Trump Jatuhkan Sanksi kepada ICC

Jum'at, 12 Juni 2020 - 00:56 WIB
Presiden AS Donald Trump menjatuhkan sanksi kepada ICC. Foto/Al Jazeera
WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump , menjatuhkan sanksi kepada pejabat Pengadilan Pidana Internasional (ICC) yang ikut serta dalam penyelidikan yang menargetkan AS dan sekutunya. Trump mewujudkan ancamannya untuk menghukum ICC yang disebut pemerintahannya sebagai ancaman terhadap kedaulatan AS.

Trump menandatangani perintah eksekutif yang menolak visa serta memblokir dana untuk karyawan ICC dan anggota keluarganya.

Sanksi ini dijatuhkan sebagai respon terhadap rencana ICC untuk menyelidiki tuduhan kejahatan perang oleh semua pihak yang dilakukan selama konflik di Afghanistan, serta kemungkinan investigasi perlakuan Israel terhadap Palestina.(Baca: Pompeo Sebut ICC Korup, akan Halangi Penyelidikan Terhadap Israel )



"Kami tidak bisa dan kami tidak akan berdiri karena orang-orang kami diancam oleh pengadilan kanguru," kata Menteri Luar Negeri AS Michael Pompeo dalam sebuah pengarahan di Departemen Luar Negeri AS seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (12/6/2020).

Hadir dalam pengarahan tersebut Menteri Pertahanan AS Mark Esper, Penasihat Keamanan Nasional Robert O'Brien dan Jaksa Agung William Barr.

Pompeo dan pejabat administrasi senior lainnya telah lama menentang ICC, yang mereka anggap sebagai simbol penjangkauan globalis dan campur tangan yang tidak adil dalam urusan Amerika. AS sendiri belum pernah menjadi pihak dalam ICC, yang memulai kerjanya pada tahun 2002 sebagai "pengadilan pilihan terakhir" bagi para korban genosida, kejahatan perang, dan kekejaman lainnya, meskipun pemerintahan Obama bekerja sama dalam beberapa kasus.

Langkah pemerintah itu mengikuti putusan hakim ICC pada bulan Maret yang memungkinkannya untuk menyelidiki tuduhan kejahatan perang di Afghanistan, termasuk oleh pasukan AS. Sementara target utama investigasi adalah pasukan Taliban dan Afghanistan, putusan itu akan menandai pertama kalinya pasukan Amerika berada di bawah pengawasan ICC.(Baca: ICC Setuju Dilakukannya Penyelidikan Kejahatan Perang di Afghanistan )

"Bangsa kita dan pemerintahan ini tidak akan membiarkan warga negara Amerika yang telah melayani negara kita menjadi sasaran investigasi tidak sah," kata Esper kepada wartawan. Dia mengatakan sistem peradilan AS dapat menangani pengaduan semacam itu.

Para pejabat juga menawarkan pengaduan baru, dengan mengatakan bahwa kantor kepala penuntut ICC Fatou Bensouda penuh dengan korupsi dan ketidakmampuan. AS mengatakan pihaknya juga memiliki bukti bahwa musuh mereka, termasuk Rusia, telah berusaha menggunakan pengaruhnya untuk mempengaruhi pengadilan guna menyelidiki pasukan Amerika.

"Dalam praktiknya, institusi ini menjadi lebih dari sekadar alat politik," cetus Barr.

Dalam pengajuan kasus ke pengadilan pada 2017, Bensouda mengatakan jaksa penuntut telah menemukan bukti yang dapat dipercaya bahwa pasukan AS telah menjadikan setidaknya 54 tahanan di perkosa, disiksa dan mendapatkan perlakuan kejam lainnya pada 2003 dan 2004 di Afghanistan. Bensouda juga mengatakan bahwa petugas CIA yang beroperasi di lokasi-lokasi di Polandia, Romania, dan Latvia melakukan hal serupa kepada setidaknya 24 orang lainnya.

Sementara pemerintah AS telah membuat Bensouda terkena pembatasan visa sebelumnya, perintah eksekutif terbaru ini memperluas daftar pejabat yang dapat menghadapi batasan perjalanan dan pembekuan aset. Perintah eksekutif ini juga mencakup siapa saja yang telah secara material membantu, mensponsori, atau memberikan dukungan finansial, materi, atau teknologi kepada para pejabat yang ditargetkan oleh ICC.

Bahasa itu membuka kemungkinan bahwa AS dapat memberi sanksi kepada negara-negara yang bersekutu seperti Prancis, Jerman dan Inggris, yang bersama dengan negara-negara anggota lainnya mendanai sebagian besar kegiatan ICC.

"Apa pun pandangan Anda tentang ICC, ini adalah keputusan untuk mengintimidasi pengadilan internasional yang menggunakan sanksi ekonomi, dan ada biaya untuk itu," kata Stephen Pomper, direktur senior untuk kebijakan di International Crisis Group dan pejabat Dewan Keamanan Nasional di bawah mantan Presiden Barack Obama.

"Ini akan merusak legitimasi sanksi AS sebagai alat untuk mempromosikan hak asasi manusia dan Amerika Serikat sebagai suara untuk supremasi hukum," tukasnya.
(ian)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More