Situasi Dunia Memanas, Belanja Senjata Nuklir Global Meroket Tajam
Kamis, 16 Juni 2022 - 19:01 WIB
WASHINGTON - Belanja pengeluaran senjata atom global mengalami peningkatan tajam pada 2021 menurut laporan terbaru Kampanye Internasional untuk Menghapus Senjata Nuklir (ICAN) pada Selasa (14/6/2022).
Hanya dalam satu tahun, sembilan negara bersenjata nuklir yakni Amerika Serikat (AS), China, Rusia, Prancis, India, Israel, Korea Utara (Korut), Pakistan, dan Inggris menghabiskan total USD82,4 miliar untuk meningkatkan dan memelihara perkiraan 13.000 senjata nuklir mereka.
Jumlah tersebut menandai kenaikan 9% dari tahun sebelumnya, menurut perkiraan ICAN.
Laporan tersebut, yang merupakan ringkasan tahunan ketiga ICAN tentang pengeluaran nuklir global dan berjudul “Squandered: 2021 Global Nuclear Weapons Spending,” menyoroti secara total, dunia menghabiskan gabungan USD156.842 setiap menit pada 2021 untuk senjata pemusnah massal.
Situasi itu terjadi di tengah pandemi yang sedang berlangsung dan meningkatnya kerawanan pangan global.
ICAN merinci dengan tepat berapa banyak yang dihabiskan masing-masing dari sembilan negara untuk senjata atom, daftar perusahaan yang diuntungkan, dan pelobi yang disewa untuk mempertahankan bisnis senjata nuklir.
Amerika Serikat ternyata menjadi pembelanja terbesar untuk persenjataan nuklir pada 2021, setelah menghabiskan USD44,2 miliar, empat kali lebih banyak daripada yang berikutnya.
China adalah satu-satunya negara lain yang melampaui angka sepuluh miliar dolar, dengan pengeluaran USD11,7 miliar, sementara Rusia memegang tempat ketiga dengan USD8,6 miliar.
Inggris menghabiskan USD6,8 miliar, Prancis USD5,9 miliar, dan negara-negara seperti India, Israel, dan Pakistan masing-masing menghabiskan sedikit lebih dari USD1 miliar untuk persenjataan mereka pada 2021.
Di tempat terakhir adalah Korea Utara, yang menghabiskan USD642 juta untuk persenjataan nuklir mereka.
Laporan tersebut terus mempertanyakan mengapa dan bagaimana negara-negara ini menghabiskan begitu banyak untuk persenjataan nuklir di tengah berbagai masalah global seperti kekurangan pangan dan energy.
Namun laporan itu sampai pada kesimpulan bahwa pendorong terbesar pengeluaran senjata nuklir bukanlah masalah keamanan, melainkan bisnis.
Menurut ICAN, para kontraktor militer AS tertentu diduga menghasilkan banyak uang dari kontrak terkait senjata nuklir.
Perusahaan-perusahaan ini menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk menyewa pelobi dan mendanai think tank yang mendorong para politisi membelanjakan lebih banyak lagi untuk senjata pemusnah massal.
Menurut laporan itu, Honeywell International menghasilkan USD6,2 miliar dari tender nuklir pada 2021 dan menghabiskan tambahan USD7 juta untuk melobi.
Northrop Grumman mendapat USD5 miliar dan menggunakan USD11,6 juta untuk melobi.
Lockheed Martin menerima USD1,9 miliar dari industri dan menghabiskan USD16,9 juta untuk melobi.
Penulis laporan mencatat setelah memeriksa ribuan kontrak, laporan, dan pengungkapan lobi, mereka memperkirakan lebih dari selusin perusahaan swasta menerima total USD30,2 miliar dalam kontrak senjata nuklir pada 2021.
“Perusahaan-perusahaan itu kemudian berbalik dan menghabiskan USD117 juta melobi pembuat keputusan untuk menghabiskan lebih banyak uang untuk pertahanan. Dan mereka juga menghabiskan hingga USD10 juta untuk mendanai sebagian besar think tank utama yang meneliti dan menulis tentang solusi kebijakan tentang senjata nuklir,” tulis laporan ICAN.
Laporan tersebut selanjutnya mencatat semua pengeluaran ini tidak melakukan apa pun untuk mencegah konflik apa pun dan peristiwa geopolitik baru-baru ini di Eropa hanya berfungsi untuk semakin mempersempit kantong mereka yang terkait dengan industri senjata nuklir.
“Kami diberitahu bahwa miliaran yang diinvestasikan dalam ribuan senjata pemusnah massal dengan kekuatan untuk menghancurkan dunia berkali-kali lipat adalah harga yang harus dibayar untuk perdamaian di Eropa. Sebaliknya, miliaran itu masuk ke kantong orang-orang kuat yang mendapat untung dari produksi senjata pemusnah massal,” papar laporan itu.
Para penulis menekankan laporan tersebut menunjukkan “senjata nuklir tidak berfungsi” karena mereka telah gagal mencegah konflik di Eropa.
“Inilah mengapa kita membutuhkan perlucutan senjata multilateral lebih dari sebelumnya. Pertemuan pertama negara-negara pihak pada Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir di Wina (dari 21 hingga 23 Juni) tidak dapat dilakukan pada waktu yang lebih baik," papar Koordinator Kebijakan dan Penelitian ICAN Alicia Sanders-Zakre.
ICAN adalah pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, koalisi internasional berbasis di Jenewa yang telah aktif mengkampanyekan untuk menghormati dan implementasi penuh Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir yang membantu diadopsi di PBB pada 2017.
