Kisah Putri Aisha, Bayi Palestina Berumur 17 Hari Meninggal Dibom Israel
loading...
A
A
A
GAZA - Dia dilahirkan di tengah perang, di sebuah rumah sakit tanpa listrik di Gaza selatan, Palestina, yang setiap hari dibombardir militer Israel. Keluarga menamainya al-Amira Aisha, dan dipanggail sebagai “Putri Aisha".
Dia belum menyelesaikan minggu ketiga hidupnya, namun meninggal akibat serangan udara militer Israel yang menghancurkan rumah keluarganya pada hari Selasa.
Keluarga besarnya sedang tertidur ketika serangan tersebut meratakan gedung apartemen mereka di Rafah sebelum fajar, kata Suzan Zoarab, nenek dari bayi tersebut dan yang selamat dari pengeboman.
Pejabat rumah sakit mengatakan 27 orang tewas, di antaranya al-Amira Aisha dan saudara laki-lakinya yang berusia 2 tahun, Ahmed.
“Baru berumur 2 minggu. Namanya bahkan belum terdaftar,” kata Suzan, yang suaranya bergetar ketika dia berbicara dari sisi ranjang rumah sakit putranya, yang juga terluka dalam pengeboman udara Israel.
Tragedi yang dialami keluarga ini terjadi ketika jumlah korban tewas warga Palestina akibat invasi brutal Israel di Gaza mendekati angka 20.000.
Keluarga Zoarab termasuk di antara sedikit warga Palestina di Gaza yang tetap tinggal di rumah mereka sendiri.
Serangan gencar Israel, salah satu yang paling merusak di abad ke-21, telah membuat sekitar 1,9 juta orang mengungsi—lebih dari 80% populasi wilayah Gaza—membuat mereka mencari perlindungan di sekolah-sekolah PBB, rumah sakit, kamp tenda atau di jalan.
Namun keluarga Zoarab tetap tinggal di gedung apartemen tiga lantai mereka. Dua putra Suzan memiliki apartemen di lantai yang lebih tinggi, namun keluarga besarnya berkumpul di lantai dasar karena yakin akan lebih aman.
Ketika serangan terjadi, setidaknya 13 anggota keluarga Zoarab tewas, termasuk seorang jurnalis, Adel, serta pengungsi yang berlindung di dekatnya.
“Kami menemukan seluruh rumah runtuh menimpa kami,” kata Suzan.
Petugas penyelamat menarik mereka dan korban lainnya, hidup dan mati, dari reruntuhan.
Militer Israel berdalih pihaknya menyerang target Hamas di Gaza dan menyalahkan kelompok militan tersebut atas kematian massal warga sipil karena mereka beroperasi di daerah pemukiman.
Namun militer Israel jarang menjelaskan target serangan tertentu.
Putri Aisha baru berusia 17 hari. Dia dilahirkan pada 2 Desember di Rumah Sakit Bulan Sabit Merah Emirat di Rafah ketika listrik di fasilitas tersebut tidak ada, kata Suzan—kurang dari 48 jam setelah pengeboman di kota tersebut dan seluruh Gaza kembali terjadi setelah runtuhnya gencatan senjata antara Israel dan Hamas.
“Dia dilahirkan dalam situasi yang sangat sulit,” kata Suzan.
Hingga Senin, 28 dari 36 rumah sakit di Jalur Gaza dilaporkan tidak berfungsi, kata PBB.
Sementara delapan fasilitas kesehatan lainnya hanya beroperasi sebagian. Di tengah kehancuran tersebut, sekitar 50.000 wanita Palestina sedang hamil, kata WHO.
Orang tua Putri Aisha dan Ahmed selamat—ibu mereka, Malak, dengan luka bakar dan memar di wajahnya, ayah mereka, Mahmoud, dengan patah tulang panggul.
Saat Mahmoud terbaring di tempat tidurnya di Rumah Sakit Kuwati Rafah, Suzan membawakannya kedua anaknya untuk perpisahan terakhir sebelum mereka dimakamkan.
Mahmoud meringis kesakitan saat dia menarik dirinya untuk menggendong Ahmed, yang terbungkus kain kafan putih, sebelum terjatuh dan menangis. Istrinya menggendong Putri Aisha, yang juga dibungkus kain putih, ke arahnya.
Puluhan pelayat mengadakan doa pemakaman pada Selasa pagi di luar rumah sakit di Rafah, sebelum membawa Putri Aisha, Ahmed dan lainnya yang tewas untuk dimakamkan di pemakaman terdekat.
