dilanda resesi. Visual Capitalist mengambil data inti dari lembaga global seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Knight Frank, dan lain-lain.

Singkat cerita, perekonomian dunia telah mengalami perlambatan sejak tahun 2023 dan mungkin akan terus mengalami perlambatan di tahun 2024.

Namun, China menunjukkan kerentanan maksimum, dan hal ini kemungkinan besar akan membuat investor asing untuk mengurangi kehadiran mereka di sana.

Relokasi investasi ke wilayah lain, jika tidak seluruhnya atau sebagian, merupakan kemungkinan yang mungkin terjadi. Seperti prediksi Capital Economics, tren ini mungkin akan berkonsolidasi di tahun 2024.

Kemungkinan seperti itu pasti akan menguntungkan India, di mana perekonomian sedang berkembang pesat; indeks saham meningkat dua kali lipat dalam lima tahun terakhir; investor portofolio asing bergerak dalam jumlah besar; obligasi jangka panjang India memiliki permintaan yang besar; investasi asing langsung meningkat; penjualan mobil mencapai rekor tertinggi; inflasi diperkirakan tetap moderat sebesar 4,4 persen; dan pemerintahan yang kuat kemungkinan akan kembali berkuasa untuk masa jabatan ketiga di bulan Mei-Juni tahun ini.

Sejumlah investor, dipimpin oleh perusahaan Apple Inc, telah mendiversifikasi lini produksi iPhone ke India. Aliran ini diperkirakan akan meningkat ketika ketidakpastian terkait pemilu telah berakhir.
(mas)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1630 seconds (0.1#10.140)