Tembak Mati Pria Autis Palestina, Polisi Israel Menghadapi Penjara 12 Tahun
Jum'at, 18 Juni 2021 - 14:33 WIB
YERUSALEM - Seorang petugas Polisi Perbatasan Israel yang menembak mati pria austis Palestina telah didakwa dengan pembunuhan sembrono. Dia menghadapi hukuman 12 tahun penjara.
Korban, Eyad Al-Hallaq, 32, seorang pria autis Palestina di Yerusalem Timur. Dia ditembak mati di bagian dada sebanyak dua kali saat dalam perjalanan ke sekolah kebutuhan khusus di Kota Tua Yerusalem pada 20 Mei 2020.
Al-Hallaq didiagnosis menderita autis. Meski usianya 32 tahun, dia berpikiran seperti seorang anak berusia delapan tahun.
Pada hari pembunuhan, Al-Hallaq berlari dengan panik saat dalam perjalanan ke sekolah kebutuhan khusus karena mendenger teriakan petugas polisi Israel. Saat berlari itulah, dia ditembak dua kali di dada.
Setelah penembakan itu, Polisi Perbatasan Israel mengeluarkan pernyataan yang mengeklaim bahwa dua petugas polisi percaya Al-Hallaq membawa senjata dan mengejarnya, menembaknya hingga tewas di tempat sampah hanya beberapa meter dari sekolah kebutuhan khusus tempat dia bersekolah.
Pengasuh Al-Hallaq, Warda Abu Hadid, yang berada di tempat kejadian berteriak dalam bahasa Ibrani kepada polisi: "Dia cacat, dia cacat!"
Pada saat kematiannya, petugas Israel yang hadir mengeklaim korban adalah seorang teroris karena dia mengenakan sarung tangan, dan penyelidikan dibuka untuk kasus tersebut.
Ibu Al-Hallaq mengatakan bahwa putranya autis dan tidak mengerti perintah yang diberikan petugas polisi. Seorang saksi mata mengatakan bahwa seorang polisi menembakkan peluru ke Al-Hallaq dan mencegah ambulans memberikan bantuan kepadanya.
Setelah insiden itu, protes pecah di Yerusalem dan Jaffa. Secara internasional, penembakan Al-Hallaq membuat perbandingan dengan kasus pembunuhan pria kulit hitam tak bersenjata George Floyd di Minneapolis, Amerika Serikat (AS) yang memicu demonstrasi menentang kebrutalan polisi di AS.
Otoritas pendudukan Israel telah membebaskan petugas polisi pembunuh Al-Hallaq dari penjara. Dia dibawa ke sidang awal pada Juni 2020, hanya satu hari setelah dia melepaskan tembakan mematikan ke Al-Hallaq. Identitas polisi tersebut tak diungkap pihak pengadilan.
Dakwaan terbaru terhadappelakudiajukan baru-baru ini. Dakwaan itu sebenarnya akan diajukan pada Maret 2021 lalu. Namun, sebuah petisi dari penasihat hukum terdakwa ke Mahkamah Agung Israel membuat pengajuan dakwaan ditunda.
Menurut surat kabar Haaretz, Kamis (17/6/2021), sebuah pernyataan yang dikeluarkan Oktober lalu dari unit Kementerian Kehakiman yang menyelidiki kasus tersebut menyatakan: "Almarhum tidak menimbulkan bahaya bagi polisi dan warga sipil di daerah itu".
Menurut pernyataan tersebut, polisi yang membunuh Al-Hallaq, tidak mengikuti perintah dan justru menembak korban atas kemauannya sendiri.
Korban, Eyad Al-Hallaq, 32, seorang pria autis Palestina di Yerusalem Timur. Dia ditembak mati di bagian dada sebanyak dua kali saat dalam perjalanan ke sekolah kebutuhan khusus di Kota Tua Yerusalem pada 20 Mei 2020.
Al-Hallaq didiagnosis menderita autis. Meski usianya 32 tahun, dia berpikiran seperti seorang anak berusia delapan tahun.
Pada hari pembunuhan, Al-Hallaq berlari dengan panik saat dalam perjalanan ke sekolah kebutuhan khusus karena mendenger teriakan petugas polisi Israel. Saat berlari itulah, dia ditembak dua kali di dada.
Setelah penembakan itu, Polisi Perbatasan Israel mengeluarkan pernyataan yang mengeklaim bahwa dua petugas polisi percaya Al-Hallaq membawa senjata dan mengejarnya, menembaknya hingga tewas di tempat sampah hanya beberapa meter dari sekolah kebutuhan khusus tempat dia bersekolah.
Pengasuh Al-Hallaq, Warda Abu Hadid, yang berada di tempat kejadian berteriak dalam bahasa Ibrani kepada polisi: "Dia cacat, dia cacat!"
Pada saat kematiannya, petugas Israel yang hadir mengeklaim korban adalah seorang teroris karena dia mengenakan sarung tangan, dan penyelidikan dibuka untuk kasus tersebut.
Ibu Al-Hallaq mengatakan bahwa putranya autis dan tidak mengerti perintah yang diberikan petugas polisi. Seorang saksi mata mengatakan bahwa seorang polisi menembakkan peluru ke Al-Hallaq dan mencegah ambulans memberikan bantuan kepadanya.
Setelah insiden itu, protes pecah di Yerusalem dan Jaffa. Secara internasional, penembakan Al-Hallaq membuat perbandingan dengan kasus pembunuhan pria kulit hitam tak bersenjata George Floyd di Minneapolis, Amerika Serikat (AS) yang memicu demonstrasi menentang kebrutalan polisi di AS.
Baca Juga
Otoritas pendudukan Israel telah membebaskan petugas polisi pembunuh Al-Hallaq dari penjara. Dia dibawa ke sidang awal pada Juni 2020, hanya satu hari setelah dia melepaskan tembakan mematikan ke Al-Hallaq. Identitas polisi tersebut tak diungkap pihak pengadilan.
Dakwaan terbaru terhadappelakudiajukan baru-baru ini. Dakwaan itu sebenarnya akan diajukan pada Maret 2021 lalu. Namun, sebuah petisi dari penasihat hukum terdakwa ke Mahkamah Agung Israel membuat pengajuan dakwaan ditunda.
Menurut surat kabar Haaretz, Kamis (17/6/2021), sebuah pernyataan yang dikeluarkan Oktober lalu dari unit Kementerian Kehakiman yang menyelidiki kasus tersebut menyatakan: "Almarhum tidak menimbulkan bahaya bagi polisi dan warga sipil di daerah itu".
Menurut pernyataan tersebut, polisi yang membunuh Al-Hallaq, tidak mengikuti perintah dan justru menembak korban atas kemauannya sendiri.
(min)
tulis komentar anda