Naftali Bennett, Orang Paling Dibenci di Israel tapi Jadi PM Israel
Senin, 14 Juni 2021 - 10:02 WIB
TEL AVIV - Naftali Bennett , 49, resmi menjadi perdana menteri (PM) baru Israel hari Minggu setelah PM sebelumnya, Benjamin Netanyahu, dilengserkan melalui voting Parlemen. Saat bersiap menggulingkan Netanyahu, Bennett menjelaskan kepada anak-anaknya bahwa dia menjadi orang yang paling dibenci di negara itu.
“Saya memberi tahu anak-anak saya bahwa ayah mereka akan menjadi orang yang paling dibenci di negara ini. Tetapi saya menjelaskan bahwa saya melakukannya demi negara mereka," katanya dalam wawancara dengan Times of Israel.
Bennett, ketua Yamina—partai ultranasionalis Yahudi—membentuk koalisi pembagian kekuasaan dengan pemimpin Partai Yesh Atid, Yair Lapid.
Sesuai kesepakatan koalisi, Bennett menjadi PM Israel hingga 2023 dan kemudian digantikan oleh Lapid. Koalisi yang diperkuat oleh Partai United Arab List yang pro-Palestina ini telah menamatkan rezim pemerintah PM Benjamin Netanyahu dari Partai Likud yang telah berkuasa 12 tahun.
Bennett yang dulunya adalah sekutu Netanyahu telah melanggar janjinya untuk tidak bergabung dengan pemerintahan Lapid. Dia juga mencabut pernyataannya yang mengatakan pemimpin Partai United Arab List sebagai pendukung teror. Bennett mengeklaim semua apa yang dia langgar itu "demi menyelamatkan negara".
“Janji inti dalam pemilihan ini adalah mengeluarkan Israel dari kekacauan,” katanya. "Saya adalah satu-satunya partai yang bukan 'Hanya Bibi' atau 'Siapa pun selain Bibi,' dan saya membayar harga elektoral untuk itu," paparnya. Bibi adalah nama panggilan Benjamin Netanyahu.
Partai Yamina yang dipimpin Bennett sejatinya hanya memenangkan 7 kursi Parlemen. Namun dengan koalisi baru ini, dia dan rekan koalisinya menguasai Parlemen.
Satu-satunya anggota Parlemen yang abstain adalah Said al-Harumi, dari partai United Arab List.
Tak lama setelah digulingkan, Netanyahu melalui media sosial berjanji untuk segera kembali berkuasa.
"Jangan biarkan semangat Anda jatuh," katanya di Twitter yang ditujukan untuk para pendukungnya. “Kami akan kembali—dan lebih cepat dari yang Anda kira,” ujarnya seperti dikutip Al Jazeera, Senin (14/6/2021).
Bennett merupakan mantan perwira pasukan khusus. Dia tercatat sebagai putra dari orangtua kelahiran Amerika Serikat dan tinggal bersama istrinya Galit dan empat anaknya di pusat kota Ra'anana.
Dia memasuki politik setelah menjual start-up teknologinya seharga USD145 juta pada tahun 2005, dan tahun berikutnya menjadi kepala staf untuk Netanyahu, yang saat itu berada di oposisi.
Setelah meninggalkan kantor Netanyahu, Bennett pada 2010 menjadi direktur Dewan Yesha, yang melobi pemukim Yahudi di Tepi Barat.
Dia kemudian menggemparkan politik pada 2012 ketika dia memimpin partai agama-nasionalis Jewish Home [Rumah Yahudi], yang kemudian diubah menjadi Yamina. Sejak itu, Bennett meningkatkan jumlah kursi parlemen dari kubunya hingga empat kali lipat, sambil menjadi berita utama dengan serangkaian komentar yang menghasut tentang Palestina.
Pada 2013, dia mengatakan; "Teroris harus dibunuh, bukan dibebaskan".
Dia juga berpendapat bahwa Tepi Barat tidak berada di bawah pendudukan. "Karena tidak pernah ada negara Palestina di sini," katanya saat itu.
Menurutnya, konflik Israel-Palestina tidak dapat diselesaikan tetapi harus ditanggung, seperti potongan "pecahan peluru di pantat".
Selain memegang portofolio pertahanan, Bennett pernah menjabat sebagai menteri ekonomi dan menteri pendidikan di kabinet Netanyahu.
Dia menamai kembali Partai Rumah Yahudi dengan Yamina pada tahun 2018, dan merupakan bagian dari koalisi Netanyahu. Pada tahun yang sama, koalisi itu runtuh.
