Assad Menang Telak Pilpres Suriah dengan Meraih 95,1% Suara
Jum'at, 28 Mei 2021 - 07:55 WIB
DAMASKUS - Presiden Bashar Al-Assad kembali memenangkan pemilihan presiden (pilpres) Republik Arab Suriah secara telak dengan meraih 95,1% suara. Dia kembali berkuasa sebagai presiden untuk periode keempat.
Assad mengalahkan dua penantang—termasuk mantan pejabat senior koalisi oposisi atau pemberontak.
Ketua Parlemen Suriah, Hammouda Sabbagh, mengatakan jumlah pemilih dalam pilpres hari Rabu lalu adalah 78% dari total rakyat Suriah yang memiliki hak pilih. Assad meraih lebih dari 13 juta suara.
Mahmoud Ahmad Marei, yang sebelumnya menjabat sebagai sekretaris jenderal koalisi pemberontak Front Nasional untuk Pembebasan Suriah, meraih sekitar 470.276 suara atau 3,1%.
Sedangkan Abdullah Sallum Abdullah dari Partai Serikat Sosialis berada di urutan ketiga dengan meraih sekitar 213.968 suara, atau 1,5%.
Jumlah total pemilih yang memenuhi syarat adalah 14.239.140 dari 18.107.000 warga Suriah yang saat ini berada di dalam atau di luar negeri. Data ini dipaparkan Menteri Dalam Negeri Muhammad al-Rahmoun.
"Terima kasih kepada semua warga Suriah atas rasa nasionalisme mereka yang tinggi dan partisipasi penting mereka," kata Assad dalam sebuah pernyataan setelah hasil pilpres diumumkan.
"Untuk masa depan anak-anak Suriah dan kaum mudanya, mari mulai besok kampanye kerja kita untuk membangun harapan dan membangun Suriah," lanjut dia, seperti dikutip Reuters, Jumat (28/5/2021).
Kubu Barat telah mengecam pilpres Suriah sebagai pemilu yang tidak sah dan tidak bebas atau adil dengan alasan bahwa rezim Assad menolak suara pengungsi dan diaspora.
Menteri luar negeri Amerika Serikat (AS), Inggris, Prancis, Jerman dan Italia memprotes pilpres tersebut karena diadakan di luar kerangka kerja yang dijelaskan dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB 2254.
Sementara Damaskus menyebut pilpres ini sesuai dengan konstitusi Suriah.
Banyak warga Suriah di luar negeri atau diaspora tidak dapat memilih karena pemerintah dan sekutunya telah menutup kedutaan besar Suriah selama satu dekade terakhir.
Lima negara Barat yang mengutuk pilpres Suriah dikenal mendukung kelompok oposisi atau pemberontak yang berusaha menggulingkan pemerintah di Damaskus sejak 2011.
Konflik Suriah diperparah dengan munculnya kelompok teroris ISIS yang pernah menduduki sebagian besar wilayah negara itu. ISIS berhasil dikalahkan setelah Rusia mengirimkan pasukan ekspedisi atas permintaan Assad pada akhir 2015.
Suriah telah mengundang pemantau pemilu internasional yang mencakup Rusia, China, India, Brazil, Afrika Selatan, Venezuela, Kuba, Nikaragua, Bolivia, Ekuador, dan Armenia.
Assad mengalahkan dua penantang—termasuk mantan pejabat senior koalisi oposisi atau pemberontak.
Ketua Parlemen Suriah, Hammouda Sabbagh, mengatakan jumlah pemilih dalam pilpres hari Rabu lalu adalah 78% dari total rakyat Suriah yang memiliki hak pilih. Assad meraih lebih dari 13 juta suara.
Mahmoud Ahmad Marei, yang sebelumnya menjabat sebagai sekretaris jenderal koalisi pemberontak Front Nasional untuk Pembebasan Suriah, meraih sekitar 470.276 suara atau 3,1%.
Sedangkan Abdullah Sallum Abdullah dari Partai Serikat Sosialis berada di urutan ketiga dengan meraih sekitar 213.968 suara, atau 1,5%.
Jumlah total pemilih yang memenuhi syarat adalah 14.239.140 dari 18.107.000 warga Suriah yang saat ini berada di dalam atau di luar negeri. Data ini dipaparkan Menteri Dalam Negeri Muhammad al-Rahmoun.
"Terima kasih kepada semua warga Suriah atas rasa nasionalisme mereka yang tinggi dan partisipasi penting mereka," kata Assad dalam sebuah pernyataan setelah hasil pilpres diumumkan.
"Untuk masa depan anak-anak Suriah dan kaum mudanya, mari mulai besok kampanye kerja kita untuk membangun harapan dan membangun Suriah," lanjut dia, seperti dikutip Reuters, Jumat (28/5/2021).
Kubu Barat telah mengecam pilpres Suriah sebagai pemilu yang tidak sah dan tidak bebas atau adil dengan alasan bahwa rezim Assad menolak suara pengungsi dan diaspora.
Menteri luar negeri Amerika Serikat (AS), Inggris, Prancis, Jerman dan Italia memprotes pilpres tersebut karena diadakan di luar kerangka kerja yang dijelaskan dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB 2254.
Sementara Damaskus menyebut pilpres ini sesuai dengan konstitusi Suriah.
Banyak warga Suriah di luar negeri atau diaspora tidak dapat memilih karena pemerintah dan sekutunya telah menutup kedutaan besar Suriah selama satu dekade terakhir.
Lima negara Barat yang mengutuk pilpres Suriah dikenal mendukung kelompok oposisi atau pemberontak yang berusaha menggulingkan pemerintah di Damaskus sejak 2011.
Konflik Suriah diperparah dengan munculnya kelompok teroris ISIS yang pernah menduduki sebagian besar wilayah negara itu. ISIS berhasil dikalahkan setelah Rusia mengirimkan pasukan ekspedisi atas permintaan Assad pada akhir 2015.
Suriah telah mengundang pemantau pemilu internasional yang mencakup Rusia, China, India, Brazil, Afrika Selatan, Venezuela, Kuba, Nikaragua, Bolivia, Ekuador, dan Armenia.
(min)
tulis komentar anda