Sergei Lavrov: AS Sedang Perang dengan Rusia, Ada Ratusan Tentara Amerika di Ukraina
Jum'at, 30 Desember 2022 - 16:58 WIB
MOSKOW - Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia Sergei Lavrov secara mengejutkan mengeklaim bahwa negaranya sebenarnya sedang perang dengan Amerika Serikat (AS) . Dia bahkan menyebut ada ratusan tentara Amerika yang beroperasi di Ukraina .
Dalam wawancara dengan Channel One, diplomat top Moskow ini mengatakan "kolektif Barat", yang dipimpin oleh AS, telah menyatakan perang terhadap Rusia pada tahun 2014.
Dia membingkai invasi Kremlin ke Ukraina yang sedang berlangsung saat ini sebagai salah satu bagian dari konflik yang lebih luas. Menurutnya, Rusia sebenarnya korban agresi Barat jangka panjang.
"Kolektivitas Barat, yang dipimpin oleh kekuatan nuklir—Amerika Serikat—sedang berperang dengan kami," kata Lavrov, seperti dilansir kantor berita TASS, Jumat (30/12/2022).
"Perang ini telah diumumkan kepada kami sejak lama, setelah kudeta di Ukraina yang didalangi oleh Amerika Serikat dan, pada kenyataannya, didukung oleh Uni Eropa," kata Lavrov, mengacu pada Revolusi Maidan tahun 2014—pemberontakan populer yang menggulingkan Presiden Ukraina pro-Kremlin Viktor Yanukovych.
Moskow mengeklaim pemberontakan 2014—di mana lebih dari 100 pengunjuk rasa anti-pemerintah tewas—adalah kudeta yang direncanakan dan dilaksanakan oleh badan intelijen AS dan Eropa.
Yanukovych dipaksa mundur dari jabatannya oleh koalisi luas kelompok politik dan aktivis setelah dia secara tak terduga meninggalkan asosiasi politik dan perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa demi hubungan yang lebih dekat dengan Rusia dan Uni Ekonomi Eurasia.
Yanukovych akhirnya melarikan diri dari Ukraina dan berlindung di Rusia. Mantan presiden itu disebut-sebut sebagai sosok yang akan didukung Moskow untuk memimpin rezim boneka di Kiev jika invasi Rusia yang sekarang ini berhasil.
Segera setelah penggulingan Yanukovych, pasukan Rusia menduduki Semenanjung Crimea dan sebagian wilayah Donbas timur, memicu konflik berkepanjangan yang menjadi dasar invasi Moskow pada Februari.
Kremlin telah mencoba membingkai konflik tersebut sebagai perang defensif melawan NATO.
Dalam wawancara, Lavrov berbicara panjang lebar tentang keterlibatan mendalam Washington dalam konflik di Ukraina, meski para pemimpin Amerika berulang kali menjamin bahwa personel AS tidak akan berperan dalam pertempuran di negara itu.
"Puluhan, bahkan mungkin ratusan tentara Amerika berada di Ukraina, mereka ada di sana bahkan sebelum kudeta [2014],” kata Menlu Larov.
"Perwira CIA menempati setidaknya satu lantai di Dinas Keamanan Ukraina," imbuh dia.
Terkait upaya pembicaraan perdamaian yang tidak ada kemajuannya, Lavrov menyalahkan AS.
"Sekarang semua orang berbicara lagi tentang perlunya pembicaraan, tetapi mereka segera menuduh kami menolak untuk bernegosiasi, meskipun [Presiden Rusia Vladimir] Putin telah berulang kali mengatakan bahwa tidak ada proposal yang serius," kata Lavrov.
"Contoh pertemuan Istanbul menunjukkan dengan jelas bahwa bahkan saat itu AS mengatakan kepada Kiev untuk menahan diri: 'Belum. Anda belum menghabiskan Rusia sampai pada tingkat yang kami, orang Amerika, rasa cukup'," imbuh dia, mengacu pada putaran terakhir pembicaraan diadakan di Turki.