Namun dia tidak diminta untuk bergabung dengan pemerintah persatuan yang dipimpin Netanyahu pada Mei tahun lalu—sebuah langkah yang dipandang sebagai ekspresi penghinaan pribadi perdana menteri terhadapnya, terlepas dari ideologi mereka yang sama.
“Saya memberi tahu anak-anak saya bahwa ayah mereka akan menjadi orang yang paling dibenci di negara ini. Tetapi saya menjelaskan bahwa saya melakukannya demi negara mereka," katanya dalam wawancara dengan Times of Israel.
Baca Juga
Bennett, ketua Yamina—partai ultranasionalis Yahudi—membentuk koalisi pembagian kekuasaan dengan pemimpin Partai Yesh Atid, Yair Lapid.
Sesuai kesepakatan koalisi, Bennett menjadi PM Israel hingga 2023 dan kemudian digantikan oleh Lapid. Koalisi yang diperkuat oleh Partai United Arab List yang pro-Palestina ini telah menamatkan rezim pemerintah PM Benjamin Netanyahu dari Partai Likud yang telah berkuasa 12 tahun.
Bennett yang dulunya adalah sekutu Netanyahu telah melanggar janjinya untuk tidak bergabung dengan pemerintahan Lapid. Dia juga mencabut pernyataannya yang mengatakan pemimpin Partai United Arab List sebagai pendukung teror. Bennett mengeklaim semua apa yang dia langgar itu "demi menyelamatkan negara".
“Janji inti dalam pemilihan ini adalah mengeluarkan Israel dari kekacauan,” katanya. "Saya adalah satu-satunya partai yang bukan 'Hanya Bibi' atau 'Siapa pun selain Bibi,' dan saya membayar harga elektoral untuk itu," paparnya. Bibi adalah nama panggilan Benjamin Netanyahu.
Partai Yamina yang dipimpin Bennett sejatinya hanya memenangkan 7 kursi Parlemen. Namun dengan koalisi baru ini, dia dan rekan koalisinya menguasai Parlemen.
Satu-satunya anggota Parlemen yang abstain adalah Said al-Harumi, dari partai United Arab List.
Tak lama setelah digulingkan, Netanyahu melalui media sosial berjanji untuk segera kembali berkuasa.
"Jangan biarkan semangat Anda jatuh," katanya di Twitter yang ditujukan untuk para pendukungnya. “Kami akan kembali—dan lebih cepat dari yang Anda kira,” ujarnya seperti dikutip Al Jazeera, Senin (14/6/2021).
Bennett merupakan mantan perwira pasukan khusus. Dia tercatat sebagai putra dari orangtua kelahiran Amerika Serikat dan tinggal bersama istrinya Galit dan empat anaknya di pusat kota Ra'anana.
Dia memasuki politik setelah menjual start-up teknologinya seharga USD145 juta pada tahun 2005, dan tahun berikutnya menjadi kepala staf untuk Netanyahu, yang saat itu berada di oposisi.
Setelah meninggalkan kantor Netanyahu, Bennett pada 2010 menjadi direktur Dewan Yesha, yang melobi pemukim Yahudi di Tepi Barat.
Dia kemudian menggemparkan politik pada 2012 ketika dia memimpin partai agama-nasionalis Jewish Home [Rumah Yahudi], yang kemudian diubah menjadi Yamina. Sejak itu, Bennett meningkatkan jumlah kursi parlemen dari kubunya hingga empat kali lipat, sambil menjadi berita utama dengan serangkaian komentar yang menghasut tentang Palestina.
Pada 2013, dia mengatakan; "Teroris harus dibunuh, bukan dibebaskan".
Dia juga berpendapat bahwa Tepi Barat tidak berada di bawah pendudukan. "Karena tidak pernah ada negara Palestina di sini," katanya saat itu.
Menurutnya, konflik Israel-Palestina tidak dapat diselesaikan tetapi harus ditanggung, seperti potongan "pecahan peluru di pantat".
Selain memegang portofolio pertahanan, Bennett pernah menjabat sebagai menteri ekonomi dan menteri pendidikan di kabinet Netanyahu.
Dia menamai kembali Partai Rumah Yahudi dengan Yamina pada tahun 2018, dan merupakan bagian dari koalisi Netanyahu. Pada tahun yang sama, koalisi itu runtuh.
Namun dia tidak diminta untuk bergabung dengan pemerintah persatuan yang dipimpin Netanyahu pada Mei tahun lalu—sebuah langkah yang dipandang sebagai ekspresi penghinaan pribadi perdana menteri terhadapnya, terlepas dari ideologi mereka yang sama.
(min)
tulis komentar anda