Adik Kim Jong-un Marah karena Korsel-AS Bersiap Latihan Perang Besar-besaran
Selasa, 10 Agustus 2021 - 09:24 WIB
PYONGYANG - Kim Yo-jong, adik pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un , marah karena Korea Selatan (Korsel) dan Amerika Serikat (AS) bersiap untuk latihan perang gabungan besar-besaran.
Kim Yo-jong, yang dianggap sebagai wanita terkuat Korut, bersumpah bahwa negaranya akan mengembangkan senjata untuk serangan pertama atau preemptive yang lebih baik.
Latihan perang gabungan tahunan Seoul dan Washington telah lama diklaim Korea Utara sebagai latihan invasi terhadap Pyongyang.
Kim Yo-jong menyebut latihan itu pada akhirnya merusak diri sendiri.
"Militer AS dan Korea Selatan akhirnya memulai latihan militer gabungan yang selanjutnya memfasilitasi ketidakstabilan," kata Kim Yo-jong dalam pernyataan hari Selasa (10/8/2021) yang disiarkan oleh Korean Central News Agency (KCNA).
"Kami menyatakan penyesalan yang kuat atas tindakan pengkhianatan otoritas Korea Selatan," ujar adik orang nomor satu Korea Utara itu.
"Kami akan memperkuat pertahanan nasional kami dan kemampuan preemptive yang kuat untuk segera menanggapi setiap tindakan militer,” imbuh dia, yang merupakan wakil direktur Departemen Informasi dan Publisitas Komite Sentral Partai Buruh Korea (WPK).
AS dan Korea Selatan mulai mempersiapkan diri pada hari Selasa untuk latihan militer gabungan musim panas tahunan mereka yang dimulai minggu depan.
Menurut kantor berita Yonhap yang berbasis di Seoul, latihan empat hari itu bertujuan untuk menguji respons militer terhadap “situasi yang tidak terduga sebelum perang pecah", yang akan diikuti Pelatihan Pos Komando Gabungan dengan simulasi komputer selama sepuluh hari.
Selama dua tahun terakhir, skala latihan telah dikurangi secara signifikan karena pandemi COVID-19, tetapi selama puncak pemulihan hubungan pada tahun 2018, Pyongyang hampir meyakinkan Seoul untuk membatalkan latihan gabungan tersebut. Namun, Washington masuk dan menegaskan kembali agendanya, yang kontra untuk reunifikasi dan perdamaian di semenanjung Korea.
AS mempertahankan pengerahan 28.000 tentaranya di Korea Selatan, ditempatkan di sana sejak Perang Korea 1950-1953 ketika AS memimpin pasukan invasi internasional dalam misi untuk menghentikan reunifikasi negara di bawah kekuasaan komunis.
Korea telah terpecah pada tahun 1945 pada akhir Perang Dunia II, yang berakhir sebelum Uni Soviet telah benar-benar membebaskan Korea dari kekuasaan kolonial Jepang, dan perang saudara pecah pada tahun 1949 di mana PBB campur tangan di salah satu medan perang awal dari Perang Dingin.
Perang itu berakhir hanya dengan gencatan senjata, bukan perjanjian damai permanen. Hubungan terus mendingin, di mana Korea Utara telah menguji senjata artileri roket generasi baru yang mereka klaim dapat menghindari pertahanan rudal anti-balistik yang ditempatkan di Selatan oleh Amerika Serikat.
Presiden AS Joe Biden, yang mulai menjabat pada Januari lalu, telah merencanakan jalur yang berbeda dalam hubungan AS dengan Korea Utara atau DPRK dibandingkan pendahulunya, Donald Trump, yang mengadakan beberapa pertemuan puncak dengan Kim Jong-un.
Kim Jong-un sendiri telah menegaskan tidak akan secara sepihak melepaskan program senjata nuklir negaranya, yang katanya merupakan jaminan akhir dari keamanan dan kemerdekaan negara.
