Konflik Gaza Ungkap Kelemahan China di Timur Tengah
loading...
A
A
A
Noa Argamani, seorang wanita Israel keturunan China, diculik Hamas dan masih menjadi sandera. Ibunya memohon kepada pemerintah China melalui unggahan yang telah ditonton 260 juta kali di Sina Weibo pada akhir Oktober. Namun hingga kini, pejabat China dan media pemerintah tetap bungkam. Sebaliknya, banyak warganet yang keras hati mengkritik ibu tersebut karena "lancang" dalam meminta bantuan Beijing.
Seperti yang dinyatakan oleh salah satu opini di Baidu: "Lagipula, seperti orang Israel, mereka mengambil kitab suci dan mengeklaim bahwa Tuhan meminta mereka untuk membangun kembali negara mereka di sini, dan menggunakan kekerasan untuk mengusir jutaan orang yang telah tinggal di negeri ini selama ribuan tahun. Adat istiadat seperti ini, ibarat merpati menempati sarang burung murai, tidak dapat diterima oleh kami warga China."
Sebagian orang mungkin memandang hal tersebut mirip dengan yang dilakukan China terhadap wilayah seperti Tibet dan Xinjiang.
Sikap resmi Beijing dalam konflik di Gaza adalah harus ada gencatan senjata untuk kemudian berakhir pada Solusi Dua Negara. Hal tersebut tercermin dalam sebuah unggahan di media sosial: "Kematian warga China tidak bisa dimaafkan. Hamas memang tidak seharusnya memimpin Palestina, namun Palestina sebenarnya tidak punya pilihan lain. Namun bukan berarti kita harus memberikan dukungan sepihak kepada Israel. Kita harus melihat pandangan Kementerian Luar Negeri: perundingan gencatan senjata, penerapan Solusi Dua Negara. Biarkan kelompok seperti Hamas kehilangan tempat untuk bertahan hidup. Tidak bertanggung jawab jika Israel melakukan hal sebaliknya. Terakhir, perang ini di Timur Tengah tidak akan berakhir dalam waktu singkat. Ayo cepat evakuasi warga China."
Sentimen umum lainnya di China adalah bahwa AS merupakan penghasut dan pemicu konflik antara Israel dan negara-negara tetangganya. Ini adalah narasi dari media yang didukung pemerintah China, dan unggahan daring yang merujuk pada korban di Palestina dan mendukung posisi resmi Beijing tidak akan disensor.
Platform media sosial China juga penuh dengan anti-Semitisme, meski undang-undang di negara tersebut melarang warga menggunakan internet untuk mempromosikan ekstremisme, kebencian etnis, atau informasi diskriminatif.
Media China cenderung kurang dalam meliput serangan Hamas dan hanya terpaku pada kampanye pembalasan Israel. Teori konspirasi juga berlimpah. Seorang penulis di Baidu menyerukan: "Kami, etnis China, tidak berutang apa pun kepada orang-orang Yahudi, namun sekarang Israel dengan putus asa menyalahkan China. Ini adalah kasus tipikal membalas kebaikan dengan permusuhan. Jika Israel tidak mau menghormati kami, maka mereka tidak pantas mendapat rasa hormat dari kami."
Penulis Patricia M. Kim, Kevin Dong dan Mallie Prytherch dari Pusat Studi Kebijakan Asia Timur menulis untuk Brookings Institute: "Baik para pemimpin China maupun masyarakat China tidak membayangkan peran besar pemerintah mereka dalam krisis yang sedang berlangsung."
"Beijing tidak akan melewatkan kesempatan untuk menggunakan krisis saat ini dan di masa mendatang untuk mendiskreditkan Amerika Serikat sambil memperkuat posisi keberpihakannya dengan negara-negara non-Barat. China kemungkinan akan tetap menjadi perantara kekuatan nominal di Timur Tengah," sambung mereka.
