85% Penduduk Miliki Antibodi, Diduga Penyebab COVID-19 di Indonesia Melandai
Jum'at, 07 Januari 2022 - 13:06 WIB
JAKARTA - Lebih dari 85 persen penduduk Indonesia memiliki antibodi atau kekebalan terhadap COVID-19 . Demikian hasil survei yang ditugaskan oleh pemerintah, yang mendapat sorotan media asing.
Para ahli epidemiologi memperingatkan tidak jelas apakah kekebalan ini dapat membantu menahan gelombang baru infeksi virus corona SARS-CoV-2.
Survei dilakukan antara Oktober hingga Desember 2021 oleh para peneliti di Universitas Indonesia.
Survei itu menemukan bahwa orang-orang Indonesia telah mengembangkan antibodi dari kombinasi infeksi COVID-19 dan vaksinasi.
Pandu Riono, ahli epidemiologi yang terlibat dalam survei yang mencakup sekitar 22.000 responden, mengatakan tingkat kekebalan dapat menjelaskan mengapa tidak ada lonjakan infeksi COVID-19 yang signifikan sejak pertengahan tahun 2021.
Gelombang infeksi kedua di Indonesia—didorong oleh varian Delta—memuncak pada bulan Juli dan Agustus, dengan angka kasus infeksi anjlok dari lebih dari 50.000 sehari menjadi hanya beberapa ratus sehari dalam beberapa bulan terakhir.
Menurut Pandu, antibodi dapat memberikan perlindungan terhadap varian baru, termasuk Omicron yang sangat menular. Namun, kata dia, akan memakan waktu berbulan-bulan untuk menjadi jelas.
Omicron telah menginfeksi lebih dari 250 orang di Indonesia, tetapi sebagian besar kasus diimpor dan beberapa kasus lokal sejauh ini belum membawa jenis lonjakan.
Pandu mengatakan survei itu tidak meniadakan perlunya lebih banyak orang untuk divaksinasi, bahkan mereka yang sudah terinfeksi.
“Intinya adalah agar mayoritas orang mengembangkan kekebalan hibrida untuk mengendalikan pandemi,” katanya, merujuk pada kekebalan yang lebih kuat di antara beberapa orang yang divaksinasi dan juga telah terinfeksi.
Indonesia baru memvaksinasi lengkap hanya lebih dari 42 persen dari 270 juta penduduknya.
Pandu, seperti dikutip Reuters, Jumat (7/1/2022), mengatakan temuan survei masih diperiksa untuk menilai bagaimana berbagai merek vaksin dapat berkontribusi pada tingkat antibodi yang berbeda.
Dicky Budiman, seorang ahli epidemiologi di Universitas Griffith Australia, yang tidak terlibat dalam survei tersebut, mengatakan temuan tersebut harus diperlakukan dengan hati-hati karena tingkat vaksinasi Indonesia tertinggal di banyak negara dan tidak ada jaminan berapa lama antibodi dapat bertahan.
Para ahli epidemiologi memperingatkan tidak jelas apakah kekebalan ini dapat membantu menahan gelombang baru infeksi virus corona SARS-CoV-2.
Survei dilakukan antara Oktober hingga Desember 2021 oleh para peneliti di Universitas Indonesia.
Survei itu menemukan bahwa orang-orang Indonesia telah mengembangkan antibodi dari kombinasi infeksi COVID-19 dan vaksinasi.
Pandu Riono, ahli epidemiologi yang terlibat dalam survei yang mencakup sekitar 22.000 responden, mengatakan tingkat kekebalan dapat menjelaskan mengapa tidak ada lonjakan infeksi COVID-19 yang signifikan sejak pertengahan tahun 2021.
Gelombang infeksi kedua di Indonesia—didorong oleh varian Delta—memuncak pada bulan Juli dan Agustus, dengan angka kasus infeksi anjlok dari lebih dari 50.000 sehari menjadi hanya beberapa ratus sehari dalam beberapa bulan terakhir.
Menurut Pandu, antibodi dapat memberikan perlindungan terhadap varian baru, termasuk Omicron yang sangat menular. Namun, kata dia, akan memakan waktu berbulan-bulan untuk menjadi jelas.
Omicron telah menginfeksi lebih dari 250 orang di Indonesia, tetapi sebagian besar kasus diimpor dan beberapa kasus lokal sejauh ini belum membawa jenis lonjakan.
Pandu mengatakan survei itu tidak meniadakan perlunya lebih banyak orang untuk divaksinasi, bahkan mereka yang sudah terinfeksi.
“Intinya adalah agar mayoritas orang mengembangkan kekebalan hibrida untuk mengendalikan pandemi,” katanya, merujuk pada kekebalan yang lebih kuat di antara beberapa orang yang divaksinasi dan juga telah terinfeksi.
Indonesia baru memvaksinasi lengkap hanya lebih dari 42 persen dari 270 juta penduduknya.
Pandu, seperti dikutip Reuters, Jumat (7/1/2022), mengatakan temuan survei masih diperiksa untuk menilai bagaimana berbagai merek vaksin dapat berkontribusi pada tingkat antibodi yang berbeda.
Dicky Budiman, seorang ahli epidemiologi di Universitas Griffith Australia, yang tidak terlibat dalam survei tersebut, mengatakan temuan tersebut harus diperlakukan dengan hati-hati karena tingkat vaksinasi Indonesia tertinggal di banyak negara dan tidak ada jaminan berapa lama antibodi dapat bertahan.
(min)
Lihat Juga :
tulis komentar anda