Senator Amerika Sebut 30.000 Tentara AS di Taiwan, China Ancam Perang

Kamis, 19 Agustus 2021 - 01:33 WIB
Dalam konteks provokasi Angkatan Laut AS di Laut China Selatan dan Laut China Timur, perang ekonomi AS yang semakin cepat dan penguatan militer terhadap China, Beijing dengan marah bereaksi terhadap ancaman AS untuk membatalkan status quo di Taiwan.

Beijing telah berulang kali memperingatkan bahwa setiap deklarasi kemerdekaan formal oleh Taipei akan mengakibatkan reunifikasi paksa pulau itu dengan China. Pulau ini penting bagi China baik secara strategis karena terletak hanya 150 kilometer di seberang Selat Taiwan, dan secara ekonomi, termasuk sebagai produsen chip semi-konduktor top dunia.

Reaksi di China terhadap tweet Cornyn menjelaskan bahwa penempatan pasukan militer AS di Taiwan atau menjalin hubungan militer yang lebih dekat dengan Taipei pada dasarnya akan menjadi tindakan perang. Namun itulah tepatnya yang sedang didiskusikan di lingkaran strategis dan kebijakan luar negeri AS di Washington seperti yang disadari oleh Cornyn yang duduk di Komite Intelijen Senat. Dia adalah pendukung vokal untuk meningkatkan hubungan AS dengan Taiwan dan telah memperkenalkan undang-undang untuk membangun kemitraan antara Garda Nasional AS dan militer Taiwan.

Ini adalah bagian dari perdebatan yang sedang berlangsung di Washington mengenai penggantian kebijakan “ambiguitas strategis” saat ini dengan “kejelasan strategis”—dengan kata lain, membuat komitmen tegas untuk mendukung Taiwan secara militer melawan China jika terjadi konflik. Pergeseran seperti itu hanya akan mendorong pemerintahan saat ini di Taipei untuk mengambil langkah provokatif dengan mendeklarasikan kemerdekaan formal.

Pada saat yang sama, Angkatan Laut AS di bawah pemerintahan Trump dan Biden telah meningkatkan jumlah kapal perang yang melewati Selat Taiwan yang sempit antara pulau itu dan daratan China dan penjualan senjata ke Taipei.

Penarikan pasukan AS dari Afghanistan selalu menjadi bagian dari pergeseran strategis AS yang lebih luas yang dinyatakan oleh Pentagon dari “perang melawan teror” menjadi “konflik kekuatan besar”—dengan China menjadi target utama. Namun, cepatnya keruntuhan rezim boneka AS di Kabul telah menimbulkan seruan panik di Washington agar AS menopang prestise internasionalnya dengan secara agresif mendukung sekutunya dan menghadapi saingannya.

Dalam sebuah opini di Washington Post, Senin, cendekiawan sayap kanan Henry Olsen menyatakan bahwa Biden tidak boleh mengikuti kebijakan pemerintahan Carter setelah kekalahan AS di Vietnam, yang menurutnya, melemahkan posisinya secara internasional. Dia meminta Biden; "Untuk menunjukkan kepada musuh kita dan sekutu kita bahwa dia bermaksud untuk mempertahankan dan memulihkan kepemimpinan global AS dengan perbuatan serta kata-kata.”

Dia secara blakblakan menargetkan China sebagai musuh global AS yang paling berbahaya, dengan mengatakan bahwa memerangi kebangkitannya yang merusak harus menjadi tugas global utama Biden.

Secara signifikan, Olsen kemudian fokus pada Taiwan: “Setelah bencana akhir pekan, Biden harus menjelaskan bahwa Amerika Serikat menganggap otonomi Taiwan dari China sebagai yang paling penting. Pernyataan itu harus diikuti dengan menjual persenjataan canggih kepada pemerintah Taipei dan dengan merundingkan penempatan pasukan di negara-negara tetangga yang lebih dekat ke Taiwan daripada pangkalan kami di Jepang, yang jaraknya lebih dari seribu mil. Dia juga harus mempertahankan tarif AS atas barang-barang China dan mendorong lebih keras untuk memisahkan ekonomi Amerika Serikat dari ketergantungannya yang berbahaya pada bisnis yang dikendalikan oleh Partai Komunis [China].”

Bahkan pemeriksaan sepintas terhadap peta Asia Timur memperjelas bahwa selain Jepang, dan mungkin Filipina, tidak ada tempat untuk menempatkan pasukan AS lebih dekat ke Taiwan—selain Taiwan sendiri.

Tanggapan Global Times terhadap tweet Cornyn menunjukkan bahwa Beijing mengikuti diskusi di Washington dengan cermat dan membuat rencana untuk mempertahankan apa yang dianggapnya sebagai “kepentingan intinya".

Editorial media itu menuntut penjelasan segera dari pemerintah AS pada tweet tersebut dan menekankan bahwa Taiwan adalah "garis merah" yang tidak dapat dilintasi.

Kemarin, kapal perang dan jet tempur China melakukan latihan militer di daerah selatan Taiwan sebagai tanggapan atas apa yang digambarkan Beijing sebagai "gangguan eksternal" dan "provokasi."

Pada bulan Maret, kepala Komando Indo-Pasifik AS Philip Davidson, menyerukan penggandaan anggaran militer komando dan memperingatkan perang dengan China atas Taiwan dalam enam tahun ke depan. Jauh dari berlebihan, peringatan itu memiliki makna baru yang mengerikan karena imperialisme AS secara sembrono mengobarkan titik nyala paling berbahaya di kawasan itu.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More