ICC Ingin Tangkap Putin atas Kejahatan Perang, Mengapa Bush Tidak?

Sabtu, 18 Maret 2023 - 14:43 WIB
loading...
ICC Ingin Tangkap Putin atas Kejahatan Perang, Mengapa Bush Tidak?
Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag perintahkan penangkapan Presiden Rusia Vladimir Putin atas dugaan kejahatan perang di Ukraina. Namun ICC tak menindak mantan presiden AS George W Bush atas invasi ke Irak secara ilegal. Foto/Kremlin.ru
A A A
WASHINGTON - Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di Den Haag pada hari Jumat mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Presiden Rusia Vladimir Putin atas dugaan kejahatan perang di Ukraina . Surat itu juga mengincar Komisaris Hak Anak di Kantor Presiden Rusia, Maria Lvova-Belova.

Kubu sosialis di Amerika mengkritisi langkah ICC dengan mempertanyakan mengapa tidak melakukan hal serupa pada pemimpin Amerika, termasuk George W Bush, atas dugaan kejahatan perang di berbagai negara yang diinvasi.

Joseph Kishore, sekretaris nasional Partai Kesetaraan Sosialis di Amerika Serikat, menulis kritik panjangnya terhadap langkah ICC di laman World Socialist Web Site (WSWS) pada Sabtu (18/3/2023).

Kishore menekankan bahwa status Rusia, AS, dan juga Ukraina sama, yakni bukan anggota Statuta Roma yang membentuk ICC.



Dia menilai langkah ICC terhadap Putin adalah politis. "Itu terjadi ketika kekuatan AS dan NATO mengatur eskalasi perang besar-besaran melawan Rusia atas Ukraina, dan di tengah pernyataan yang semakin terbuka dari pejabat pemerintah [AS] bahwa tujuan perang adalah perubahan rezim di Moskow," tulis Kishore.

Tuduhan spesifik yang diajukan terhadap Putin dan Lvova-Belova tercantum dalam Pasal 8 Statuta Roma, yang diadopsi pada tahun 1998, yang mencakup pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa dan pelanggaran serius lainnya terhadap hukum internasional.

Surat perintah penangkapan itu secara khusus menuduh Putin dan Lvova-Belova diduga melakukan kejahatan perang. "Berupa deportasi penduduk (anak-anak) yang tidak sah dan pemindahan penduduk (anak-anak) yang tidak sah dari wilayah pendudukan (di) Ukraina ke Federasi Rusia," bunyi pernyataan ICC saat mengeluarkan surat perintah tersebut.

Surat perintah itu disetujui oleh hakim di ICC dan diumumkan oleh Karim A A Khan, seorang pengacara Inggris dan kepala jaksa ICC. "Ini mengikuti propaganda berbulan-bulan, yang dipelopori oleh pemerintahan Biden, menuduh kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida di pihak pemerintah Rusia," lanjut Kishore.



Sementara keberadaan surat perintah itu diumumkan, bukti yang mendasarinya tidak dipaparkan. Menurut Kishore, klaim spesifik tentang "deportasi tidak sah" terhadap anak-anak Ukraina telah dipromosikan di media AS, termasuk New York Times, berdasarkan tuduhan yang tidak berdasar oleh pemerintahan Biden dan pemerintah Ukraina.

Sebuah studi yang sering dikutip, diterbitkan oleh Universitas Yale pada bulan Februari, mengeklaim bahwa 6.000 anak telah dipindahkan ke Rusia. Lembaga yang melakukan penelitian tersebut adalah bagian dari “Conflict Observatory” yang didukung pemerintah AS, yang didirikan untuk tujuan memproduksi propaganda perang.

Menurut Kishore, dana awal USD6 juta untuk "observatorium" disediakan oleh "Biro Operasi Konflik dan Stabilisasi" Departemen Luar Negeri AS, yang menyatakan bahwa misinya adalah untuk mengantisipasi, mencegah, dan menanggapi konflik yang merusak kepentingan nasional AS.

Menurutnya, dengan standar objektif apa pun, setiap pemerintahan AS dalam ingatan bersalah atas kejahatan yang jauh lebih buruk daripada yang dituduhkan terhadap Putin--dari pengeboman nuklir dua kota di Jepang pada akhir Perang Dunia II, meratakan Korea Utara antara 1950-1953, hingga pembantaian massal dan pembakaran pirokimia dalam Perang Vietnam yang dipimpin AS.

AS, lanjut Kishore, yang memimpin kampanye tuduhan kejahatan perang terhadap Putin bertanggung jawab atas penyiksaan di penjara Abu Ghraib di Irak, pengeboman pesta pernikahan dan pertemuan sipil lainnya di Afghanistan, penyiksaan di penjara Teluk Guantanamo, dan pembunuhan warga sipil dengan drone di negara-negara yang diserang.

"Karena masalah penganiayaan anak diangkat dalam surat perintah penangkapan [Putin], kita harus mengingat kembali pernyataan terkenal duta besar AS untuk PBB, Madeleine Albright, yang menyatakan pada tahun 1996, mengacu pada setengah juta kematian anak-anak akibat sanksi AS terhadap Irak. Kami pikir harganya sepadan," kritik Kishore.

Amerika Serikat bahkan tidak mengakui yurisdiksi ICC karena khawatir bahwa ICC pada suatu saat dapat digunakan untuk mendakwa dan menuntut pejabat pemerintah Amerika.

Statuta Roma ICC ditandatangani oleh Bill Clinton, tapi tidak pernah dikirimkan ke Senat untuk diratifikasi. "Pada tahun 2002, ketika para pengacara Amerika menyusun memorandum yang dimaksudkan untuk membenarkan "perang pendahuluan" dan penyiksaan, Presiden George W Bush memberi tahu PBB bahwa AS tidak lagi bermaksud untuk meratifikasi undang-undang tersebut," papar Kishore.

AS, di bawah kepemimpinan Bush, bersama sekutunya telah menginvasi Irak atas tuduhan kepemilikan sejata pemusnah massal yang ternyata palsu. Invasi yang berujung pada penggulingan Presiden Saddam Hussein ini menyebabkan kekacauan di Irak. ICC tidak pernah mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Bush dan sekutunya.

Pada tahun 2020, pemerintahan Donald Trump mengumumkan akan memberlakukan sanksi ekonomi dan pembatasan perjalanan pada penyelidik ICC setelah mereka mulai menyelidiki tuduhan kejahatan perang, termasuk penyiksaan, pemerkosaan, dan kekerasan seksual, oleh militer AS di Afghanistan dan di pusat penyiksaan CIA. Jaksa baru ICC, Khan, membatalkan penyelidikan terhadap penyiksaan oleh AS pada 2021, tak lama setelah dia diangkat.

"Tujuan utama dari surat perintah tersebut adalah untuk memicu serangan propaganda untuk eskalasi perang AS-NATO yang sangat besar melawan Rusia. Ini jelas waktunya bertepatan dengan kunjungan Presiden China Xi Jingping ke Moskow, mulai Senin, yang bertujuan untuk membahas proposal penyelesaian perang yang dinegosiasikan, termasuk gencatan senjata segera," imbuh Kishore.
(min)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1678 seconds (0.1#10.140)