Hubungan 'Panas-Dingin' Sejak Lama, Inggris-Skotlandia Pecah
loading...
A
A
A
LONDON - Sejarah mencatat, hubungan Skotlandia dan Inggris panas dingin. Bukan hanya saat ini, tetapi dulu pun demikian. Raja Inggris dan Skotlandia berulang kali terjebak dalam beberapa perang antara dua bangsa selama enam abad lamanya sejak 937–1575.
Perang antara Raja Edward I dengan tentara Skotlandia yang dipimpin William Wallace dan koleganya Andrew Murray pada 1297 dikenal dengan nama The Battle of Stirling. Perang yang dimenangkan Wallace itu tidak berlangsung lama karena pada 1298, Edward Longshanks mengalahkan tentara Skotlandia atau dikenal dengan Battle of Falkirk.
Kebangkitan nasionalisme Skotlandia muncul ketika Raja Roberth The Bruce mengalahkan tentara Edward II dalam pertemuan Battle of Bannockburn pada 1314. Perang antara Inggris dan Skotlandia berlanjut hingga 1603 ketika James VI dari Skotlandia naik takhta Kerajaan Inggris menjadi James I. Tapi, kedua negara itu sesungguh bisa bersatu hingga 1706–1707 ketika parlemen kedua negara tersebut meratifikasi Act of Union.
Namun, nasionalisme Skotlandia kembali bangkit dan mencapai puncaknya saat Inggris keluar dari Uni Eropa (UE). Perpecahan Inggris dari UE dianggap berbuah karma dengan perpecahan Inggris dan Skotlandia semakin dirasakan. Tren dan sentimen Skotlandia menginginkan kemerdekaan serta menjadi republik kembali menguat. Apalagi kedua pihak juga memiliki banyak perbedaan kebijakan terutama dalam menangani pandemi korona dan krisis ekonomi. (Baca: Inggris Melatih Mata-mata dari Arab Saudi, Mesir dan UEA)
Nasionalisme Skotlandia juga meningkat dalam beberapa waktu terakhir dan menyebar ke beberapa bagian penjuru wilayah. Itu termasuk ke kawasan selama ini menjadi basis mereka yang berpihak pada Inggris. Kemerdekaan menjadi solusi terbaik untuk mengelola pemerintahan lebih baik dan terarah sehingga tidak mengekor ke London.
Di Skotlandia, jajak pendapat terbaru menyebutkan 54% penduduk menginginkan kemerdekaan. Kepercayaan diri itu setelah Skotlandia dinilai lebih baik dalam mengelola pandemi virus corona dibandingkan dengan Inggris. Urusan kesehatan memang menjadi tanggung jawab masing-masing, kalau pemerintahan di London lebih fokus pada ekonomi dan kebijakan luar negeri.
Semua kawasan di Inggris , seperti Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara memang menjalankan isolasi wilayah pada waktu bersamaan. Tapi, kecepatannya sangat berbeda. Pemerintahan Johnson dinilai lambat dan mengakhirinya lockdown terlalu dini. Nicola Sturgeon, Menteri Pertama Skotlandia dan pemimpin Partai Nasional Skotlandia (SNP) dinilai terbaik serta dipuji karena menangani pandemi ini. (Baca juga: Ketua KPK Klaim Telah Selamatkan Rp79,9 Triliun Uang Negara)
Konflik Johnson dan Sturgeon terasa ketika upaya London membuka kembali ekonomi ternyata direspons negatif oleh Skotlandia . Perintah Johnson dinilai tidak jelas. Pada 10 Mei, Johnson meminta warga tidak bekerja dari rumah, mereka harus aktif bekerja, tetapi harus tetap waspada. Sturgeon pun meminta kampanye London tidak diterapkan di Skotlandia karena dia mengaku tidak paham dengan “tetap waspada”.
Ketika pemerintahan Johnson mengenalkan aturan baru mengizinkan warganya tidak perlu karantina sekembalinya dari luar negeri, Sturgeon menyebut kebijakan itu “sebagai kekisruhan”. Tidak seperti Downing Street, Sturgeon pun menolak kebijakan tersebut. Dia pun mewajibkan penggunaan masker, berbeda dengan Johnson yang cenderung tidak menggunakan masker seperti Presiden Donald Trump.
