Diuji ke Pasien, Inggris Sebut Dexamethasone Mampu Sembuhkan Covid-19
Kamis, 18 Juni 2020 - 10:09 WIB
LONDON - Dexamethasone, obat yang lazim digunakan untuk mengobati inflamasi atau peradangan, ternyata ampuh dalam menyembuhkan pasien yang terinfeksi virus corona (Covid-19). Klaim itu setelah para peneliti Inggris meneliti obat tersebut dan mengujinya terhadap lebih dari 6.000 pasien corona. Obat tersebut mampu menyelamatkan sepertiga dari 6.000 pasien tersebut.
Selama ini, Dexamethasone sudah digunakan untuk mengurangi peradangan pada penyakit lainnya, termasuk radang sendi, asma, dan penyakit kulit. Obat ini juga membantu menghentikan kerusakan jaringan tubuh ketika sistem kekebalan tubuh bereaksi berlebihan terhadap serangan virus corona. Reaksi berlebihan ini bisa sangat mematikan.
Pemerintah Inggris telah memerintahkan obat steroid tersebut digunakan untuk pasien Covid-19. Namun, obat tersebut juga belum jelas keuntungan dalam perawatan pasien tersebut. Selain itu, kajian tersebut juga belum diuji oleh penelitian lain. (Baca: Jangan Remehkan Kasus Covid-19 Anak yang Terus Naik)
Menariknya, Dexamethasone merupakan obat murah yang tersedia di berbagai belahan dunia. Obat tersebut merupakan bagian dari uji coba terbesar di dunia yang diterapkan saat merawat pasien Covid-19 secara langsung, untuk melihat apakah obat dapat bekerja melawan virus korona. Obat ini disebut mengurangi risiko kematian dengan rasio satu banding tiga untuk pasien yang menggunakan ventilator, dan satu banding lima bagi mereka yang menggunakan tabung oksigen.
Jika obat itu digunakan untuk mengobati pasien di Inggris sejak awal pandemi, peneliti memperkirakan 5.000 nyawa bisa diselamatkan. Obat tersebut bisa memberikan manfaat yang besar untuk negara-negara miskin dengan jumlah pasien Covid-19 yang besar. (Lihat videonya: Pelaku Usaha Sambut Baik Masa PSBB Transisi di Jakarta)
Pemerintah Inggris, yang memiliki stok obat ini sebanyak 200.000, mengatakan telah menginstruksikan layanan kesehatan (NHS) untuk menyediakan dexamethasone untuk pasien Covid-19. Perdana Menteri Boris Johnson mengatakan temuan ini merupakan "prestasi ilmiah Inggris yang luar biasa". "Kami telah mengambil langkah-langkah untuk memastikan ketersediaan obat, bahkan ketika terjadi gelombang kedua,” katanya dilansir BBC.
Kepala Medis untuk Inggris, Prof Chris Whitty mengatakan, obat ini akan menyelamatkan banyak nyawa di seluruh dunia. Sebanyak 19 dari 20 pasien Covid-19 telah sembuh tanpa dirawat di rumah sakit. Sementara dari mereka yang dirawat, sebagian besar juga sembuh tapi masih membutuhkan ventilator dan oksigen. Mereka adalah pasien-pasien dengan gejala berat yang dibantu pemulihannya oleh dexamethasone.
Dalam proses uji coba, tim yang dipimpin dari Universitas Oxford memberikan dexamethasone kepada sebanyak 2.000 pasien rumah sakit, sementara lebih dari 4.000 pasien lainnya tidak diberikan obat ini. Bagi pasien yang menggunakan ventilator, obat ini dapat mengurangi risiko kematian dari 40% menjadi 28%. (Baca juga: Harimau Pemakan Manusia 'Dihukum' Seumur Hidup Tinggal di Penangkaran)
"Sejauh ini obat tersebut telah menunjukkan bisa mengurangi risiko kematian dan pengurangannya sangat signifikan. Ini adalah terobosan besar,” kata Prof Peter Horby, peneliti obat dexamethasone, dari Universitas Oxford. (Andika H Mustaqim)
Selama ini, Dexamethasone sudah digunakan untuk mengurangi peradangan pada penyakit lainnya, termasuk radang sendi, asma, dan penyakit kulit. Obat ini juga membantu menghentikan kerusakan jaringan tubuh ketika sistem kekebalan tubuh bereaksi berlebihan terhadap serangan virus corona. Reaksi berlebihan ini bisa sangat mematikan.
Pemerintah Inggris telah memerintahkan obat steroid tersebut digunakan untuk pasien Covid-19. Namun, obat tersebut juga belum jelas keuntungan dalam perawatan pasien tersebut. Selain itu, kajian tersebut juga belum diuji oleh penelitian lain. (Baca: Jangan Remehkan Kasus Covid-19 Anak yang Terus Naik)
Menariknya, Dexamethasone merupakan obat murah yang tersedia di berbagai belahan dunia. Obat tersebut merupakan bagian dari uji coba terbesar di dunia yang diterapkan saat merawat pasien Covid-19 secara langsung, untuk melihat apakah obat dapat bekerja melawan virus korona. Obat ini disebut mengurangi risiko kematian dengan rasio satu banding tiga untuk pasien yang menggunakan ventilator, dan satu banding lima bagi mereka yang menggunakan tabung oksigen.
Jika obat itu digunakan untuk mengobati pasien di Inggris sejak awal pandemi, peneliti memperkirakan 5.000 nyawa bisa diselamatkan. Obat tersebut bisa memberikan manfaat yang besar untuk negara-negara miskin dengan jumlah pasien Covid-19 yang besar. (Lihat videonya: Pelaku Usaha Sambut Baik Masa PSBB Transisi di Jakarta)
Pemerintah Inggris, yang memiliki stok obat ini sebanyak 200.000, mengatakan telah menginstruksikan layanan kesehatan (NHS) untuk menyediakan dexamethasone untuk pasien Covid-19. Perdana Menteri Boris Johnson mengatakan temuan ini merupakan "prestasi ilmiah Inggris yang luar biasa". "Kami telah mengambil langkah-langkah untuk memastikan ketersediaan obat, bahkan ketika terjadi gelombang kedua,” katanya dilansir BBC.
Kepala Medis untuk Inggris, Prof Chris Whitty mengatakan, obat ini akan menyelamatkan banyak nyawa di seluruh dunia. Sebanyak 19 dari 20 pasien Covid-19 telah sembuh tanpa dirawat di rumah sakit. Sementara dari mereka yang dirawat, sebagian besar juga sembuh tapi masih membutuhkan ventilator dan oksigen. Mereka adalah pasien-pasien dengan gejala berat yang dibantu pemulihannya oleh dexamethasone.
Dalam proses uji coba, tim yang dipimpin dari Universitas Oxford memberikan dexamethasone kepada sebanyak 2.000 pasien rumah sakit, sementara lebih dari 4.000 pasien lainnya tidak diberikan obat ini. Bagi pasien yang menggunakan ventilator, obat ini dapat mengurangi risiko kematian dari 40% menjadi 28%. (Baca juga: Harimau Pemakan Manusia 'Dihukum' Seumur Hidup Tinggal di Penangkaran)
"Sejauh ini obat tersebut telah menunjukkan bisa mengurangi risiko kematian dan pengurangannya sangat signifikan. Ini adalah terobosan besar,” kata Prof Peter Horby, peneliti obat dexamethasone, dari Universitas Oxford. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
tulis komentar anda