Taliban Dikabarkan Kunjungi Indonesia untuk Dapat Pengakuan Global
loading...
A
A
A
JAKARTA - Delegasi tingkat menengah Taliban mengunjungi Indonesia bulan ini "untuk meningkatkan hubungan" antara Afghanistan dan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Kabar tersebut diungkap seorang sumber Taliban kepada Nikkei Asia. Kunjungan itu, menurut para pengamat, merupakan upaya Taliban mendapatkan dukungan pengakuan internasional dan menarik investasi asing di Afghanistan untuk menopang ekonominya yang sakit, salah satu yang termiskin di dunia.
"Ini adalah delegasi tingkat menengah yang berkunjung ke Indonesia dan Malaysia, dan berusaha meningkatkan hubungan antara Afghanistan dan kedua negara Islam tersebut," ujar sumber tersebut, menambahkan kunjungan tersebut dilakukan lebih dari sepekan yang lalu.
Menurut laporan Nikkei Asia, juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia Teuku Faizasyah membenarkan Taliban berada di Jakarta untuk "kegiatan internal dengan misi mereka." “Mereka tidak bertemu dengan kementerian luar negeri,” ujar Faizasyah kepada Nikkei Asia.
Kementerian Luar Negeri Malaysia tidak menanggapi permintaan komentar.
“Taliban percaya ada kelompok-kelompok Islam di negara-negara Muslim termasuk Indonesia dan Malaysia yang dapat dibujuk untuk mendengarkan cerita dari sisi mereka dan mungkin diyakinkan untuk melobi pemerintah mereka masing-masing untuk mendukungnya,” papar Faran Jeffery, wakil direktur dan kepala divisi terorisme Asia Selatan di wadah pemikir Islamic Theology of Counter Terrorism yang berbasis di Inggris.
"(Perjalanan) ini tidak hanya termasuk mendorong pengakuan rezim Taliban tetapi juga mendorong negara-negara ini untuk berinvestasi di Afghanistan dan memberikan bantuan kepada rakyat Afghanistan," ujar Jeffery.
Dia menjelaskan, "Pada saat yang sama, Taliban tidak terlalu menyoroti pertemuan ini, mungkin agar tuan rumah mereka dapat menghindari rasa malu."
Ekonomi Afghanistan dengan cepat menyusut lebih dari 20% setelah Taliban kembali berkuasa pada 15 Agustus 2021, menurut Program Pembangunan PBB.
Sejak itu, korupsi dilaporkan turun, nilai tukar stabil, dan inflasi terkendali. Menurut UNDP, produk domestik bruto juga agak stabil, menyusut hanya 3,6% pada tahun 2022 karena sebagian besar bantuan PBB dan internasional.
“Sampai saat ini, tidak ada negara yang secara resmi mengakui rezim Taliban meskipun telah mengirim perwakilan ke beberapa misi luar negeri Afghanistan termasuk di China, Rusia, Qatar dan Pakistan,” ungkap Nishank Motwani, Mason Fellow di Harvard Kennedy School.
Juru bicara Kemlu Indonesia Faizasyah mengatakan Jakarta tidak dalam posisi untuk sepenuhnya mengakui Taliban saat ini. Dia menambahkan, ada "harapan tertentu" yang harus dipenuhi.
“Kami mengantisipasi proses rekonsiliasi internal, proses demokratisasi yang lebih besar, dan akses pendidikan yang lebih baik bagi perempuan,” ungkap Faizasyah.
“Kepemimpinan Taliban menganggap legitimasi internasional sebagai baik untuk dimiliki tetapi tidak harus dimiliki," ujar Nishank.
Dia menekankan, "Perbedaan itu sangat penting untuk memahami motif mereka untuk penjangkauan internasional mereka, yaitu untuk menopang ekonomi yang gagal melindungi kepentingan ekonomi mereka daripada membantu warga Afghanistan."
Nishank mencatat tawaran Taliban didorong oleh kebutuhan "menghindari sanksi internasional" dan menekan "negara tuan rumah dan mantan diplomat pemerintah Afghanistan yang menjalankan misi luar negeri untuk mengambil perwakilan Taliban, atau mengganti mereka sepenuhnya dengan pejabat Taliban."
Untuk tujuan ini, Taliban percaya mereka dapat mempengaruhi negara-negara Muslim dengan berbagai cara.