Selain faktor Covid-19, kekecewaan Skotlandia sudah tampak ketika Inggris keluar dari Uni Eropa. Kebanyakan warga Skotlandia berpandangan pemerintahan konservatif di Inggris terlalu arogan dan patronase. Padahal rakyat Skotlandia tidak mendukung dan memilih mereka. Johnson pun sebagai politikus yang sangat tidak disukai di Skotlandia. (Baca juga: Dibantu Pemerintah, Pengusaha Besar Kini Bisa Tersenyum Lebar)
Faktor lain menjadi permasalahan munculnya gerakan kemerdekaan adalah performa ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Skotlandia selalu setengah dari rata-rata Inggris. Tingkat pengangguran juga sangat tinggi. Itu diperparah dengan pandemi virus corona yang mengalami krisis ekonomi.
Jajak pendapat terbaru juga menyebutkan kubu nasionalis kini diperkirakan akan memenangkan pemilu parlemen Skotlandia pada tahun depan. Jika hal itu terjadi, mereka akan memiliki hak politik dan moral untuk menggelar referendum. Mereka juga percaya diri akan merebut wilayah-wilayah yang selama ini dikuasai kubu pro-Inggris. Hanya saja, untuk menggelar referendum secara legal, Skotlandia harus mendapatkan izin dari parlemen Inggris yang itu dirasa sangat sulit.
“Untuk pertama kalinya kaum nasionalis yakin akan memenangkan kemerdekaan (jika referendum digelar),” kata John Curtice, profesor politik di Universitas Strathclyde dilansir Reuters. Krisis menyebabkan warga Skotlandia justru lebih percaya pada pemerintahan lokalnya dibandingkan dengan pemerintah pusat.
“Virus corona telah menempatkan pemerintahan Skotlandia berada di garda depan dan pusat kehidupan rakyat,” katanya. Dukungan pada Inggris pun melemah. (Lihat videonya: Akibat Hubungan Arus Pendek Listrik, Gudang Penyimpanan Beras Terbakar)
Pengamat politik prokemerdekaan Skotlandia, Mark Diffley mengungkapkan, jajak pendapat itu menunjukkan hal signifikan kekecewaan rakyat Skotlandia. (Andika H Mustaqim)
Perang antara Raja Edward I dengan tentara Skotlandia yang dipimpin William Wallace dan koleganya Andrew Murray pada 1297 dikenal dengan nama The Battle of Stirling. Perang yang dimenangkan Wallace itu tidak berlangsung lama karena pada 1298, Edward Longshanks mengalahkan tentara Skotlandia atau dikenal dengan Battle of Falkirk.
Kebangkitan nasionalisme Skotlandia muncul ketika Raja Roberth The Bruce mengalahkan tentara Edward II dalam pertemuan Battle of Bannockburn pada 1314. Perang antara Inggris dan Skotlandia berlanjut hingga 1603 ketika James VI dari Skotlandia naik takhta Kerajaan Inggris menjadi James I. Tapi, kedua negara itu sesungguh bisa bersatu hingga 1706–1707 ketika parlemen kedua negara tersebut meratifikasi Act of Union.
Namun, nasionalisme Skotlandia kembali bangkit dan mencapai puncaknya saat Inggris keluar dari Uni Eropa (UE). Perpecahan Inggris dari UE dianggap berbuah karma dengan perpecahan Inggris dan Skotlandia semakin dirasakan. Tren dan sentimen Skotlandia menginginkan kemerdekaan serta menjadi republik kembali menguat. Apalagi kedua pihak juga memiliki banyak perbedaan kebijakan terutama dalam menangani pandemi korona dan krisis ekonomi. (Baca: Inggris Melatih Mata-mata dari Arab Saudi, Mesir dan UEA)
Nasionalisme Skotlandia juga meningkat dalam beberapa waktu terakhir dan menyebar ke beberapa bagian penjuru wilayah. Itu termasuk ke kawasan selama ini menjadi basis mereka yang berpihak pada Inggris. Kemerdekaan menjadi solusi terbaik untuk mengelola pemerintahan lebih baik dan terarah sehingga tidak mengekor ke London.
