PM Belanda Minta Maaf atas 250 Tahun Perbudakan
Selasa, 20 Desember 2022 - 05:00 WIB
DEN HAAG - Perdana Menteri Belanda Mark Rutte pada Senin (19/12/2022) secara resmi meminta maaf atas 250 tahun keterlibatan Belanda dalam perbudakan . Ia menyebutnya sebagai "kejahatan terhadap kemanusiaan".
Permintaan maaf itu datang hampir 150 tahun setelah berakhirnya perbudakan di koloni-koloni luar negeri negara Eropa itu, termasuk Suriname dan pulau-pulau seperti Curacao dan Aruba di Karibia dan Indonesia di Timur.
Di bekas koloni Belanda pertama yang bereaksi, Perdana Menteri Aruba Evelyn Wever-Croes menerima permintaan maaf tersebut. Tetapi negara lain, seperti pulau Sint Maarten mengatakan tidak akan menerimanya.
"Hari ini atas nama pemerintah Belanda, saya meminta maaf atas tindakan negara Belanda di masa lalu," kata Rutte dalam pidatonya, mengulangi permintaan maaf dalam bahasa Inggris, Papiamento dan Sranan Tongo, bahasa yang digunakan di kepulauan Karibia dan di Suriname.
"Negara Belanda di Belanda memikul tanggung jawab atas penderitaan besar yang menimpa orang-orang yang diperbudak dan keturunan mereka," kata Rutte kepada audiensi di Arsip Nasional di Den Haag, seperti dikutip dari Reuters.
"Kami, yang hidup di sini dan sekarang, hanya bisa mengakui dan mengutuk perbudakan dalam istilah yang paling jelas sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan," tambahnya.
Menteri Belanda telah melakukan perjalanan ke tujuh bekas koloni di Amerika Selatan dan Karibia untuk acara tersebut.
Wakil Perdana Menteri Belanda Sigrid Kaag mengatakan pada kunjungan resmi ke Suriname pekan lalu bahwa "proses" akan dimulai menuju "momen lain yang sangat penting pada 1 Juli tahun depan".
Keturunan perbudakan Belanda kemudian akan merayakan 150 tahun pembebasan dari perbudakan dalam perayaan tahunan yang disebut "Keti Koti" (Memutus Rantai) di Suriname.
Namun rencana tersebut telah menimbulkan kontroversi, dengan kelompok-kelompok dan beberapa negara yang terkena dampak mengkritik tindakan tersebut sebagai langkah terburu-buru, dan mengatakan kurangnya konsultasi oleh Belanda merupakan sikap kolonial.
Rutte dalam pidatonya pada Senin mengatakan bahwa memilih momen yang tepat adalah "masalah yang rumit". "Tidak ada satu waktu yang tepat untuk semua orang, tidak satu kata yang tepat untuk semua orang, tidak satu tempat yang tepat untuk semua orang," katanya.
Permintaan maaf itu datang hampir 150 tahun setelah berakhirnya perbudakan di koloni-koloni luar negeri negara Eropa itu, termasuk Suriname dan pulau-pulau seperti Curacao dan Aruba di Karibia dan Indonesia di Timur.
Di bekas koloni Belanda pertama yang bereaksi, Perdana Menteri Aruba Evelyn Wever-Croes menerima permintaan maaf tersebut. Tetapi negara lain, seperti pulau Sint Maarten mengatakan tidak akan menerimanya.
"Hari ini atas nama pemerintah Belanda, saya meminta maaf atas tindakan negara Belanda di masa lalu," kata Rutte dalam pidatonya, mengulangi permintaan maaf dalam bahasa Inggris, Papiamento dan Sranan Tongo, bahasa yang digunakan di kepulauan Karibia dan di Suriname.
"Negara Belanda di Belanda memikul tanggung jawab atas penderitaan besar yang menimpa orang-orang yang diperbudak dan keturunan mereka," kata Rutte kepada audiensi di Arsip Nasional di Den Haag, seperti dikutip dari Reuters.
"Kami, yang hidup di sini dan sekarang, hanya bisa mengakui dan mengutuk perbudakan dalam istilah yang paling jelas sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan," tambahnya.
Menteri Belanda telah melakukan perjalanan ke tujuh bekas koloni di Amerika Selatan dan Karibia untuk acara tersebut.
Wakil Perdana Menteri Belanda Sigrid Kaag mengatakan pada kunjungan resmi ke Suriname pekan lalu bahwa "proses" akan dimulai menuju "momen lain yang sangat penting pada 1 Juli tahun depan".
Keturunan perbudakan Belanda kemudian akan merayakan 150 tahun pembebasan dari perbudakan dalam perayaan tahunan yang disebut "Keti Koti" (Memutus Rantai) di Suriname.
Namun rencana tersebut telah menimbulkan kontroversi, dengan kelompok-kelompok dan beberapa negara yang terkena dampak mengkritik tindakan tersebut sebagai langkah terburu-buru, dan mengatakan kurangnya konsultasi oleh Belanda merupakan sikap kolonial.
Rutte dalam pidatonya pada Senin mengatakan bahwa memilih momen yang tepat adalah "masalah yang rumit". "Tidak ada satu waktu yang tepat untuk semua orang, tidak satu kata yang tepat untuk semua orang, tidak satu tempat yang tepat untuk semua orang," katanya.
(esn)
tulis komentar anda