"Taliban dapat mengeksploitasi garis patahan agama di Indonesia dan Malaysia dan negara-negara Muslim lainnya... artinya mereka dapat menjadi tuan rumah, merekrut atau melatih para pejuang yang menentang pemerintah ini, serta memberikan akses ke industri ekstremis kekerasan dan keyakinan radikal mereka," ungkap Nishank.
Taliban secara terbuka menyatakan tidak akan mengizinkan organisasi teror untuk beroperasi di tanah mereka, dan beberapa analis percaya jumlah kelompok tersebut telah menurun.
Nasir Abas, mantan pemimpin Jemaah Islamiyah, kelompok di balik pengeboman Bali tahun 2002, mengatakan kepada Nikkei Asia bahwa masih ada individu atau kelompok di Indonesia yang yakin bahwa Afghanistan adalah Negara Islam dan karena itu mereka memiliki kewajiban bermigrasi dan tinggal di sana. "Kemudian ada yang masih memandang Afghanistan sebagai zona perang... dan ingin ke sana," papar dia.
Taliban juga menganggap diri mereka sebagai kekuatan politik permanen di Afghanistan dan percaya para pemimpin Muslim di negara lain harus berurusan dengan mereka.
“Taliban bertaruh bahwa elit konservatif, atau faksi di negara-negara Muslim yang mengadakan pemilihan dan memiliki partai politik, lebih mungkin untuk terlibat dengan mereka, dan memainkan permainan panjang yang akan melihat pertumbuhan elemen konservatif yang dapat menjalankan kekuasaan untuk mendukung Taliban,” ujar Nishank.
China, yang merupakan salah satu investor terbesar di Afghanistan dan yang sedang dirayu Taliban, tidak mungkin mengakui Taliban dalam waktu dekat, menurut Faran dari ITCT.
Sementara itu, Muhammad Najih, dosen Universitas Islam Negeri Jakarta menyebut secara teologi dan filsafat, umat Islam di Indonesia sangat berbeda dengan Taliban.
"Mayoritas Muslim Indonesia pada umumnya tidak setuju dengan konservatisme Taliban dalam cara mereka memperlakukan perempuan dan penggunaan kekerasan," papar Najih.
Dia menambahkan, “Meskipun mungkin ada beberapa dukungan untuk Taliban di Indonesia, itu sangat kecil."
Kabar tersebut diungkap seorang sumber Taliban kepada Nikkei Asia. Kunjungan itu, menurut para pengamat, merupakan upaya Taliban mendapatkan dukungan pengakuan internasional dan menarik investasi asing di Afghanistan untuk menopang ekonominya yang sakit, salah satu yang termiskin di dunia.
"Ini adalah delegasi tingkat menengah yang berkunjung ke Indonesia dan Malaysia, dan berusaha meningkatkan hubungan antara Afghanistan dan kedua negara Islam tersebut," ujar sumber tersebut, menambahkan kunjungan tersebut dilakukan lebih dari sepekan yang lalu.
Menurut laporan Nikkei Asia, juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia Teuku Faizasyah membenarkan Taliban berada di Jakarta untuk "kegiatan internal dengan misi mereka." “Mereka tidak bertemu dengan kementerian luar negeri,” ujar Faizasyah kepada Nikkei Asia.
Kementerian Luar Negeri Malaysia tidak menanggapi permintaan komentar.
“Taliban percaya ada kelompok-kelompok Islam di negara-negara Muslim termasuk Indonesia dan Malaysia yang dapat dibujuk untuk mendengarkan cerita dari sisi mereka dan mungkin diyakinkan untuk melobi pemerintah mereka masing-masing untuk mendukungnya,” papar Faran Jeffery, wakil direktur dan kepala divisi terorisme Asia Selatan di wadah pemikir Islamic Theology of Counter Terrorism yang berbasis di Inggris.
"(Perjalanan) ini tidak hanya termasuk mendorong pengakuan rezim Taliban tetapi juga mendorong negara-negara ini untuk berinvestasi di Afghanistan dan memberikan bantuan kepada rakyat Afghanistan," ujar Jeffery.
Dia menjelaskan, "Pada saat yang sama, Taliban tidak terlalu menyoroti pertemuan ini, mungkin agar tuan rumah mereka dapat menghindari rasa malu."
