Perempuan Indonesia Wajib Berhenti dari Pekerjaan demi Tanggung Jawab Perawatan
loading...
A
A
A
Manajer Survei Katadata Insight Center Satria Triputra Wisnumurti mengungkapkan, hasil survei memperlihatkan hanya 85,5 persen responden mengakui pekerjaan perawatan memiliki nilai ekonomi.
Kendati 92,3 persen mengakui kegiatan perawatan yang bersifat langsung, personal dan relasional seperti memberi makan bayi atau merawat anak atau pasangan yang sakit sebagai pekerjaan perawatan; namun, persentase responden yang lebih besar (95,3%) tidak mengakui dan menghargai kegiatan perawatan yang tidak langsung seperti memasak dan bersih-bersih sebagai pekerjaan perawatan.
“Survei juga memperlihatkan bahwa 61,6 persen responden laki-laki memiliki istri atau saudara perempuan yang menanggung beban ganda, sementara responden perempuan yang memiliki beban ganda mencapai 79,3 persen. Namun, sebagian besar responden perempuan (67,3%) mengatakan mereka tidak merasa memiliki jam kerja yang lebih panjang dalam melakukan pekerjaan perawatan dibandingkan laki-laki,” kata Satria dalam rilis yang dikeluarkan ILO.
Selain itu, 68,3 persen responden laki-laki menyatakan bahwa wajar jika perempuan meninggalkan pekerjaan berbayarnya demi tanggung jawab perawatan sebagai bagian dari kewajibannya sebagai ibu atau anak perempuan.
Menariknya, kata Satria, jumlah persentase responden perempuan yang hampir sama (66,2%) mempunyai gagasan serupa bahwa mereka harus memprioritaskan kewajiban perawatan dibandingkan karier. Ini sejalan dengan 80,5 persen responden yang percaya bahwa perempuan secara alami cocok untuk melakukan pekerjaan pengasuhan dan perawatan.
Studi ini menunjukkan bahwa cuti melahirkan dan cuti ayah serta jam kerja fleksibel merupakan program yang paling dikenal dan paling banyak diberikan bagi pekerja formal dan informal. Namun, 28,8 persen responden mengatakan bahwa perusahaan mereka tidak menyediakan program perawatan apa pun, sementara 16,3 persen tidak mengikuti program tersebut karena pemotongan gaji.
“Alasan-alasan ini berlaku baik bagi pekerja formal maupun informal di mana 30,1 persen pekerja formal dan 28,2 persen pekerja informal mengatakan bahwa tempat kerja mereka tidak menyediakan program perawatan; sementara 15,4 persen pekerja formal dan 16,8 persen pekerja informal memilih untuk tidak mengikuti program ini karena pemotongan gaji,” jelas Satria.
Mekanisme kerja yang fleksibel seperti bekerja dari rumah atau bekerja dari mana saja telah menjadi program perawatan yang paling banyak diadopsi. Dalam hal menyuarakan aspirasi pekerja mengenai pekerjaan perawatan, 53 persen responden menyatakan tempat kerjanya tidak memiliki serikat pekerja dan 49,2 persen menyatakan perusahaan atau pemerintah daerah tidak mendukung pembentukan serikat pekerja.
Temuan-temuan utama ini dibahas dan dikaji dalam bincang-bincang interaktif bertajuk “Apakah pekerjaan perawatan hanya tanggung jawab perempuan atau tanggung jawab bersama?”, menghadirkan narasumber utama dari pemerintah, dunia usaha, aktivis gender dan ILO: Lenny N. Rosalin, Wakil Menteri untuk Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Myra Hanartani, Ketua Komite Regulasi dan Hubungan Kelembagaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo); Melanie Subono, seniman dan aktivis serta Early Dewi Nuriana, Koordinator Program ILO untuk Ekonomi Perawatan.
“Survei ini merupakan bagian dari dukungan ILO kepada Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan dan merumuskan Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional tentang Pekerjaan Perawatan. Temuan-temuan utama dari survei ini akan digunakan sebagai dasar untuk mengidentifikasi tindakan yang tepat dalam mempromosikan pekerjaan perawatan di Indonesia dan mengembangkan kebijakan transformatif yang penting untuk memastikan masa depan pekerjaan yang didasarkan pada keadilan sosial dan mendorong kesetaraan gender untuk semua,” kata Penjabat Sementara Direktur ILO untuk Indonesia, Diego Rei.
