Jurnalis CNN Ogah Pakai Jilbab, Presiden Iran Menolak Diwawancarai

Jum'at, 23 September 2022 - 08:33 WIB
Presiden Iran Ebrahim Raisi menolak diwawancarai setelah jurnalis CNN menolak mengenakan jilbab. Foto/Kolase/Sindonews
NEW YORK - Presiden Iran Ebrahim Raisi membatalkan wawancara dengan koresponden senior CNN Christiane Amanpour setelah sang jurnalis menolak mengenakan jilbab atas permintaannya.

Dalam serangkaian tweet, kepala pembawa berita internasional CNN itu mengatakan dia telah dijadwalkan untuk bertemu Raisi di sela-sela Sidang Umum PBB, dan telah merencanakan untuk bertanya kepadanya tentang berbagai topik, termasuk pecahnya protes di Iran setelah peristiwa kematian Mahsa Amini (22) dalam tahanan yang ditangkap dan dipukuli oleh “polisi moral” karena melanggar undang-undang jilbab.

“Ini akan menjadi wawancara pertama Presiden Raisi di tanah AS, selama kunjungannya ke NY untuk UNGA. Setelah berminggu-minggu perencanaan dan delapan jam menyiapkan peralatan penerjemah, lampu, dan kamera, kami siap. Tapi tidak ada tanda-tanda Presiden Raisi,” cuit Amanpour, seperti dikutip dari The Guardian, Jumat (23/9/2022).

Empat puluh menit setelah wawancara dijadwalkan untuk dimulai, tulisnya, seorang ajudan mendekati Amanpour dan mengatakan kepadanya bahwa Raisi menyarankan dia memakai jilbab, karena ini bulan suci Muharram dan Safar.

"Kami berada di New York, di mana tidak ada hukum atau tradisi mengenai jilbab," ia menjelaskan.



Dia menambahkan bahwa tidak ada presiden Iran lainnya yang mengharuskan dia mengenakan jilbab ketika dia mewawancarai mereka di luar Iran.

“Ajudan itu menjelaskan bahwa wawancara tidak akan terjadi jika saya tidak mengenakan jilbab. Dia mengatakan itu 'masalah rasa hormat', dan merujuk pada 'situasi di Iran' - menyinggung protes yang melanda negara itu," jelas Amanpour.

“Sekali lagi, saya mengatakan bahwa saya tidak dapat menyetujui kondisi yang belum pernah terjadi sebelumnya dan tidak terduga ini,” Amanpour bersikukuh pada sikapnya.

Akibatnya, Amanpour dan timnya pergi dan wawancara tidak dilakukan. Sebuah gambar yang diposting Amanpour di akhir tweetnya menunjukkan dia mengenakan setelan putih sambil duduk di seberang kursi kosong saat dia menunggu presiden Iran, rambutnya terlihat terbuka tanpa jilbab.

Penolakan jurnalis keturunan Inggris-Iran untuk mengenakan jilbab itu disambut dengan pujian luas secara online.

“Bagus untuk @amanpour. Hari-hari di mana para pejabat Iran mengharuskan wartawan dan pejabat perempuan untuk mengenakan jilbab untuk mendapatkan wawancara dan pertemuan harus berakhir. Hijab yang dipaksakan mencerminkan ideologi kuno dan tidak toleran, bukan budaya,” tweet Karim Sadjadpour, seorang analis kebijakan Iran-Amerika di Carnegie Endowment, sebuah thinktank yang berbasis di Washington.

Pembawa acara radio NPR Esther Ciammachilli me-retweet foto Amanpour, dan menulis: “Apa yang mereka maksud ketika mereka mengatakan, ‘Sebuah gambar bernilai seribu kata.’ Integritas Christiane Amanpour sepenuhnya utuh.”

Bahman Kalbasi, koresponden New York dan PBB untuk layanan BBC Persia, menggemakan sentimen serupa.

“Raisi tidak muncul untuk wawancara dengan CNN setelah Christiane Amanpour menolak mengenakan jilbab rezim. Presiden rezim Iran tampaknya berpikir dia bisa mengenakan jilbab di NYC juga. #MahsaAmini,” tweet Kalbasi.

Raisi berulang kali ditanya tentang kematian Amini selama briefing dengan wartawan pada Kamis pagi di mana para pejabat Iran awalnya mencoba membatasi topik negosiasi kesepakatan nuklir Iran dengan barat.

Raisi mengulangi klaim resmi bahwa Amini telah meninggal karena serangan jantung atau stroke saat dalam tahanan dan mengatakan kematian serupa dalam tahanan telah terjadi di AS dan Inggris.



Sedikitnya tiga perempuan yang hadir dalam pengarahan itu tidak mengenakan jilbab. Seorang reporter New York Times dilarang mengikuti pengarahan karena melaporkan bahwa pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei sakit parah.

Dalam sebuah pernyataan yang dirilis Kamis, juru bicara New York Times mengatakan: “Media pemerintah Iran telah melaporkan komentar yang dibuat oleh seorang pejabat bahwa seorang koresponden New York Times harus 'mengakui kesalahan' dalam liputannya tentang Ayatollah Ali Khamenei untuk menghadiri konferensi pers dengan Presiden Raisi.”

“Kami mendukung pelaporan kami oleh Farnaz Fassihi tentang kesehatan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, yang dikuatkan oleh sumber-sumber senior. Pejabat Iran diberi kesempatan untuk mengomentari cerita kami dan memilih untuk tidak menanggapi,” tambah juru bicara itu.



Setidaknya 31 orang tewas dalam enam hari aksi protes sejak kematian Amini. Wanita Iran telah turun ke jalan dan internet untuk membakar jilbab mereka dan memotong rambut mereka.

“Hukum yang menginjak-injak martabat manusia bukanlah hukum yang normal,” kata seorang pengunjuk rasa perempuan.

(ian)
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More