Ekonomi Afghanistan dengan cepat menyusut lebih dari 20% setelah Taliban kembali berkuasa pada 15 Agustus 2021, menurut Program Pembangunan PBB.
Sejak itu, korupsi dilaporkan turun, nilai tukar stabil, dan inflasi terkendali. Menurut UNDP, produk domestik bruto juga agak stabil, menyusut hanya 3,6% pada tahun 2022 karena sebagian besar bantuan PBB dan internasional.
“Sampai saat ini, tidak ada negara yang secara resmi mengakui rezim Taliban meskipun telah mengirim perwakilan ke beberapa misi luar negeri Afghanistan termasuk di China, Rusia, Qatar dan Pakistan,” ungkap Nishank Motwani, Mason Fellow di Harvard Kennedy School.
Juru bicara Kemlu Indonesia Faizasyah mengatakan Jakarta tidak dalam posisi untuk sepenuhnya mengakui Taliban saat ini. Dia menambahkan, ada "harapan tertentu" yang harus dipenuhi.
“Kami mengantisipasi proses rekonsiliasi internal, proses demokratisasi yang lebih besar, dan akses pendidikan yang lebih baik bagi perempuan,” ungkap Faizasyah.
“Kepemimpinan Taliban menganggap legitimasi internasional sebagai baik untuk dimiliki tetapi tidak harus dimiliki," ujar Nishank.
Dia menekankan, "Perbedaan itu sangat penting untuk memahami motif mereka untuk penjangkauan internasional mereka, yaitu untuk menopang ekonomi yang gagal melindungi kepentingan ekonomi mereka daripada membantu warga Afghanistan."
Nishank mencatat tawaran Taliban didorong oleh kebutuhan "menghindari sanksi internasional" dan menekan "negara tuan rumah dan mantan diplomat pemerintah Afghanistan yang menjalankan misi luar negeri untuk mengambil perwakilan Taliban, atau mengganti mereka sepenuhnya dengan pejabat Taliban."
Untuk tujuan ini, Taliban percaya mereka dapat mempengaruhi negara-negara Muslim dengan berbagai cara.
"Taliban dapat mengeksploitasi garis patahan agama di Indonesia dan Malaysia dan negara-negara Muslim lainnya... artinya mereka dapat menjadi tuan rumah, merekrut atau melatih para pejuang yang menentang pemerintah ini, serta memberikan akses ke industri ekstremis kekerasan dan keyakinan radikal mereka," ungkap Nishank.
Taliban secara terbuka menyatakan tidak akan mengizinkan organisasi teror untuk beroperasi di tanah mereka, dan beberapa analis percaya jumlah kelompok tersebut telah menurun.
Nasir Abas, mantan pemimpin Jemaah Islamiyah, kelompok di balik pengeboman Bali tahun 2002, mengatakan kepada Nikkei Asia bahwa masih ada individu atau kelompok di Indonesia yang yakin bahwa Afghanistan adalah Negara Islam dan karena itu mereka memiliki kewajiban bermigrasi dan tinggal di sana. "Kemudian ada yang masih memandang Afghanistan sebagai zona perang... dan ingin ke sana," papar dia.
Taliban juga menganggap diri mereka sebagai kekuatan politik permanen di Afghanistan dan percaya para pemimpin Muslim di negara lain harus berurusan dengan mereka.
“Taliban bertaruh bahwa elit konservatif, atau faksi di negara-negara Muslim yang mengadakan pemilihan dan memiliki partai politik, lebih mungkin untuk terlibat dengan mereka, dan memainkan permainan panjang yang akan melihat pertumbuhan elemen konservatif yang dapat menjalankan kekuasaan untuk mendukung Taliban,” ujar Nishank.
China, yang merupakan salah satu investor terbesar di Afghanistan dan yang sedang dirayu Taliban, tidak mungkin mengakui Taliban dalam waktu dekat, menurut Faran dari ITCT.
Sementara itu, Muhammad Najih, dosen Universitas Islam Negeri Jakarta menyebut secara teologi dan filsafat, umat Islam di Indonesia sangat berbeda dengan Taliban.
"Mayoritas Muslim Indonesia pada umumnya tidak setuju dengan konservatisme Taliban dalam cara mereka memperlakukan perempuan dan penggunaan kekerasan," papar Najih.
Dia menambahkan, “Meskipun mungkin ada beberapa dukungan untuk Taliban di Indonesia, itu sangat kecil."
(sya)