Perjanjian tersebut telah diratifikasi 59 negara di seluruh dunia sejauh ini, namun belum ada satu pun negara nuklir yang menandatanganinya.
Hanya dalam satu tahun, sembilan negara bersenjata nuklir yakni Amerika Serikat (AS), China, Rusia, Prancis, India, Israel, Korea Utara (Korut), Pakistan, dan Inggris menghabiskan total USD82,4 miliar untuk meningkatkan dan memelihara perkiraan 13.000 senjata nuklir mereka.
Jumlah tersebut menandai kenaikan 9% dari tahun sebelumnya, menurut perkiraan ICAN.
Laporan tersebut, yang merupakan ringkasan tahunan ketiga ICAN tentang pengeluaran nuklir global dan berjudul “Squandered: 2021 Global Nuclear Weapons Spending,” menyoroti secara total, dunia menghabiskan gabungan USD156.842 setiap menit pada 2021 untuk senjata pemusnah massal.
Situasi itu terjadi di tengah pandemi yang sedang berlangsung dan meningkatnya kerawanan pangan global.
ICAN merinci dengan tepat berapa banyak yang dihabiskan masing-masing dari sembilan negara untuk senjata atom, daftar perusahaan yang diuntungkan, dan pelobi yang disewa untuk mempertahankan bisnis senjata nuklir.
Amerika Serikat ternyata menjadi pembelanja terbesar untuk persenjataan nuklir pada 2021, setelah menghabiskan USD44,2 miliar, empat kali lebih banyak daripada yang berikutnya.
China adalah satu-satunya negara lain yang melampaui angka sepuluh miliar dolar, dengan pengeluaran USD11,7 miliar, sementara Rusia memegang tempat ketiga dengan USD8,6 miliar.
Inggris menghabiskan USD6,8 miliar, Prancis USD5,9 miliar, dan negara-negara seperti India, Israel, dan Pakistan masing-masing menghabiskan sedikit lebih dari USD1 miliar untuk persenjataan mereka pada 2021.
Di tempat terakhir adalah Korea Utara, yang menghabiskan USD642 juta untuk persenjataan nuklir mereka.
Laporan tersebut terus mempertanyakan mengapa dan bagaimana negara-negara ini menghabiskan begitu banyak untuk persenjataan nuklir di tengah berbagai masalah global seperti kekurangan pangan dan energy.
Namun laporan itu sampai pada kesimpulan bahwa pendorong terbesar pengeluaran senjata nuklir bukanlah masalah keamanan, melainkan bisnis.
Menurut ICAN, para kontraktor militer AS tertentu diduga menghasilkan banyak uang dari kontrak terkait senjata nuklir.
Perusahaan-perusahaan ini menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk menyewa pelobi dan mendanai think tank yang mendorong para politisi membelanjakan lebih banyak lagi untuk senjata pemusnah massal.
Menurut laporan itu, Honeywell International menghasilkan USD6,2 miliar dari tender nuklir pada 2021 dan menghabiskan tambahan USD7 juta untuk melobi.
Northrop Grumman mendapat USD5 miliar dan menggunakan USD11,6 juta untuk melobi.
Lockheed Martin menerima USD1,9 miliar dari industri dan menghabiskan USD16,9 juta untuk melobi.
Penulis laporan mencatat setelah memeriksa ribuan kontrak, laporan, dan pengungkapan lobi, mereka memperkirakan lebih dari selusin perusahaan swasta menerima total USD30,2 miliar dalam kontrak senjata nuklir pada 2021.
“Perusahaan-perusahaan itu kemudian berbalik dan menghabiskan USD117 juta melobi pembuat keputusan untuk menghabiskan lebih banyak uang untuk pertahanan. Dan mereka juga menghabiskan hingga USD10 juta untuk mendanai sebagian besar think tank utama yang meneliti dan menulis tentang solusi kebijakan tentang senjata nuklir,” tulis laporan ICAN.
Laporan tersebut selanjutnya mencatat semua pengeluaran ini tidak melakukan apa pun untuk mencegah konflik apa pun dan peristiwa geopolitik baru-baru ini di Eropa hanya berfungsi untuk semakin mempersempit kantong mereka yang terkait dengan industri senjata nuklir.
“Kami diberitahu bahwa miliaran yang diinvestasikan dalam ribuan senjata pemusnah massal dengan kekuatan untuk menghancurkan dunia berkali-kali lipat adalah harga yang harus dibayar untuk perdamaian di Eropa. Sebaliknya, miliaran itu masuk ke kantong orang-orang kuat yang mendapat untung dari produksi senjata pemusnah massal,” papar laporan itu.
Para penulis menekankan laporan tersebut menunjukkan “senjata nuklir tidak berfungsi” karena mereka telah gagal mencegah konflik di Eropa.
“Inilah mengapa kita membutuhkan perlucutan senjata multilateral lebih dari sebelumnya. Pertemuan pertama negara-negara pihak pada Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir di Wina (dari 21 hingga 23 Juni) tidak dapat dilakukan pada waktu yang lebih baik," papar Koordinator Kebijakan dan Penelitian ICAN Alicia Sanders-Zakre.
ICAN adalah pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, koalisi internasional berbasis di Jenewa yang telah aktif mengkampanyekan untuk menghormati dan implementasi penuh Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir yang membantu diadopsi di PBB pada 2017.
Perjanjian tersebut telah diratifikasi 59 negara di seluruh dunia sejauh ini, namun belum ada satu pun negara nuklir yang menandatanganinya.
(sya)
tulis komentar anda