Pembantu Trump Sambangi Taiwan, AS Bakal Bikin China Naik Pitam
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Seorang pejabat senior Amerika Serikat (AS) akan memimpin delegasi ke Taiwan dalam kunjungan tingkat tertinggi sejak 1979. Kunjungan yang akan membahas pandemi virus Corona dan “merayakan nilai-nilai bersama” dari dua negara demokrasi, kemungkinan akan membuat marah China .
Menteri Kesehatan AS, Alex Azar, mengatakan dia akan menjadi anggota kabinet AS pertama yang berkunjung dalam enam tahun. Ini adalah perjalanan paling signifikan sejak AS secara resmi memutuskan hubungan diplomatik puluhan tahun lalu untuk mengejar hubungan dengan Partai Komunis China. Taiwan mengatakan kunjungan itu akan berlangsung dalam beberapa hari mendatang.
"Taiwan telah menjadi model transparansi dan kerja sama dalam kesehatan global selama pandemi Covid-19 dan jauh sebelum itu," kata Azar, yang juga ketua satuan tugas virus Corona AS.
"Saya berharap dapat menyampaikan dukungan Presiden Trump untuk kepemimpinan kesehatan global Taiwan dan menggarisbawahi keyakinan kita bersama bahwa masyarakat yang bebas dan demokratis adalah model terbaik untuk melindungi dan mempromosikan kesehatan," imbuhnya seperti dikutip dari The Guardian, Rabu (5/8/2020)
Azar juga akan bertemu dengan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen yang pemerintahan demokrasinya mendapat dukungan internasional atas responnya terhadap pandemi Covid-19, meskipun ada upaya China untuk menjauhkannya dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Bergabung dengan tim delegasi Azar adalah kepala petugas medis Pusat Pengendalian Penyakit, Dr Mitch Wolfe, dan pensiunan duta besar AS James Moriarty, yang sekarang memimpin Institut Amerika di Taiwan. Mereka akan membahas respon terhadap Covid-19, kesehatan global, kemitraan AS-Taiwan, dan peran Taiwan sebagai pemasok global yang dapat diandalkan untuk peralatan medis dan teknologi kritis.
Dalam sebuah pernyataan yang cenderung menarik perbandingan dengan China, Departemen Kesehatan AS (HHS) mengatakan: "Berbeda dengan sistem otoriter, masyarakat dan ekonomi AS dan Taiwan secara unik diperlengkapi untuk mendorong kemajuan global di bidang-bidang seperti kedokteran dan sains untuk membantu dunia mengatasi ancaman yang muncul."
Terkait kunjungan ini, Kementerian Luar Negeri Taiwan mengatakan mereka berharap untuk menyambut delegasi AS.
"Taiwan dan AS adalah mitra yang berpikiran sama yang bekerja sama secara erat dalam memerangi virus Corona dan mempromosikan kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia di seluruh dunia," katanya.
Kunjungan delegasi AS kemungkinan akan mengobarkan ketegangan dengan China, yang mengklaim Taiwan sebagai miliknya dan bersumpah akan merebutnya dengan paksa jika perlu. Pada bulan Mei, Beijing menyatakan "kemarahan yang kuat" setelah menteri luar negeri AS, Mike Pompeo, memuji "keberanian dan visi" Tsai Ing-wen yang terpilih kembali.
Tahun lalu kunjungan ke AS oleh Tsai Ing-wen menarik "protes keras" dari Beijing, yang mendesak Washington untuk tidak mengizinkan kunjungan itu jika ingin menghindari rusaknya hubungan China-AS dan perdamaian serta stabilitas di Selat Taiwan.(Baca: Taiwan Waswas Ancaman Militer China Meningkat )
Sementara seolah-olah fokus pada pandemi virus Corona, kunjungan itu datang pada titik terendah hubungan AS-China dalam empat dekade, dengan permusuhan di berbagai bidang termasuk perdagangan, teknologi, hak asasi manusia dan sikap represif China terhadap Hong Kong.
Respons Taiwan terhadap virus Corona dianggap sebagai salah satu yang paling sukses di dunia, sementara AS terus melaporkan puluhan ribu kasus baru setiap harinya. AS telah memberikan bantuan kepada Taiwan dalam bentuk penjualan senjata, dan kehadiran yang meningkat di Laut China Selatan.(Baca: Lawan Ancaman China, AS Upgrade Rudal Patriot Taiwan Senilai Rp8,9 Triliun )
Pada hari Selasa, Duta Besar China untuk AS, Cui Tiankai, mengatakan kegiatan militer AS yang semakin intensif di wilayah tersebut meningkatkan risiko potensi konfrontasi, dan membantah tuduhan bahwa Beijing melakukan intimidasi di Laut China Selatan.
Cui, yang dipandang sebagai suara moderat di antara para diplomat dan pejabat China, mengatakan Beijing tidak ingin ketegangan meningkat lebih lanjut, setelah aksi saling menutup konsulat di Houston dan Chengdu, serta sanksi terhadap pejabat pemerintah.