Kendati 92,3 persen mengakui kegiatan perawatan yang bersifat langsung, personal dan relasional seperti memberi makan bayi atau merawat anak atau pasangan yang sakit sebagai pekerjaan perawatan; namun, persentase responden yang lebih besar (95,3%) tidak mengakui dan menghargai kegiatan perawatan yang tidak langsung seperti memasak dan bersih-bersih sebagai pekerjaan perawatan.
“Survei juga memperlihatkan bahwa 61,6 persen responden laki-laki memiliki istri atau saudara perempuan yang menanggung beban ganda, sementara responden perempuan yang memiliki beban ganda mencapai 79,3 persen. Namun, sebagian besar responden perempuan (67,3%) mengatakan mereka tidak merasa memiliki jam kerja yang lebih panjang dalam melakukan pekerjaan perawatan dibandingkan laki-laki,” kata Satria dalam rilis yang dikeluarkan ILO.
Selain itu, 68,3 persen responden laki-laki menyatakan bahwa wajar jika perempuan meninggalkan pekerjaan berbayarnya demi tanggung jawab perawatan sebagai bagian dari kewajibannya sebagai ibu atau anak perempuan.
Menariknya, kata Satria, jumlah persentase responden perempuan yang hampir sama (66,2%) mempunyai gagasan serupa bahwa mereka harus memprioritaskan kewajiban perawatan dibandingkan karier. Ini sejalan dengan 80,5 persen responden yang percaya bahwa perempuan secara alami cocok untuk melakukan pekerjaan pengasuhan dan perawatan.
Studi ini menunjukkan bahwa cuti melahirkan dan cuti ayah serta jam kerja fleksibel merupakan program yang paling dikenal dan paling banyak diberikan bagi pekerja formal dan informal. Namun, 28,8 persen responden mengatakan bahwa perusahaan mereka tidak menyediakan program perawatan apa pun, sementara 16,3 persen tidak mengikuti program tersebut karena pemotongan gaji.
“Alasan-alasan ini berlaku baik bagi pekerja formal maupun informal di mana 30,1 persen pekerja formal dan 28,2 persen pekerja informal mengatakan bahwa tempat kerja mereka tidak menyediakan program perawatan; sementara 15,4 persen pekerja formal dan 16,8 persen pekerja informal memilih untuk tidak mengikuti program ini karena pemotongan gaji,” jelas Satria.
Mekanisme kerja yang fleksibel seperti bekerja dari rumah atau bekerja dari mana saja telah menjadi program perawatan yang paling banyak diadopsi. Dalam hal menyuarakan aspirasi pekerja mengenai pekerjaan perawatan, 53 persen responden menyatakan tempat kerjanya tidak memiliki serikat pekerja dan 49,2 persen menyatakan perusahaan atau pemerintah daerah tidak mendukung pembentukan serikat pekerja.
Temuan-temuan utama ini dibahas dan dikaji dalam bincang-bincang interaktif bertajuk “Apakah pekerjaan perawatan hanya tanggung jawab perempuan atau tanggung jawab bersama?”, menghadirkan narasumber utama dari pemerintah, dunia usaha, aktivis gender dan ILO: Lenny N. Rosalin, Wakil Menteri untuk Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Myra Hanartani, Ketua Komite Regulasi dan Hubungan Kelembagaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo); Melanie Subono, seniman dan aktivis serta Early Dewi Nuriana, Koordinator Program ILO untuk Ekonomi Perawatan.
“Survei ini merupakan bagian dari dukungan ILO kepada Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan dan merumuskan Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional tentang Pekerjaan Perawatan. Temuan-temuan utama dari survei ini akan digunakan sebagai dasar untuk mengidentifikasi tindakan yang tepat dalam mempromosikan pekerjaan perawatan di Indonesia dan mengembangkan kebijakan transformatif yang penting untuk memastikan masa depan pekerjaan yang didasarkan pada keadilan sosial dan mendorong kesetaraan gender untuk semua,” kata Penjabat Sementara Direktur ILO untuk Indonesia, Diego Rei.