Konflik Sudan Memanas: Militer Bombardir Basis RSF, 97 Warga Sipil Terbunuh
loading...
A
A
A
KHARTOUM - Angkatan Bersenjata Sudan membombardir basis pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) dalam perebutan kekuasaan berdarah. Sementara itu, kelompok dokter pada Senin (17/4/2023), mengonfirmasi bahwa 97 warga sipil tewas dan 365 lainnya terluka sejak pertempuran dimulai pekan lalu.
Pertempuran pecah pada hari Sabtu lalu antara unit-unit militer yang setia kepada Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, kepala Dewan Pemerintahan Transisi Sudan, dan kelompok paramiliter RSF yang dipimpin oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo alias Hemedti, yang merupakan wakil kepala Dewan.
Itu adalah konflik pertama sejak kedua jenderal itu bergabung untuk menggulingkan Presiden Omar Hassan al-Bashir pada 2019 dan dipicu oleh ketidaksepakatan atas integrasi RSF ke dalam militer sebagai bagian dari transisi menuju pemerintahan sipil.
Misi PBB di Sudan mengatakan Jenderal Burhan dan Jenderal Hemedti menyepakati jeda pertempuran selama tiga jam mulai pukul 16.00 sore waktu setempat untuk memungkinkan evakuasi kemanusiaan yang diusulkan oleh PBB.
Namun, kesepakatan itu diabaikan secara luas setelah periode relatif tenang yang singkat.
Saat malam tiba, penduduk melaporkan ledakan artileri dan deru pesawat tempur di distrik Kafouri di Bahri, yang menjadi basis RSF, di seberang sungai Nil dari Ibu Kota Sudan; Khartoum.
Saksi mata mengatakan kepada Reuters bahwa militer memperbarui serangan udara di basis RSF di Omdurman, kota kembar Khartoum di seberang Sungai Nil, dan distrik Kafouri dan Sharg el-Nil di Bahri yang berdekatan, membuat para serdadu RSF kocar-kacir.
Amerika Serikat, China, Rusia, Mesir, Arab Saudi, Dewan Keamanan PBB, Uni Eropa dan Uni Afrika telah mengimbau untuk segera mengakhiri permusuhan yang mengancam memperburuk ketidakstabilan di wilayah yang lebih luas yang sudah bergejolak.
Upaya tetangga dan badan regional untuk mengakhiri kekerasan diintensifkan pada hari Minggu. Mesir menawarkan untuk menengahi, dan Otoritas Antarpemerintah untuk Pembangunan Afrika berencana mengirim Presiden Kenya, Sudan Selatan dan Djibouti sesegera mungkin untuk mendamaikan kelompok-kelompok Sudan yang berkonflik.
Pecahnya pertempuran selama akhir pekan menjadi puncak dari meningkatnya ketegangan atas integrasi RSF ke dalam militer Sudan. Perselisihan tentang jadwal untuk itu telah menunda penandatanganan perjanjian yang didukung secara internasional dengan partai politik tentang transisi menuju demokrasi setelah kudeta militer tahun 2021.
Sebuah pernyataan oleh militer Sudan mengatakan ada bentrokan yang sedang berlangsung di sekitar markas militer di pusat Khartoum, dan mengatakan bahwa kelompok RSF menempatkan sniper di gedung-gedung, tetapi mereka "dipantau dan ditangani".
Sebelumnya pada hari Minggu, saksi mata dan penduduk mengatakan kepada Reuters bahwa militer telah melakukan serangan udara di barak dan basis RSF di wilayah Khartoum dan berhasil menghancurkan sebagian besar fasilitas paramiliter.
Mereka mengatakan militer juga telah merebut kembali kendali atas sebagian besar istana kepresidenan Khartoum dari RSF setelah kedua belah pihak mengeklaim mengendalikannya dan instalasi penting lainnya di Khartoum, tempat baku tembak artileri berat dan senjata berkecamuk hingga Minggu.
Anggota RSF tetap berada di dalam bandara internasional Khartoum yang dikepung oleh militer, tetapi menahan diri untuk tidak menyerang mereka guna menghindari kerusakan besar.