"Saya tidak berpikir perang dingin baru akan melayani kepentingan siapa pun," katanya.
"Mengapa kita harus membiarkan sejarah terulang ketika kita dihadapkan dengan begitu banyak tantangan baru?" cetusnya.
Menteri Kesehatan AS, Alex Azar, mengatakan dia akan menjadi anggota kabinet AS pertama yang berkunjung dalam enam tahun. Ini adalah perjalanan paling signifikan sejak AS secara resmi memutuskan hubungan diplomatik puluhan tahun lalu untuk mengejar hubungan dengan Partai Komunis China. Taiwan mengatakan kunjungan itu akan berlangsung dalam beberapa hari mendatang.
"Taiwan telah menjadi model transparansi dan kerja sama dalam kesehatan global selama pandemi Covid-19 dan jauh sebelum itu," kata Azar, yang juga ketua satuan tugas virus Corona AS.
"Saya berharap dapat menyampaikan dukungan Presiden Trump untuk kepemimpinan kesehatan global Taiwan dan menggarisbawahi keyakinan kita bersama bahwa masyarakat yang bebas dan demokratis adalah model terbaik untuk melindungi dan mempromosikan kesehatan," imbuhnya seperti dikutip dari The Guardian, Rabu (5/8/2020)
Azar juga akan bertemu dengan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen yang pemerintahan demokrasinya mendapat dukungan internasional atas responnya terhadap pandemi Covid-19, meskipun ada upaya China untuk menjauhkannya dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Bergabung dengan tim delegasi Azar adalah kepala petugas medis Pusat Pengendalian Penyakit, Dr Mitch Wolfe, dan pensiunan duta besar AS James Moriarty, yang sekarang memimpin Institut Amerika di Taiwan. Mereka akan membahas respon terhadap Covid-19, kesehatan global, kemitraan AS-Taiwan, dan peran Taiwan sebagai pemasok global yang dapat diandalkan untuk peralatan medis dan teknologi kritis.
Dalam sebuah pernyataan yang cenderung menarik perbandingan dengan China, Departemen Kesehatan AS (HHS) mengatakan: "Berbeda dengan sistem otoriter, masyarakat dan ekonomi AS dan Taiwan secara unik diperlengkapi untuk mendorong kemajuan global di bidang-bidang seperti kedokteran dan sains untuk membantu dunia mengatasi ancaman yang muncul."
Terkait kunjungan ini, Kementerian Luar Negeri Taiwan mengatakan mereka berharap untuk menyambut delegasi AS.
"Taiwan dan AS adalah mitra yang berpikiran sama yang bekerja sama secara erat dalam memerangi virus Corona dan mempromosikan kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia di seluruh dunia," katanya.
Kunjungan delegasi AS kemungkinan akan mengobarkan ketegangan dengan China, yang mengklaim Taiwan sebagai miliknya dan bersumpah akan merebutnya dengan paksa jika perlu. Pada bulan Mei, Beijing menyatakan "kemarahan yang kuat" setelah menteri luar negeri AS, Mike Pompeo, memuji "keberanian dan visi" Tsai Ing-wen yang terpilih kembali.
Tahun lalu kunjungan ke AS oleh Tsai Ing-wen menarik "protes keras" dari Beijing, yang mendesak Washington untuk tidak mengizinkan kunjungan itu jika ingin menghindari rusaknya hubungan China-AS dan perdamaian serta stabilitas di Selat Taiwan.(Baca: Taiwan Waswas Ancaman Militer China Meningkat )
Sementara seolah-olah fokus pada pandemi virus Corona, kunjungan itu datang pada titik terendah hubungan AS-China dalam empat dekade, dengan permusuhan di berbagai bidang termasuk perdagangan, teknologi, hak asasi manusia dan sikap represif China terhadap Hong Kong.
Respons Taiwan terhadap virus Corona dianggap sebagai salah satu yang paling sukses di dunia, sementara AS terus melaporkan puluhan ribu kasus baru setiap harinya. AS telah memberikan bantuan kepada Taiwan dalam bentuk penjualan senjata, dan kehadiran yang meningkat di Laut China Selatan.(Baca: Lawan Ancaman China, AS Upgrade Rudal Patriot Taiwan Senilai Rp8,9 Triliun )
Pada hari Selasa, Duta Besar China untuk AS, Cui Tiankai, mengatakan kegiatan militer AS yang semakin intensif di wilayah tersebut meningkatkan risiko potensi konfrontasi, dan membantah tuduhan bahwa Beijing melakukan intimidasi di Laut China Selatan.
Cui, yang dipandang sebagai suara moderat di antara para diplomat dan pejabat China, mengatakan Beijing tidak ingin ketegangan meningkat lebih lanjut, setelah aksi saling menutup konsulat di Houston dan Chengdu, serta sanksi terhadap pejabat pemerintah.
"Saya tidak berpikir perang dingin baru akan melayani kepentingan siapa pun," katanya.
"Mengapa kita harus membiarkan sejarah terulang ketika kita dihadapkan dengan begitu banyak tantangan baru?" cetusnya.
(ber)