Rencana Israel Caplok Tepi Barat Akan Picu Intifada Ketiga
Minggu, 05 Juli 2020 - 13:03 WIB
YERUSALEM - Penasihat Presiden Palestina mewanti-wanti Israel yang berencana untuk mencaplokTepi Barat yang diduduki. Menurutnya, jika Tel Aviv melanjutkan rencananya tersebut maka warga Palestina akan melakukan pemberontakan habis-habisan yang didukung oleh sebagian dunia Arab.
"Ketika segala sesuatunya bergejolak dan menjadi intifada sepenuhnya, kita akan melihat kombinasi kekuatan antara Gaza dan Tepi Barat," ujar Nabil Shaath, penasihat senior Presiden Mahmoud Abbas, pada France24 yang dinukil Russia Today, Minggu (5/7/2020).
"Dan pemberontakan baru kemungkinan akan menerima dukungan keuangan luas dari dunia Arab," imbuh pejabat itu.
Minggu ini, dua faksi yang saling bersaing di Palestina yaitu Hamas yang memerintah Jalur Gaza, dan Fatah, yang bertanggung jawab atas Tepi Barat berjanji melakukan kampanye bersama melawan rencana aneksasi Israel. (Baca: Rencana Israel Caplok Tepi Barat Membuat Fatah dan Hamas Bersatu )
Sebelumnya, Abbas menarik diri dari perjanjian keamanan dengan Israel atas perampasan tanah yang akan datang, menghilangkan hambatan hukum yang menghalangi mereka yang mau mengambil bagian dalam kekerasan anti-Israel. (Baca: Abbas Umumkan Kesepakatan Palestina dengan Israel dan AS Berakhir )
Sementara koeksistensi Israel dan Palestina tidak pernah secara khusus damai, setiap gejolak besar atau pemberontakan berkelanjutan disebut sebagai 'intifada.' Yang pertama berlangsung dari 1987 hingga 1993, dan mengakibatkan kematian 2.000 warga Palestina dan hampir 300 warga Israel, baik warga sipil maupun personel keamanan. Yang kedua, yang terjadi pada awal 2000-an, bahkan lebih berdarah, meninggalkan 3.000 warga Palestina dan lebih dari 1.000 orang Israel tewas.
Rencana aneksasi, diperjuangkan oleh Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, menggabungkan semua pemukiman Yahudi di Tepi Barat yang diduduki ke dalam Israel. Lebih dari 460.000 orang Yahudi tinggal di permukiman-permukiman ini, yang dibangun dengan melanggar hukum internasional, dan aneksasi akan melucuti orang-orang Palestina dari sebagian besar wilayah mereka.
Rencana itu diharapkan akan digerakkan pada 1 Juli, tetapi tanggal targetnya terlewatkan, karena Israel tidak dapat mendapatkan persetujuan formal untuk perampasan tanahnya dari Washington.
Sekutu terdekat Israel, Amerika Serikat (AS), menyatakan bahwa itu adalah 'pilihan' Israel apakah akan mencaplok Wilayah Palestina atau tidak dan tidak secara terbuka mendukung rencana tersebut. Namun, sebagian besar komunitas internasional, sangat menolak aneksasi, bahkan sekutu AS - yaitu Uni Eropa - mengancam sanksi terhadap Tel Aviv. (Baca: Eropa Tidak Akan Akui Aneksasi Israel Atas Tepi Barat )
"Ketika segala sesuatunya bergejolak dan menjadi intifada sepenuhnya, kita akan melihat kombinasi kekuatan antara Gaza dan Tepi Barat," ujar Nabil Shaath, penasihat senior Presiden Mahmoud Abbas, pada France24 yang dinukil Russia Today, Minggu (5/7/2020).
"Dan pemberontakan baru kemungkinan akan menerima dukungan keuangan luas dari dunia Arab," imbuh pejabat itu.
Minggu ini, dua faksi yang saling bersaing di Palestina yaitu Hamas yang memerintah Jalur Gaza, dan Fatah, yang bertanggung jawab atas Tepi Barat berjanji melakukan kampanye bersama melawan rencana aneksasi Israel. (Baca: Rencana Israel Caplok Tepi Barat Membuat Fatah dan Hamas Bersatu )
Sebelumnya, Abbas menarik diri dari perjanjian keamanan dengan Israel atas perampasan tanah yang akan datang, menghilangkan hambatan hukum yang menghalangi mereka yang mau mengambil bagian dalam kekerasan anti-Israel. (Baca: Abbas Umumkan Kesepakatan Palestina dengan Israel dan AS Berakhir )
Sementara koeksistensi Israel dan Palestina tidak pernah secara khusus damai, setiap gejolak besar atau pemberontakan berkelanjutan disebut sebagai 'intifada.' Yang pertama berlangsung dari 1987 hingga 1993, dan mengakibatkan kematian 2.000 warga Palestina dan hampir 300 warga Israel, baik warga sipil maupun personel keamanan. Yang kedua, yang terjadi pada awal 2000-an, bahkan lebih berdarah, meninggalkan 3.000 warga Palestina dan lebih dari 1.000 orang Israel tewas.
Rencana aneksasi, diperjuangkan oleh Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, menggabungkan semua pemukiman Yahudi di Tepi Barat yang diduduki ke dalam Israel. Lebih dari 460.000 orang Yahudi tinggal di permukiman-permukiman ini, yang dibangun dengan melanggar hukum internasional, dan aneksasi akan melucuti orang-orang Palestina dari sebagian besar wilayah mereka.
Rencana itu diharapkan akan digerakkan pada 1 Juli, tetapi tanggal targetnya terlewatkan, karena Israel tidak dapat mendapatkan persetujuan formal untuk perampasan tanahnya dari Washington.
Sekutu terdekat Israel, Amerika Serikat (AS), menyatakan bahwa itu adalah 'pilihan' Israel apakah akan mencaplok Wilayah Palestina atau tidak dan tidak secara terbuka mendukung rencana tersebut. Namun, sebagian besar komunitas internasional, sangat menolak aneksasi, bahkan sekutu AS - yaitu Uni Eropa - mengancam sanksi terhadap Tel Aviv. (Baca: Eropa Tidak Akan Akui Aneksasi Israel Atas Tepi Barat )
(ber)
tulis komentar anda