Presiden China Xi Jinping telah memprakarsai KTT China-Arab dan KTT Dewan Kerja Sama China-Teluk untuk mendorong keterlibatan Beijing. Ketika semakin banyak negara Arab yang meragukan komitmen AS terhadap keamanan Timur Tengah, semakin banyak negara yang terbuka terhadap pendekatan dari negara-negara seperti China.
Seperti yang dinyatakan oleh salah satu opini di Baidu: "Lagipula, seperti orang Israel, mereka mengambil kitab suci dan mengeklaim bahwa Tuhan meminta mereka untuk membangun kembali negara mereka di sini, dan menggunakan kekerasan untuk mengusir jutaan orang yang telah tinggal di negeri ini selama ribuan tahun. Adat istiadat seperti ini, ibarat merpati menempati sarang burung murai, tidak dapat diterima oleh kami warga China."
Sebagian orang mungkin memandang hal tersebut mirip dengan yang dilakukan China terhadap wilayah seperti Tibet dan Xinjiang.
Sikap resmi Beijing dalam konflik di Gaza adalah harus ada gencatan senjata untuk kemudian berakhir pada Solusi Dua Negara. Hal tersebut tercermin dalam sebuah unggahan di media sosial: "Kematian warga China tidak bisa dimaafkan. Hamas memang tidak seharusnya memimpin Palestina, namun Palestina sebenarnya tidak punya pilihan lain. Namun bukan berarti kita harus memberikan dukungan sepihak kepada Israel. Kita harus melihat pandangan Kementerian Luar Negeri: perundingan gencatan senjata, penerapan Solusi Dua Negara. Biarkan kelompok seperti Hamas kehilangan tempat untuk bertahan hidup. Tidak bertanggung jawab jika Israel melakukan hal sebaliknya. Terakhir, perang ini di Timur Tengah tidak akan berakhir dalam waktu singkat. Ayo cepat evakuasi warga China."
Sentimen umum lainnya di China adalah bahwa AS merupakan penghasut dan pemicu konflik antara Israel dan negara-negara tetangganya. Ini adalah narasi dari media yang didukung pemerintah China, dan unggahan daring yang merujuk pada korban di Palestina dan mendukung posisi resmi Beijing tidak akan disensor.
Platform media sosial China juga penuh dengan anti-Semitisme, meski undang-undang di negara tersebut melarang warga menggunakan internet untuk mempromosikan ekstremisme, kebencian etnis, atau informasi diskriminatif.
Media China cenderung kurang dalam meliput serangan Hamas dan hanya terpaku pada kampanye pembalasan Israel. Teori konspirasi juga berlimpah. Seorang penulis di Baidu menyerukan: "Kami, etnis China, tidak berutang apa pun kepada orang-orang Yahudi, namun sekarang Israel dengan putus asa menyalahkan China. Ini adalah kasus tipikal membalas kebaikan dengan permusuhan. Jika Israel tidak mau menghormati kami, maka mereka tidak pantas mendapat rasa hormat dari kami."
China dan Negara-Negara Arab
Penulis Patricia M. Kim, Kevin Dong dan Mallie Prytherch dari Pusat Studi Kebijakan Asia Timur menulis untuk Brookings Institute: "Baik para pemimpin China maupun masyarakat China tidak membayangkan peran besar pemerintah mereka dalam krisis yang sedang berlangsung."
"Beijing tidak akan melewatkan kesempatan untuk menggunakan krisis saat ini dan di masa mendatang untuk mendiskreditkan Amerika Serikat sambil memperkuat posisi keberpihakannya dengan negara-negara non-Barat. China kemungkinan akan tetap menjadi perantara kekuatan nominal di Timur Tengah," sambung mereka.
Presiden China Xi Jinping telah memprakarsai KTT China-Arab dan KTT Dewan Kerja Sama China-Teluk untuk mendorong keterlibatan Beijing. Ketika semakin banyak negara Arab yang meragukan komitmen AS terhadap keamanan Timur Tengah, semakin banyak negara yang terbuka terhadap pendekatan dari negara-negara seperti China.