“Saya tidak bisa melindungi cucu-cucu saya,” kata Suzan, seperti dikutip The New Arab, Rabu (20/12/2023). “Saya kehilangan mereka dalam sekejap mata.”
Dia belum menyelesaikan minggu ketiga hidupnya, namun meninggal akibat serangan udara militer Israel yang menghancurkan rumah keluarganya pada hari Selasa.
Keluarga besarnya sedang tertidur ketika serangan tersebut meratakan gedung apartemen mereka di Rafah sebelum fajar, kata Suzan Zoarab, nenek dari bayi tersebut dan yang selamat dari pengeboman.
Pejabat rumah sakit mengatakan 27 orang tewas, di antaranya al-Amira Aisha dan saudara laki-lakinya yang berusia 2 tahun, Ahmed.
“Baru berumur 2 minggu. Namanya bahkan belum terdaftar,” kata Suzan, yang suaranya bergetar ketika dia berbicara dari sisi ranjang rumah sakit putranya, yang juga terluka dalam pengeboman udara Israel.
Tragedi yang dialami keluarga ini terjadi ketika jumlah korban tewas warga Palestina akibat invasi brutal Israel di Gaza mendekati angka 20.000.
Keluarga Zoarab termasuk di antara sedikit warga Palestina di Gaza yang tetap tinggal di rumah mereka sendiri.
Serangan gencar Israel, salah satu yang paling merusak di abad ke-21, telah membuat sekitar 1,9 juta orang mengungsi—lebih dari 80% populasi wilayah Gaza—membuat mereka mencari perlindungan di sekolah-sekolah PBB, rumah sakit, kamp tenda atau di jalan.
Namun keluarga Zoarab tetap tinggal di gedung apartemen tiga lantai mereka. Dua putra Suzan memiliki apartemen di lantai yang lebih tinggi, namun keluarga besarnya berkumpul di lantai dasar karena yakin akan lebih aman.
Ketika serangan terjadi, setidaknya 13 anggota keluarga Zoarab tewas, termasuk seorang jurnalis, Adel, serta pengungsi yang berlindung di dekatnya.
“Kami menemukan seluruh rumah runtuh menimpa kami,” kata Suzan.
Petugas penyelamat menarik mereka dan korban lainnya, hidup dan mati, dari reruntuhan.
Militer Israel berdalih pihaknya menyerang target Hamas di Gaza dan menyalahkan kelompok militan tersebut atas kematian massal warga sipil karena mereka beroperasi di daerah pemukiman.
Namun militer Israel jarang menjelaskan target serangan tertentu.
Putri Aisha baru berusia 17 hari. Dia dilahirkan pada 2 Desember di Rumah Sakit Bulan Sabit Merah Emirat di Rafah ketika listrik di fasilitas tersebut tidak ada, kata Suzan—kurang dari 48 jam setelah pengeboman di kota tersebut dan seluruh Gaza kembali terjadi setelah runtuhnya gencatan senjata antara Israel dan Hamas.
“Dia dilahirkan dalam situasi yang sangat sulit,” kata Suzan.
Hingga Senin, 28 dari 36 rumah sakit di Jalur Gaza dilaporkan tidak berfungsi, kata PBB.
Sementara delapan fasilitas kesehatan lainnya hanya beroperasi sebagian. Di tengah kehancuran tersebut, sekitar 50.000 wanita Palestina sedang hamil, kata WHO.
Orang tua Putri Aisha dan Ahmed selamat—ibu mereka, Malak, dengan luka bakar dan memar di wajahnya, ayah mereka, Mahmoud, dengan patah tulang panggul.
Saat Mahmoud terbaring di tempat tidurnya di Rumah Sakit Kuwati Rafah, Suzan membawakannya kedua anaknya untuk perpisahan terakhir sebelum mereka dimakamkan.
Mahmoud meringis kesakitan saat dia menarik dirinya untuk menggendong Ahmed, yang terbungkus kain kafan putih, sebelum terjatuh dan menangis. Istrinya menggendong Putri Aisha, yang juga dibungkus kain putih, ke arahnya.
Puluhan pelayat mengadakan doa pemakaman pada Selasa pagi di luar rumah sakit di Rafah, sebelum membawa Putri Aisha, Ahmed dan lainnya yang tewas untuk dimakamkan di pemakaman terdekat.
“Saya tidak bisa melindungi cucu-cucu saya,” kata Suzan, seperti dikutip The New Arab, Rabu (20/12/2023). “Saya kehilangan mereka dalam sekejap mata.”
(mas)