Xi Jinping Tidak Hadiri KTT G20, Joe Biden Kecewa
loading...
A
A
A
Baru minggu lalu, India melakukan protes setelah Beijing merilis peta yang mengklaim negara bagian Arunachal Pradesh dan dataran tinggi Aksai Chin sebagai wilayah China.
Xi Jinping dan Biden mungkin masih memiliki kesempatan untuk berbicara pada bulan November, pada pertemuan para pemimpin Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik di San Francisco.
Sekitar dua bulan setelah kedua pemimpin bertemu di pulau Bali, Indonesia, pada bulan November lalu, dugaan adanya balon mata-mata China di langit AS telah memupus harapan untuk memulihkan hubungan bilateral, sehingga menunda upaya untuk memulai dialog selama berbulan-bulan.
Kedua negara tidak sepakat mengenai berbagai masalah, seperti invasi Rusia ke Ukraina, hak asasi manusia di Xinjiang dan Hong Kong, klaim teritorial atas Taiwan dan Laut Cina Selatan, serta pembatasan ekonomi yang membatasi akses Beijing terhadap komponen-komponen teknologi tinggi.
Dalam upaya untuk meningkatkan hubungan, serangkaian pejabat tinggi AS telah melakukan perjalanan ke China dalam beberapa bulan terakhir. Mereka termasuk Menteri Luar Negeri Antony Blinken, Menteri Keuangan Janet Yellen, dan Utusan Khusus AS untuk Iklim John Kerry.
Sementara itu, Xi Jinping terus menggambarkan Beijing sebagai pemimpin negara berkembang, menggalang dukungan terhadap alternatif tatanan dunia yang dipimpin Washington.
Dalam kunjungannya ke Afrika Selatan bulan lalu untuk bertemu dengan para pemimpin negara-negara BRICS, Jinping mengkritik hegemoni Barat dan mendesak negara-negara berkembang untuk melepaskan beban kolonialisme dalam pidatonya.
BRICS aslinya mengacu pada lima negara yang terdiri dari negara-negara berkembang, termasuk Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.
Enam negara baru – Argentina, Mesir, Iran, Ethiopia, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab – akan bergabung pada bulan Januari mendatang, yang secara luas dipandang sebagai kemenangan diplomatik bagi Beijing.
Xi Jinping dan Biden mungkin masih memiliki kesempatan untuk berbicara pada bulan November, pada pertemuan para pemimpin Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik di San Francisco.
Sekitar dua bulan setelah kedua pemimpin bertemu di pulau Bali, Indonesia, pada bulan November lalu, dugaan adanya balon mata-mata China di langit AS telah memupus harapan untuk memulihkan hubungan bilateral, sehingga menunda upaya untuk memulai dialog selama berbulan-bulan.
Kedua negara tidak sepakat mengenai berbagai masalah, seperti invasi Rusia ke Ukraina, hak asasi manusia di Xinjiang dan Hong Kong, klaim teritorial atas Taiwan dan Laut Cina Selatan, serta pembatasan ekonomi yang membatasi akses Beijing terhadap komponen-komponen teknologi tinggi.
Dalam upaya untuk meningkatkan hubungan, serangkaian pejabat tinggi AS telah melakukan perjalanan ke China dalam beberapa bulan terakhir. Mereka termasuk Menteri Luar Negeri Antony Blinken, Menteri Keuangan Janet Yellen, dan Utusan Khusus AS untuk Iklim John Kerry.
Sementara itu, Xi Jinping terus menggambarkan Beijing sebagai pemimpin negara berkembang, menggalang dukungan terhadap alternatif tatanan dunia yang dipimpin Washington.
Dalam kunjungannya ke Afrika Selatan bulan lalu untuk bertemu dengan para pemimpin negara-negara BRICS, Jinping mengkritik hegemoni Barat dan mendesak negara-negara berkembang untuk melepaskan beban kolonialisme dalam pidatonya.
BRICS aslinya mengacu pada lima negara yang terdiri dari negara-negara berkembang, termasuk Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.
Enam negara baru – Argentina, Mesir, Iran, Ethiopia, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab – akan bergabung pada bulan Januari mendatang, yang secara luas dipandang sebagai kemenangan diplomatik bagi Beijing.