Tapi masalah utama, kata saksi mata dan penduduk, ditimbulkan oleh ribuan anggota RSF bersenjata berat yang dikerahkan di lingkungan Khartoum dan kota-kota lain, tanpa otoritas yang mampu mengendalikan mereka.
“Kami takut, kami tidak tidur selama 24 jam karena kebisingan dan rumah yang berguncang. Kami khawatir kehabisan air dan makanan, serta obat untuk ayah saya yang menderita diabetes,” kata Huda, seorang pemuda di Khartoum selatan kepada Reuters.
“Ada begitu banyak informasi palsu dan semua orang berbohong. Kami tidak tahu kapan ini akan berakhir, bagaimana ini akan berakhir," ujarnya.
Konfrontasi yang berlarut-larut dapat menjerumuskan Sudan ke dalam konflik yang meluas saat negara itu berjuang dengan kehancuran ekonomi dan kekerasan suku, menggagalkan upaya untuk bergerak menuju pemilu.
Persatuan Dokter Sudan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa setidaknya 97 warga sipil telah tewas dan 365 lainnya terluka.
Komite Sentral Dokter Sudan sebelumnya melaporkan sedikitnya 56 warga sipil tewas dan 595 orang termasuk serdadu terluka sejak pertempuran pecah.
Menurut Komite, puluhan personel militer tewas. Namun, informasi itu tanpa disertai jumlah spesifik karena kurangnya informasi langsung dari rumah sakit.
Program Pangan Dunia (WFP) PBB mengatakan untuk sementara menghentikan semua operasi di daerah-daerah yang dilanda kelaparan di Sudan setelah tiga pegawai Sudan tewas dalam pertempuran di Darfur Utara dan sebuah pesawat WFP terkena tembakan saat baku tembak di bandara Khartoum.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengutuk pembunuhan itu dan menyerukan pertanggungjawaban.
“Mereka yang bertanggung jawab harus diadili tanpa penundaan,” kata Guterres di Twitter. “Pekerja kemanusiaan adalah bukan target."
Volker Perthes, utusan khusus PBB untuk Sudan dan kepala misi negaranya, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa dia terkejut dengan laporan penembakan dan penjarahan yang berdampak pada PBB dan fasilitas kemanusiaan lainnya.
Pertempuran pecah pada hari Sabtu lalu antara unit-unit militer yang setia kepada Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, kepala Dewan Pemerintahan Transisi Sudan, dan kelompok paramiliter RSF yang dipimpin oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo alias Hemedti, yang merupakan wakil kepala Dewan.
Itu adalah konflik pertama sejak kedua jenderal itu bergabung untuk menggulingkan Presiden Omar Hassan al-Bashir pada 2019 dan dipicu oleh ketidaksepakatan atas integrasi RSF ke dalam militer sebagai bagian dari transisi menuju pemerintahan sipil.
Misi PBB di Sudan mengatakan Jenderal Burhan dan Jenderal Hemedti menyepakati jeda pertempuran selama tiga jam mulai pukul 16.00 sore waktu setempat untuk memungkinkan evakuasi kemanusiaan yang diusulkan oleh PBB.
Namun, kesepakatan itu diabaikan secara luas setelah periode relatif tenang yang singkat.
Saat malam tiba, penduduk melaporkan ledakan artileri dan deru pesawat tempur di distrik Kafouri di Bahri, yang menjadi basis RSF, di seberang sungai Nil dari Ibu Kota Sudan; Khartoum.
Saksi mata mengatakan kepada Reuters bahwa militer memperbarui serangan udara di basis RSF di Omdurman, kota kembar Khartoum di seberang Sungai Nil, dan distrik Kafouri dan Sharg el-Nil di Bahri yang berdekatan, membuat para serdadu RSF kocar-kacir.
Amerika Serikat, China, Rusia, Mesir, Arab Saudi, Dewan Keamanan PBB, Uni Eropa dan Uni Afrika telah mengimbau untuk segera mengakhiri permusuhan yang mengancam memperburuk ketidakstabilan di wilayah yang lebih luas yang sudah bergejolak.
