Koalisi Sipil di Swiss Gelar Pengadilan Pelanggaran HAM Rezim Turki
Kamis, 23 September 2021 - 22:13 WIB
JENEWA - Koalisi masyarakat sipil di Swiss menggelar secara simbolis pengadilan internasional untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh rezim berkuasa di Turki . Pengadilan mendengarkan kesaksian dua korban kekerasan dan seorang pengacara pembela HAM.
Pengadilan digelar pada Senin lalu di Jenewa, Swiss. Kesaksian pertama dari Mehmet Alp, seorang guru yang bekerja di sebuah sekolah negeri yang mengaku telah diculik oleh badan intelijen Turki, MIT, di Cizre pada 18 April 2015.
Mehmet Alp mengaku dipaksa menandatangani pernyataan yang menuduhnya mendorong murid-muridnya untuk bergabung dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), partai terlarang di Turki. Dia mengaku berada di bawah todongan senjata untuk menandatangani dokumen itu. Mehmet tidak memberi tahu siapa pun kejadian itu karena takut.
Mehmet kemudian dipenjara pada tahun 2016. Ketika berada di penjara, upaya kudeta terjadi terhadap rezim Presiden Recep Tayyip Erdogan pada 15 Juli 2016. Upaya kudeta yang digagalkan itu secara dramatis mengubah iklim politik di Turki ketika pemerintah melancarkan tindakan keras terhadap lawan politik dengan dalih perjuangan anti-kudeta.
Meskipun berada di penjara pada saat kudeta berlangsung, Mehmet kemudian ikut didakwa dalam keterlibatan kudeta. Dia mengatakan mengalami tindakan kekerasan di dalam tahanan yang menyebabkan pendarahan internal dan tidak mendapat bantuan medis.
“Kami tidak hanya menyiksa Anda, tapi juga kepada istri Anda jika perlu, dan anak-anak Anda akan berakhir di panti asuhan. Jadi, jika Anda mencintai keluarga, maka jangan beritahu pengadilan apa yang telah terjadi,” kata Mehmet Alp menirukan intimidasi yang diterimanya.
Mehmet belakangan kemudian dibebaskan oleh pengadilan sambil menunggu persidangan pada 2018. Saat itulah dia memutuskan untuk melarikan diri ke Eropa untuk mencari suaka.
Kesaksian kedua datang dari Erhan Dogan, seorang guru sejarah yang bekerja di sekolah yang berafiliasi dengan gerakan Gulen. Dia mengatakan bahwa pemerintah di Ankara menuduh gerakan Gulen—sebuah kelompok berbasis agama yang diilhami oleh ulama Turki, Fethullah Gulen—berada di balik kudeta yang gagal. Namun, gerakan tersebut menyangkal keterlibatan apapun dengan kudeta atau pun aktivitas lainnya.
Dogan mengaku ditahan oleh unit kontraterorisme (TEM) Departemen Kepolisian Ankara selama 10 hari setelah kudeta yang gagal. Dia ditempatkan di gym yang digunakan sebagai pusat penahanan.
“Saya dipukuli, ditelanjangi dan dipukul dengan tongkat,” kata Dogan seperti dilansir dari Turkishminute, Kamis (23/9/2021).
Dogan mengatakan polisi memintanya memberi nama-nama setidaknya 10 orang, dan menjanjikan akan dibebaskan jika dia melakukannya.
“Mereka mengatakan kepada saya, 'Kamu bisa mati di sini. Sebelumnya sudah ada yang mati dan tidak ada siapa pun yang tahu tentang mereka’, ” kata Dogan menirukan ucapan intimidasi yang dia terima. "Saya ditempatkan di sebuah ruangan di mana saya melihat bekas darah di sekitar saya."
“Petugas polisi kemudian membawa saya ke ruangan lain. Mereka mulai membenturkan kepala saya ke dinding, menuntut agar saya memberi mereka 10 nama itu tetapi saya tolak. Penyiksaan ini berlangsung selama 10 hari,” kata Dogan.
“Mereka kemudian membawa saya ke dokter. Tapi saya tidak berani menceritakan yang terjadi,” kata Dogan, seraya menambahkan bahwa dia tidak diizinkan untuk memberi tahu dokter apa yang telah dia alami karena petugas polisi yang hadir mengancamnya.
Dogan mengatakan dia juga melihat polisi membawa tiga wanita yang ditempatkan bersama tahanan lain. Polisi mengatakan kepada saya, 'Ini bisa terjadi pada istri dan anak perempuan Anda jika tidak mengikuti perintah kami’,” kata Dogan sambil menangis.
Hakim Ketua Pengadilan, Dr Françoise Barones Tulkens, bertanya apakah dia bisa menceritakan metode kekerasan lain yang dia alami selain pemukulan. Dogan mengatakan polisi juga melecehkannya.
Setelah Dogan, Eren Keskin—seorang pengacara dan aktivis HAM di Turki—bersaksi dari jarak jauh melalui panggilan video.
Menggarisbawahi European Court of Human Rights (ECtHR), Eren Keskin mengatakan meskipun ada peraturan, pengadilan Turki tidak menerima laporan selain yang disiapkan oleh ahli kedokteran forensik yang diangkat dan dipekerjakan oleh pemerintah.
Peradilan simbolis di Swiss mengeklaim telah memberikan kesempatan pada Pemerintah Turki untuk melakukan pembelaan, tetapi tidak menggunakannya. Pengadilan ini akan mengumumkan putusannya yang juga akan dipublikasikan di situs webnya.
