Sekte Mati Kelaparan untuk Bertemu Yesus Renggut 110 Orang, 2 Pendeta Diadili
loading...
A
A
A
NAIROBI - Dua pendeta dijadwalkan hadir pada Selasa (2/5/2023) di hadapan pengadilan Kenya . Mereka dianggap bertanggung jawab atas sekte "mati kelaparan untuk bertemu Yesus " yang hingga kini telah merenggut 110 orang pengikut mereka.
Ratusan jasad ditemukan terkubur dalam apa yang disebut media lokal sebagai "pembantaian hutan Shakahola".
Kenya tercatat sebagai negara sangat religius dengan Kristen sebagai mayoritas dan memiliki lebih dari 4.000 gereja yang terdaftar.
Kedua pendeta terkait sekte tersebut telah ditahan dan dijadwalkan hadir di pengadilan di kota yang berbeda pada hari Selasa.
Pendeta pertama, Paul Mackenzie Nthenge, yang mendirikan Good News International Church [Gereja Internasional Berita Baik] pada tahun 2003, akan diadili di pengadilan kota pesisir Malindi. Dia dituduh menghasut para pengikutnya agar "mati kelaparan untuk bertemu Yesus", di tempat sepi yang dekat dengan pos terdepan Shakahola.
Pendeta kedua, Yehezkiel Odero, seorang tele-evangelist yang kaya dan terkenal, dijadwalkan akan diadili di kota Mombasa setelah penangkapannya di Malindi pada hari Kamis pekan lalu.
Odero diduga melakukan pembunuhan, membantu bunuh diri, penculikan, radikalisasi, kejahatan terhadap kemanusiaan, kekejaman terhadap anak, penipuan dan pencucian uang.
Jaksa berusaha untuk menahannya selama 30 hari lagi, merujuk pada informasi yang kredibel yang menghubungkan mayat-mayat yang digali di Shakahola dengan kematian beberapa pengikut yang tidak bersalah dan rentan dari Odero's New Life Prayer Central and Church.
Mackenzie Nthenge mengumpulkan kawanannya di hutan di mana sekitar 30 kuburan massal ditemukan berisi lebih dari 100 mayat, kebanyakan anak-anak.
Mackenzie Nthenge, yang menyerahkan diri pada 14 April setelah polisi pertama kali memasuki hutan untuk mendapatkan informasi, diadili bersama 13 orang lainnya dengan tuduhan pembunuhan, penculikan, kekejaman terhadap anak-anak dan kejahatan lainnya sebagaimana tercantum dokumen pengadilan yang dilihat oleh AFP.
"Odero dan Nthenge berbagi sejarah investasi bisnis termasuk stasiun televisi yang digunakan untuk menyampaikan pesan radikal kepada pengikutnya," bunyi dokumen pengadilan.
Autopsi pertama dari Shakahola dilakukan hari Senin terhadap jasad sembilan anak dan satu wanita.
Pihak berwenang memastikan kelaparan sebagai penyebab kematian, meski beberapa korban mengalami sesak napas.
Pertanyaan publik bermunculan tentang bagaimana seorang pendeta dengan sejarah ekstremisme berhasil menghindari penegakan hukum meskipun profilnya menonjol.
Kasus kematian massal ini juga memaksa Presiden William Ruto mengintervensi gerakan keagamaan lokal Kenya.
"Minggu ini Ruto akan membentuk gugus tugas untuk menangani secara umum bagaimana kita mengatur kegiatan keagamaan di negara kita dan bagaimana kita memastikan kita tidak melanggar hak suci kebebasan beribadah, berpendapat dan berkeyakinan," kata Menteri Dalam Negeri Kithure Kata Kindiki.
"Tetapi pada saat yang sama kami tidak mengizinkan penjahat menyalahgunakan hak itu untuk menyakiti, membunuh, menyiksa, dan membuat orang kelaparan sampai mati," paparnya.
Ratusan jasad ditemukan terkubur dalam apa yang disebut media lokal sebagai "pembantaian hutan Shakahola".
Kenya tercatat sebagai negara sangat religius dengan Kristen sebagai mayoritas dan memiliki lebih dari 4.000 gereja yang terdaftar.
Kedua pendeta terkait sekte tersebut telah ditahan dan dijadwalkan hadir di pengadilan di kota yang berbeda pada hari Selasa.
Pendeta pertama, Paul Mackenzie Nthenge, yang mendirikan Good News International Church [Gereja Internasional Berita Baik] pada tahun 2003, akan diadili di pengadilan kota pesisir Malindi. Dia dituduh menghasut para pengikutnya agar "mati kelaparan untuk bertemu Yesus", di tempat sepi yang dekat dengan pos terdepan Shakahola.
Pendeta kedua, Yehezkiel Odero, seorang tele-evangelist yang kaya dan terkenal, dijadwalkan akan diadili di kota Mombasa setelah penangkapannya di Malindi pada hari Kamis pekan lalu.
Odero diduga melakukan pembunuhan, membantu bunuh diri, penculikan, radikalisasi, kejahatan terhadap kemanusiaan, kekejaman terhadap anak, penipuan dan pencucian uang.
Jaksa berusaha untuk menahannya selama 30 hari lagi, merujuk pada informasi yang kredibel yang menghubungkan mayat-mayat yang digali di Shakahola dengan kematian beberapa pengikut yang tidak bersalah dan rentan dari Odero's New Life Prayer Central and Church.
Mackenzie Nthenge mengumpulkan kawanannya di hutan di mana sekitar 30 kuburan massal ditemukan berisi lebih dari 100 mayat, kebanyakan anak-anak.
Mackenzie Nthenge, yang menyerahkan diri pada 14 April setelah polisi pertama kali memasuki hutan untuk mendapatkan informasi, diadili bersama 13 orang lainnya dengan tuduhan pembunuhan, penculikan, kekejaman terhadap anak-anak dan kejahatan lainnya sebagaimana tercantum dokumen pengadilan yang dilihat oleh AFP.
"Odero dan Nthenge berbagi sejarah investasi bisnis termasuk stasiun televisi yang digunakan untuk menyampaikan pesan radikal kepada pengikutnya," bunyi dokumen pengadilan.
Autopsi pertama dari Shakahola dilakukan hari Senin terhadap jasad sembilan anak dan satu wanita.
Pihak berwenang memastikan kelaparan sebagai penyebab kematian, meski beberapa korban mengalami sesak napas.
Pertanyaan publik bermunculan tentang bagaimana seorang pendeta dengan sejarah ekstremisme berhasil menghindari penegakan hukum meskipun profilnya menonjol.
Kasus kematian massal ini juga memaksa Presiden William Ruto mengintervensi gerakan keagamaan lokal Kenya.
"Minggu ini Ruto akan membentuk gugus tugas untuk menangani secara umum bagaimana kita mengatur kegiatan keagamaan di negara kita dan bagaimana kita memastikan kita tidak melanggar hak suci kebebasan beribadah, berpendapat dan berkeyakinan," kata Menteri Dalam Negeri Kithure Kata Kindiki.
"Tetapi pada saat yang sama kami tidak mengizinkan penjahat menyalahgunakan hak itu untuk menyakiti, membunuh, menyiksa, dan membuat orang kelaparan sampai mati," paparnya.
(mas)