Upaya tetangga dan badan regional untuk mengakhiri kekerasan diintensifkan pada hari Minggu. Mesir menawarkan untuk menengahi, dan Otoritas Antarpemerintah untuk Pembangunan Afrika berencana mengirim Presiden Kenya, Sudan Selatan dan Djibouti sesegera mungkin untuk mendamaikan kelompok-kelompok Sudan yang berkonflik.
Pecahnya pertempuran selama akhir pekan menjadi puncak dari meningkatnya ketegangan atas integrasi RSF ke dalam militer Sudan. Perselisihan tentang jadwal untuk itu telah menunda penandatanganan perjanjian yang didukung secara internasional dengan partai politik tentang transisi menuju demokrasi setelah kudeta militer tahun 2021.
Bentrokan Berdarah di Khartoum
Sebuah pernyataan oleh militer Sudan mengatakan ada bentrokan yang sedang berlangsung di sekitar markas militer di pusat Khartoum, dan mengatakan bahwa kelompok RSF menempatkan sniper di gedung-gedung, tetapi mereka "dipantau dan ditangani".
Sebelumnya pada hari Minggu, saksi mata dan penduduk mengatakan kepada Reuters bahwa militer telah melakukan serangan udara di barak dan basis RSF di wilayah Khartoum dan berhasil menghancurkan sebagian besar fasilitas paramiliter.
Mereka mengatakan militer juga telah merebut kembali kendali atas sebagian besar istana kepresidenan Khartoum dari RSF setelah kedua belah pihak mengeklaim mengendalikannya dan instalasi penting lainnya di Khartoum, tempat baku tembak artileri berat dan senjata berkecamuk hingga Minggu.
Anggota RSF tetap berada di dalam bandara internasional Khartoum yang dikepung oleh militer, tetapi menahan diri untuk tidak menyerang mereka guna menghindari kerusakan besar.
Tapi masalah utama, kata saksi mata dan penduduk, ditimbulkan oleh ribuan anggota RSF bersenjata berat yang dikerahkan di lingkungan Khartoum dan kota-kota lain, tanpa otoritas yang mampu mengendalikan mereka.
“Kami takut, kami tidak tidur selama 24 jam karena kebisingan dan rumah yang berguncang. Kami khawatir kehabisan air dan makanan, serta obat untuk ayah saya yang menderita diabetes,” kata Huda, seorang pemuda di Khartoum selatan kepada Reuters.
“Ada begitu banyak informasi palsu dan semua orang berbohong. Kami tidak tahu kapan ini akan berakhir, bagaimana ini akan berakhir," ujarnya.
Konfrontasi yang berlarut-larut dapat menjerumuskan Sudan ke dalam konflik yang meluas saat negara itu berjuang dengan kehancuran ekonomi dan kekerasan suku, menggagalkan upaya untuk bergerak menuju pemilu.
Korban Sipil Sudan Berjatuhan
Persatuan Dokter Sudan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa setidaknya 97 warga sipil telah tewas dan 365 lainnya terluka.
Komite Sentral Dokter Sudan sebelumnya melaporkan sedikitnya 56 warga sipil tewas dan 595 orang termasuk serdadu terluka sejak pertempuran pecah.
Menurut Komite, puluhan personel militer tewas. Namun, informasi itu tanpa disertai jumlah spesifik karena kurangnya informasi langsung dari rumah sakit.
Program Pangan Dunia (WFP) PBB mengatakan untuk sementara menghentikan semua operasi di daerah-daerah yang dilanda kelaparan di Sudan setelah tiga pegawai Sudan tewas dalam pertempuran di Darfur Utara dan sebuah pesawat WFP terkena tembakan saat baku tembak di bandara Khartoum.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengutuk pembunuhan itu dan menyerukan pertanggungjawaban.
“Mereka yang bertanggung jawab harus diadili tanpa penundaan,” kata Guterres di Twitter. “Pekerja kemanusiaan adalah bukan target."
Volker Perthes, utusan khusus PBB untuk Sudan dan kepala misi negaranya, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa dia terkejut dengan laporan penembakan dan penjarahan yang berdampak pada PBB dan fasilitas kemanusiaan lainnya.
(mas)