Lihat Juga: Israel Lebih Suka Trump atau Kamala Harris jadi Presiden AS ? Simak Penjelasan dan Alasannya
Dalam wawancara dengan Channel One, diplomat top Moskow ini mengatakan "kolektif Barat", yang dipimpin oleh AS, telah menyatakan perang terhadap Rusia pada tahun 2014.
Dia membingkai invasi Kremlin ke Ukraina yang sedang berlangsung saat ini sebagai salah satu bagian dari konflik yang lebih luas. Menurutnya, Rusia sebenarnya korban agresi Barat jangka panjang.
"Kolektivitas Barat, yang dipimpin oleh kekuatan nuklir—Amerika Serikat—sedang berperang dengan kami," kata Lavrov, seperti dilansir kantor berita TASS, Jumat (30/12/2022).
"Perang ini telah diumumkan kepada kami sejak lama, setelah kudeta di Ukraina yang didalangi oleh Amerika Serikat dan, pada kenyataannya, didukung oleh Uni Eropa," kata Lavrov, mengacu pada Revolusi Maidan tahun 2014—pemberontakan populer yang menggulingkan Presiden Ukraina pro-Kremlin Viktor Yanukovych.
Moskow mengeklaim pemberontakan 2014—di mana lebih dari 100 pengunjuk rasa anti-pemerintah tewas—adalah kudeta yang direncanakan dan dilaksanakan oleh badan intelijen AS dan Eropa.
Yanukovych dipaksa mundur dari jabatannya oleh koalisi luas kelompok politik dan aktivis setelah dia secara tak terduga meninggalkan asosiasi politik dan perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa demi hubungan yang lebih dekat dengan Rusia dan Uni Ekonomi Eurasia.
Yanukovych akhirnya melarikan diri dari Ukraina dan berlindung di Rusia. Mantan presiden itu disebut-sebut sebagai sosok yang akan didukung Moskow untuk memimpin rezim boneka di Kiev jika invasi Rusia yang sekarang ini berhasil.
Segera setelah penggulingan Yanukovych, pasukan Rusia menduduki Semenanjung Crimea dan sebagian wilayah Donbas timur, memicu konflik berkepanjangan yang menjadi dasar invasi Moskow pada Februari.
Kremlin telah mencoba membingkai konflik tersebut sebagai perang defensif melawan NATO.
Dalam wawancara, Lavrov berbicara panjang lebar tentang keterlibatan mendalam Washington dalam konflik di Ukraina, meski para pemimpin Amerika berulang kali menjamin bahwa personel AS tidak akan berperan dalam pertempuran di negara itu.
"Puluhan, bahkan mungkin ratusan tentara Amerika berada di Ukraina, mereka ada di sana bahkan sebelum kudeta [2014],” kata Menlu Larov.
"Perwira CIA menempati setidaknya satu lantai di Dinas Keamanan Ukraina," imbuh dia.
Terkait upaya pembicaraan perdamaian yang tidak ada kemajuannya, Lavrov menyalahkan AS.
"Sekarang semua orang berbicara lagi tentang perlunya pembicaraan, tetapi mereka segera menuduh kami menolak untuk bernegosiasi, meskipun [Presiden Rusia Vladimir] Putin telah berulang kali mengatakan bahwa tidak ada proposal yang serius," kata Lavrov.
"Contoh pertemuan Istanbul menunjukkan dengan jelas bahwa bahkan saat itu AS mengatakan kepada Kiev untuk menahan diri: 'Belum. Anda belum menghabiskan Rusia sampai pada tingkat yang kami, orang Amerika, rasa cukup'," imbuh dia, mengacu pada putaran terakhir pembicaraan diadakan di Turki.
Lihat Juga: Israel Lebih Suka Trump atau Kamala Harris jadi Presiden AS ? Simak Penjelasan dan Alasannya
(min)
tulis komentar anda