Namun, Biden bersikeras Kim Jong-un setuju untuk denuklirisasi sebelum pembicaraan apa pun akan dimulai. Klaim itu ditepis Kim Yo-jong sebagai "harapan yang salah" pada awal tahun ini.
Kim Yo-jong, yang dianggap sebagai wanita terkuat Korut, bersumpah bahwa negaranya akan mengembangkan senjata untuk serangan pertama atau preemptive yang lebih baik.
Latihan perang gabungan tahunan Seoul dan Washington telah lama diklaim Korea Utara sebagai latihan invasi terhadap Pyongyang.
Kim Yo-jong menyebut latihan itu pada akhirnya merusak diri sendiri.
"Militer AS dan Korea Selatan akhirnya memulai latihan militer gabungan yang selanjutnya memfasilitasi ketidakstabilan," kata Kim Yo-jong dalam pernyataan hari Selasa (10/8/2021) yang disiarkan oleh Korean Central News Agency (KCNA).
"Kami menyatakan penyesalan yang kuat atas tindakan pengkhianatan otoritas Korea Selatan," ujar adik orang nomor satu Korea Utara itu.
"Kami akan memperkuat pertahanan nasional kami dan kemampuan preemptive yang kuat untuk segera menanggapi setiap tindakan militer,” imbuh dia, yang merupakan wakil direktur Departemen Informasi dan Publisitas Komite Sentral Partai Buruh Korea (WPK).
AS dan Korea Selatan mulai mempersiapkan diri pada hari Selasa untuk latihan militer gabungan musim panas tahunan mereka yang dimulai minggu depan.
Menurut kantor berita Yonhap yang berbasis di Seoul, latihan empat hari itu bertujuan untuk menguji respons militer terhadap “situasi yang tidak terduga sebelum perang pecah", yang akan diikuti Pelatihan Pos Komando Gabungan dengan simulasi komputer selama sepuluh hari.
Selama dua tahun terakhir, skala latihan telah dikurangi secara signifikan karena pandemi COVID-19, tetapi selama puncak pemulihan hubungan pada tahun 2018, Pyongyang hampir meyakinkan Seoul untuk membatalkan latihan gabungan tersebut. Namun, Washington masuk dan menegaskan kembali agendanya, yang kontra untuk reunifikasi dan perdamaian di semenanjung Korea.
AS mempertahankan pengerahan 28.000 tentaranya di Korea Selatan, ditempatkan di sana sejak Perang Korea 1950-1953 ketika AS memimpin pasukan invasi internasional dalam misi untuk menghentikan reunifikasi negara di bawah kekuasaan komunis.
Korea telah terpecah pada tahun 1945 pada akhir Perang Dunia II, yang berakhir sebelum Uni Soviet telah benar-benar membebaskan Korea dari kekuasaan kolonial Jepang, dan perang saudara pecah pada tahun 1949 di mana PBB campur tangan di salah satu medan perang awal dari Perang Dingin.
Perang itu berakhir hanya dengan gencatan senjata, bukan perjanjian damai permanen. Hubungan terus mendingin, di mana Korea Utara telah menguji senjata artileri roket generasi baru yang mereka klaim dapat menghindari pertahanan rudal anti-balistik yang ditempatkan di Selatan oleh Amerika Serikat.
Presiden AS Joe Biden, yang mulai menjabat pada Januari lalu, telah merencanakan jalur yang berbeda dalam hubungan AS dengan Korea Utara atau DPRK dibandingkan pendahulunya, Donald Trump, yang mengadakan beberapa pertemuan puncak dengan Kim Jong-un.
Kim Jong-un sendiri telah menegaskan tidak akan secara sepihak melepaskan program senjata nuklir negaranya, yang katanya merupakan jaminan akhir dari keamanan dan kemerdekaan negara.
Namun, Biden bersikeras Kim Jong-un setuju untuk denuklirisasi sebelum pembicaraan apa pun akan dimulai. Klaim itu ditepis Kim Yo-jong sebagai "harapan yang salah" pada awal tahun ini.
(min)
Lihat Juga :
tulis komentar anda