Surat PM Malaysia Tak Digubris, Singapura Tetap Akan Gantung Pria Penderita Cacat Mental
Senin, 08 November 2021 - 23:45 WIB
SINGAPURA - Perdana Menteri Malaysia , Ismail Sabri Yaakob telah menulis surat kepada mitranya dari Singapura , PM Lee Hsien Loong untuk meminta keringanan hukuman bagi Nagaenthran K. Dharmalingam, warga negara Malaysia yang akan dihukum gantung di Singapura pada 10 November. Dharmalingam adalah seorang penderita cacat mental yang ditangkap karen meyelundupkan heroin ke Singapura lebih dari satu dekade lalu.
Dalam sepucuk surat kepada Lee, Ismail mengaku memahami penolakan pemerintah Singapura untuk menghentikan eksekusi berdasarkan pernyataan bahwa semua proses hukum telah selesai. Namun, Ismail tetap berharap pengajuan banding Dharmalingam dapat dianggap "murni atas dasar kemanusiaan".
“Sebagai seorang pengacara, saya tahu bahwa sistem hukum dan peradilan Malaysia dan Singapura memiliki banyak kesamaan. Saya yakin masih ada ruang bagi pemerintah Singapura untuk mempertimbangkan untuk memberikan penundaan eksekusi dan mengizinkan petisi baru untuk grasi presiden dalam kasus Tuan Nagaenthran a/l K Dharmalingam,” kata Ismail dalam surat tersebut, seperti dikutip dari Malaysia Now, Senin (8/11/2021).
Pada Jumat pekan lalu, Kementerian Dalam Negeri Singapura (MHA) menyatakan, Pengadilan Tinggi Singapura telah mempertimbangkan masalah soal tanggung jawab mental Dharmalingam atas tindakannya secara substansial terganggu pada saat melakukan pelanggaran.
“Pengadilan menyatakan bahwa dia tahu apa yang dia lakukan ketika dia melakukan kejahatan,” kata pernyataan MHA. Ditambahkan pula, Pengadilan Tinggi telah menilai bukti psikiater bahwa Dharmalingam tidak cacat intelektual. Ini termasuk mengutip keterangan seorang psikiater yang dipanggil oleh pembela, "yang setuju di pengadilan, bahwa Nagaenthran tidak cacat intelektual".
Mengutip temuan dari Pengadilan Tinggi, MHA mengatakan: "Pengadilan Tinggi mempertimbangkan fakta, bukti ahli dari empat ahli psikiatri/psikologis yang berbeda, dan pengajuan lebih lanjut oleh penuntut dan pembela. "Pengadilan Tinggi menyatakan bahwa Nagaenthran tahu apa yang dia lakukan, dan menguatkan hukuman mati."
Hukuman mati bagi Dharmalingam itu telah dikecam secara luas oleh kelompok-kelompok internasional termasuk Human Rights Watch, Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia, Jaringan Anti-Hukuman Mati Asia dan Amnesty International. Sebuah petisi online untuk mendukung Nagaenthran telah menarik lebih dari 62.000 tanda tangan.
Menurut juru kampanye, terungkap selama persidangan bahwa Dharmalingam memiliki IQ 69, tingkat yang diakui sebagai indikasi ketidakmampuan belajar dan gangguan hiperaktif defisit perhatian. Pendukungnya mengatakan ada bukti bahwa Nagaenthran dipaksa menjadi kurir narkoba sebagai korban perdagangan manusia.
Lebih dari 200 anggota keluarga dan teman-teman narapidana yang pernah menjalani hukuman mati di Singapura juga menyerukan agar Dharmalingam dibebaskan dan hukuman mati dihapuskan. “Tidak ada kata-kata untuk menggambarkan rasa sakit memiliki orang yang dicintai di hukuman mati. Mungkin itu sebabnya kami jarang membicarakannya, dan penderitaan kami tidak diperhatikan,” tulis mereka dalam surat terbuka yang diterbitkan oleh Transformative Justice Collective.
Dalam sepucuk surat kepada Lee, Ismail mengaku memahami penolakan pemerintah Singapura untuk menghentikan eksekusi berdasarkan pernyataan bahwa semua proses hukum telah selesai. Namun, Ismail tetap berharap pengajuan banding Dharmalingam dapat dianggap "murni atas dasar kemanusiaan".
“Sebagai seorang pengacara, saya tahu bahwa sistem hukum dan peradilan Malaysia dan Singapura memiliki banyak kesamaan. Saya yakin masih ada ruang bagi pemerintah Singapura untuk mempertimbangkan untuk memberikan penundaan eksekusi dan mengizinkan petisi baru untuk grasi presiden dalam kasus Tuan Nagaenthran a/l K Dharmalingam,” kata Ismail dalam surat tersebut, seperti dikutip dari Malaysia Now, Senin (8/11/2021).
Pada Jumat pekan lalu, Kementerian Dalam Negeri Singapura (MHA) menyatakan, Pengadilan Tinggi Singapura telah mempertimbangkan masalah soal tanggung jawab mental Dharmalingam atas tindakannya secara substansial terganggu pada saat melakukan pelanggaran.
“Pengadilan menyatakan bahwa dia tahu apa yang dia lakukan ketika dia melakukan kejahatan,” kata pernyataan MHA. Ditambahkan pula, Pengadilan Tinggi telah menilai bukti psikiater bahwa Dharmalingam tidak cacat intelektual. Ini termasuk mengutip keterangan seorang psikiater yang dipanggil oleh pembela, "yang setuju di pengadilan, bahwa Nagaenthran tidak cacat intelektual".
Mengutip temuan dari Pengadilan Tinggi, MHA mengatakan: "Pengadilan Tinggi mempertimbangkan fakta, bukti ahli dari empat ahli psikiatri/psikologis yang berbeda, dan pengajuan lebih lanjut oleh penuntut dan pembela. "Pengadilan Tinggi menyatakan bahwa Nagaenthran tahu apa yang dia lakukan, dan menguatkan hukuman mati."
Hukuman mati bagi Dharmalingam itu telah dikecam secara luas oleh kelompok-kelompok internasional termasuk Human Rights Watch, Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia, Jaringan Anti-Hukuman Mati Asia dan Amnesty International. Sebuah petisi online untuk mendukung Nagaenthran telah menarik lebih dari 62.000 tanda tangan.
Menurut juru kampanye, terungkap selama persidangan bahwa Dharmalingam memiliki IQ 69, tingkat yang diakui sebagai indikasi ketidakmampuan belajar dan gangguan hiperaktif defisit perhatian. Pendukungnya mengatakan ada bukti bahwa Nagaenthran dipaksa menjadi kurir narkoba sebagai korban perdagangan manusia.
Lebih dari 200 anggota keluarga dan teman-teman narapidana yang pernah menjalani hukuman mati di Singapura juga menyerukan agar Dharmalingam dibebaskan dan hukuman mati dihapuskan. “Tidak ada kata-kata untuk menggambarkan rasa sakit memiliki orang yang dicintai di hukuman mati. Mungkin itu sebabnya kami jarang membicarakannya, dan penderitaan kami tidak diperhatikan,” tulis mereka dalam surat terbuka yang diterbitkan oleh Transformative Justice Collective.
(esn)
Lihat Juga :
tulis komentar anda