Di Skotlandia, jajak pendapat terbaru menyebutkan 54% penduduk menginginkan kemerdekaan. Kepercayaan diri itu setelah Skotlandia dinilai lebih baik dalam mengelola pandemi virus corona dibandingkan dengan Inggris. Urusan kesehatan memang menjadi tanggung jawab masing-masing, kalau pemerintahan di London lebih fokus pada ekonomi dan kebijakan luar negeri.
Semua kawasan di Inggris , seperti Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara memang menjalankan isolasi wilayah pada waktu bersamaan. Tapi, kecepatannya sangat berbeda. Pemerintahan Johnson dinilai lambat dan mengakhirinya lockdown terlalu dini. Nicola Sturgeon, Menteri Pertama Skotlandia dan pemimpin Partai Nasional Skotlandia (SNP) dinilai terbaik serta dipuji karena menangani pandemi ini. (Baca juga: Ketua KPK Klaim Telah Selamatkan Rp79,9 Triliun Uang Negara)
Konflik Johnson dan Sturgeon terasa ketika upaya London membuka kembali ekonomi ternyata direspons negatif oleh Skotlandia . Perintah Johnson dinilai tidak jelas. Pada 10 Mei, Johnson meminta warga tidak bekerja dari rumah, mereka harus aktif bekerja, tetapi harus tetap waspada. Sturgeon pun meminta kampanye London tidak diterapkan di Skotlandia karena dia mengaku tidak paham dengan “tetap waspada”.
Ketika pemerintahan Johnson mengenalkan aturan baru mengizinkan warganya tidak perlu karantina sekembalinya dari luar negeri, Sturgeon menyebut kebijakan itu “sebagai kekisruhan”. Tidak seperti Downing Street, Sturgeon pun menolak kebijakan tersebut. Dia pun mewajibkan penggunaan masker, berbeda dengan Johnson yang cenderung tidak menggunakan masker seperti Presiden Donald Trump.
Selain faktor Covid-19, kekecewaan Skotlandia sudah tampak ketika Inggris keluar dari Uni Eropa. Kebanyakan warga Skotlandia berpandangan pemerintahan konservatif di Inggris terlalu arogan dan patronase. Padahal rakyat Skotlandia tidak mendukung dan memilih mereka. Johnson pun sebagai politikus yang sangat tidak disukai di Skotlandia. (Baca juga: Dibantu Pemerintah, Pengusaha Besar Kini Bisa Tersenyum Lebar)
Faktor lain menjadi permasalahan munculnya gerakan kemerdekaan adalah performa ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Skotlandia selalu setengah dari rata-rata Inggris. Tingkat pengangguran juga sangat tinggi. Itu diperparah dengan pandemi virus corona yang mengalami krisis ekonomi.
Jajak pendapat terbaru juga menyebutkan kubu nasionalis kini diperkirakan akan memenangkan pemilu parlemen Skotlandia pada tahun depan. Jika hal itu terjadi, mereka akan memiliki hak politik dan moral untuk menggelar referendum. Mereka juga percaya diri akan merebut wilayah-wilayah yang selama ini dikuasai kubu pro-Inggris. Hanya saja, untuk menggelar referendum secara legal, Skotlandia harus mendapatkan izin dari parlemen Inggris yang itu dirasa sangat sulit.
“Untuk pertama kalinya kaum nasionalis yakin akan memenangkan kemerdekaan (jika referendum digelar),” kata John Curtice, profesor politik di Universitas Strathclyde dilansir Reuters. Krisis menyebabkan warga Skotlandia justru lebih percaya pada pemerintahan lokalnya dibandingkan dengan pemerintah pusat.
“Virus corona telah menempatkan pemerintahan Skotlandia berada di garda depan dan pusat kehidupan rakyat,” katanya. Dukungan pada Inggris pun melemah. (Lihat videonya: Akibat Hubungan Arus Pendek Listrik, Gudang Penyimpanan Beras Terbakar)
Pengamat politik prokemerdekaan Skotlandia, Mark Diffley mengungkapkan, jajak pendapat itu menunjukkan hal signifikan kekecewaan rakyat Skotlandia. (Andika H Mustaqim)
(ysw)