Kondisi Libya Setelah Muammar Al-Qaddafi Digulingkan, Terjerumus dalam Perang Saudara?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Meskipun Libya telah bertahan selama lebih dari satu dekade tanpa Muammar Al-Qaddafi, isu tentang negara yang hancur setelah menggulingkan kekuasaan pemimpinnya ini masihlah jadi topik yang sering diangkat.
Sebenarnya Gaddafi telah menjadikan Libya sebagai negara paling makmur di Benua Afrika berkat ladang minyak yang luas. Gaddafi juga mampu menciptakan kemajuan signifikan dalam bidang sosial, politik dan ekonomi.
Selama Gaddafi memerintah selama kurang lebih 48 tahun, sebenarnya Libya bukanlah negara yang kerap melakukan gerakan massa dalam skala nasional. Namun pada tanggal 20 Oktober 2011 lalu, muncul protes besar-besaran yang didukung oleh Amerika Serikat untuk menjatuhkan Gaddafi.
Protes ini menjadikan Amerika Serikat sebagai dalang tergulingnya pemerintahan Gaddafi. Ini dilakukan sebab AS diduga kurang menyukai pemerintahan Gaddafi yang tidak menggunakan dana utang IMF dan tidak terlalu ikut campur dengan berbagai kebijakan barat.
Bukannya menjadi negara yang lebih baik, Libya justru mengalami kemunduran setelah kejatuhan Gaddafi. Pemberontakan bersenjata yang dilakukan justru menjerumuskan negara tersebut pada perang saudara.
Setelah Muammar Al-Qaddafi dikudeta dan gugur pada tahun 2011 lalu, Libya mulai berjuang untuk membangun negaranya kembali dengan menyerahkan wewenangnya pada Kongres Nasional Umum (GNC) yang baru terpilih pada bulan Juli 2012.
Sayangnya GNC menghadapi banyak tantangan selama dua tahun berikutnya, termasuk serangan militan Islam terhadap konsulat AS di Benghazi yang dimulai pada bulan September 2012.
Hingga pada akhirnya mulai sering muncul konflik internal yang tak jarang menimbulkan peperangan antara Tentara Nasional Libya (LNA) dengan kelompok militan Islam di Libya timur.
Dalam upaya untuk menemukan resolusi konflik dan menciptakan pemerintahan persatuan, Utusan Khusus PBB untuk Libya saat itu Bernardino Leon, diikuti oleh Martin Kobler, memfasilitasi serangkaian pembicaraan antara Dewan Perwakilan Rakyat (HoR) yang berbasis di Tobruk, GNC yang berbasis di Tripoli.
Dilansir dari CFR, pembicaraan yang didukung PBB tersebut menghasilkan pembentukan Perjanjian Politik Libya dan Pemerintahan Kesepakatan Nasional (GNA) untuk menggantikan GNC pada bulan Desember 2015.
Campur tangannya negara lain tak lantas membuat negara yang kaya akan tambang minyak ini menjadi lebih baik. Bahkan beberapa negara yang ikut campur justru memecah dukungannya pihak yang sedang berkonflik.
Tak berselang lama, konflik kembali pecah setelah HoR dan GNA terus bersaing untuk mendapatkan kekuasaan di tahun 2018.Namun konflik ini kembali mereda pada tahun 2020 setelah GNA mengumumkan gencatan senjata sepihak, dan HoR mengakhiri blokade minyak.
Sampai pada bulan Maret 2021, persiapan pemilu nasional dilakukan untuk menyatukan GNA dan HoR. Disebutkan jika hampir seluruh anggota HoR dengan suara bulat menyetujui kabinet pemerintahan baru, dan GNA pimpinan Seraj serta parlemen yang berbasis di wilayah timur menyerahkan kekuasaan kepada apa yang disebut dengan GNU.
Sebenarnya Gaddafi telah menjadikan Libya sebagai negara paling makmur di Benua Afrika berkat ladang minyak yang luas. Gaddafi juga mampu menciptakan kemajuan signifikan dalam bidang sosial, politik dan ekonomi.
Selama Gaddafi memerintah selama kurang lebih 48 tahun, sebenarnya Libya bukanlah negara yang kerap melakukan gerakan massa dalam skala nasional. Namun pada tanggal 20 Oktober 2011 lalu, muncul protes besar-besaran yang didukung oleh Amerika Serikat untuk menjatuhkan Gaddafi.
Protes ini menjadikan Amerika Serikat sebagai dalang tergulingnya pemerintahan Gaddafi. Ini dilakukan sebab AS diduga kurang menyukai pemerintahan Gaddafi yang tidak menggunakan dana utang IMF dan tidak terlalu ikut campur dengan berbagai kebijakan barat.
Bukannya menjadi negara yang lebih baik, Libya justru mengalami kemunduran setelah kejatuhan Gaddafi. Pemberontakan bersenjata yang dilakukan justru menjerumuskan negara tersebut pada perang saudara.
Libya Setelah Muammar Al-Qaddafi Digulingkan
Setelah Muammar Al-Qaddafi dikudeta dan gugur pada tahun 2011 lalu, Libya mulai berjuang untuk membangun negaranya kembali dengan menyerahkan wewenangnya pada Kongres Nasional Umum (GNC) yang baru terpilih pada bulan Juli 2012.
Sayangnya GNC menghadapi banyak tantangan selama dua tahun berikutnya, termasuk serangan militan Islam terhadap konsulat AS di Benghazi yang dimulai pada bulan September 2012.
Hingga pada akhirnya mulai sering muncul konflik internal yang tak jarang menimbulkan peperangan antara Tentara Nasional Libya (LNA) dengan kelompok militan Islam di Libya timur.
Dalam upaya untuk menemukan resolusi konflik dan menciptakan pemerintahan persatuan, Utusan Khusus PBB untuk Libya saat itu Bernardino Leon, diikuti oleh Martin Kobler, memfasilitasi serangkaian pembicaraan antara Dewan Perwakilan Rakyat (HoR) yang berbasis di Tobruk, GNC yang berbasis di Tripoli.
Dilansir dari CFR, pembicaraan yang didukung PBB tersebut menghasilkan pembentukan Perjanjian Politik Libya dan Pemerintahan Kesepakatan Nasional (GNA) untuk menggantikan GNC pada bulan Desember 2015.
Campur tangannya negara lain tak lantas membuat negara yang kaya akan tambang minyak ini menjadi lebih baik. Bahkan beberapa negara yang ikut campur justru memecah dukungannya pihak yang sedang berkonflik.
Tak berselang lama, konflik kembali pecah setelah HoR dan GNA terus bersaing untuk mendapatkan kekuasaan di tahun 2018.Namun konflik ini kembali mereda pada tahun 2020 setelah GNA mengumumkan gencatan senjata sepihak, dan HoR mengakhiri blokade minyak.
Sampai pada bulan Maret 2021, persiapan pemilu nasional dilakukan untuk menyatukan GNA dan HoR. Disebutkan jika hampir seluruh anggota HoR dengan suara bulat menyetujui kabinet pemerintahan baru, dan GNA pimpinan Seraj serta parlemen yang berbasis di wilayah timur menyerahkan kekuasaan kepada apa yang disebut dengan GNU.
(ian)