Pengadilan internasional secara simbolis di Swiss ini tidak sekuat Makhamah Kriminal Internasional (ICC) di Belanda yang bisa menghukum pelaku yang dituduhkan. Meski demikian, pengadilan di Swiss akan mengusik citra rezim Erdogan di Turki.
Pengadilan digelar pada Senin lalu di Jenewa, Swiss. Kesaksian pertama dari Mehmet Alp, seorang guru yang bekerja di sebuah sekolah negeri yang mengaku telah diculik oleh badan intelijen Turki, MIT, di Cizre pada 18 April 2015.
Mehmet Alp mengaku dipaksa menandatangani pernyataan yang menuduhnya mendorong murid-muridnya untuk bergabung dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), partai terlarang di Turki. Dia mengaku berada di bawah todongan senjata untuk menandatangani dokumen itu. Mehmet tidak memberi tahu siapa pun kejadian itu karena takut.
Mehmet kemudian dipenjara pada tahun 2016. Ketika berada di penjara, upaya kudeta terjadi terhadap rezim Presiden Recep Tayyip Erdogan pada 15 Juli 2016. Upaya kudeta yang digagalkan itu secara dramatis mengubah iklim politik di Turki ketika pemerintah melancarkan tindakan keras terhadap lawan politik dengan dalih perjuangan anti-kudeta.
Meskipun berada di penjara pada saat kudeta berlangsung, Mehmet kemudian ikut didakwa dalam keterlibatan kudeta. Dia mengatakan mengalami tindakan kekerasan di dalam tahanan yang menyebabkan pendarahan internal dan tidak mendapat bantuan medis.
“Kami tidak hanya menyiksa Anda, tapi juga kepada istri Anda jika perlu, dan anak-anak Anda akan berakhir di panti asuhan. Jadi, jika Anda mencintai keluarga, maka jangan beritahu pengadilan apa yang telah terjadi,” kata Mehmet Alp menirukan intimidasi yang diterimanya.
Mehmet belakangan kemudian dibebaskan oleh pengadilan sambil menunggu persidangan pada 2018. Saat itulah dia memutuskan untuk melarikan diri ke Eropa untuk mencari suaka.
Kesaksian kedua datang dari Erhan Dogan, seorang guru sejarah yang bekerja di sekolah yang berafiliasi dengan gerakan Gulen. Dia mengatakan bahwa pemerintah di Ankara menuduh gerakan Gulen—sebuah kelompok berbasis agama yang diilhami oleh ulama Turki, Fethullah Gulen—berada di balik kudeta yang gagal. Namun, gerakan tersebut menyangkal keterlibatan apapun dengan kudeta atau pun aktivitas lainnya.
Dogan mengaku ditahan oleh unit kontraterorisme (TEM) Departemen Kepolisian Ankara selama 10 hari setelah kudeta yang gagal. Dia ditempatkan di gym yang digunakan sebagai pusat penahanan.
“Saya dipukuli, ditelanjangi dan dipukul dengan tongkat,” kata Dogan seperti dilansir dari Turkishminute, Kamis (23/9/2021).
Dogan mengatakan polisi memintanya memberi nama-nama setidaknya 10 orang, dan menjanjikan akan dibebaskan jika dia melakukannya.
“Mereka mengatakan kepada saya, 'Kamu bisa mati di sini. Sebelumnya sudah ada yang mati dan tidak ada siapa pun yang tahu tentang mereka’, ” kata Dogan menirukan ucapan intimidasi yang dia terima. "Saya ditempatkan di sebuah ruangan di mana saya melihat bekas darah di sekitar saya."
“Petugas polisi kemudian membawa saya ke ruangan lain. Mereka mulai membenturkan kepala saya ke dinding, menuntut agar saya memberi mereka 10 nama itu tetapi saya tolak. Penyiksaan ini berlangsung selama 10 hari,” kata Dogan.
“Mereka kemudian membawa saya ke dokter. Tapi saya tidak berani menceritakan yang terjadi,” kata Dogan, seraya menambahkan bahwa dia tidak diizinkan untuk memberi tahu dokter apa yang telah dia alami karena petugas polisi yang hadir mengancamnya.
Dogan mengatakan dia juga melihat polisi membawa tiga wanita yang ditempatkan bersama tahanan lain. Polisi mengatakan kepada saya, 'Ini bisa terjadi pada istri dan anak perempuan Anda jika tidak mengikuti perintah kami’,” kata Dogan sambil menangis.
Hakim Ketua Pengadilan, Dr Françoise Barones Tulkens, bertanya apakah dia bisa menceritakan metode kekerasan lain yang dia alami selain pemukulan. Dogan mengatakan polisi juga melecehkannya.
Setelah Dogan, Eren Keskin—seorang pengacara dan aktivis HAM di Turki—bersaksi dari jarak jauh melalui panggilan video.
Menggarisbawahi European Court of Human Rights (ECtHR), Eren Keskin mengatakan meskipun ada peraturan, pengadilan Turki tidak menerima laporan selain yang disiapkan oleh ahli kedokteran forensik yang diangkat dan dipekerjakan oleh pemerintah.
Peradilan simbolis di Swiss mengeklaim telah memberikan kesempatan pada Pemerintah Turki untuk melakukan pembelaan, tetapi tidak menggunakannya. Pengadilan ini akan mengumumkan putusannya yang juga akan dipublikasikan di situs webnya.
Pengadilan internasional secara simbolis di Swiss ini tidak sekuat Makhamah Kriminal Internasional (ICC) di Belanda yang bisa menghukum pelaku yang dituduhkan. Meski demikian, pengadilan di Swiss akan mengusik citra rezim Erdogan di Turki.
(min)
Lihat Juga :
tulis komentar anda