Cari Demonstran, Pasukan Junta Myanmar Geledah Kamar Demi Kamar
Selasa, 09 Maret 2021 - 14:39 WIB
YANGON - Orang-orang yang dibarikade di lingkungan Yangon semalam mengatakan pada hari ini (9/3/2021) bahwa pasukan keamanan junta militer Myanmar menggeledah rumah mereka kamar demi kamar. Pasukan tersebut mencari pengunjuk rasa antikudeta .
Pasukan junta juga menargetkan apartemen yang mengibarkan bendera Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), partai Aung San Suu Kyi, yang menang telak pada pemilu November 2020 lalu.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan dan menahan Suu Kyi bulan lalu, memicu protes harian di seluruh negeri untuk menuntut junta memulihkan demokrasi.
Polisi dan tentara telah merespons dengan tindakan keras yang semakin brutal dan beberapa bagian dari Yangon telah muncul sebagai titik api kekerasan karena pengunjuk rasa terus menentang pihak berwenang dan turun ke jalan.
Massa sekali lagi berbondong-bondong ke pusat kota San Chaung di pusat komersial untuk menyerukan pembebasan Suu Kyi dari tahanan dalam protes hari Senin yang bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional.
Menurut kantor HAM PBB, pada malam harinya, pasukan keamanan menutup blok jalan dengan sekitar 200 pengunjuk rasa masih di dalam. Hal itu memicu kekhawatiran dari sejumlah misi diplomatik asing.
Dentuman keras terdengar dari daerah tersebut, meskipun tidak jelas apakah suara itu disebabkan oleh tembakan atau granat kejut.
Seorang penduduk setempat mengatakan kepada AFP bahwa pasukan keamanan mulai menggeledah apartemen setelah pemadaman internet setiap malam pada pukul 01.00 waktu setempat. Penggeledahan tersebut terutama ditargetkan terhadap mereka yang mengibarkan bendera merah dan emas partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) di balkon apartemen.
Seorang warga mengatakan rumahnya—yang tidak ada pengunjuk rasa yang bersembunyi di dalamnya—digeledah.
"Mereka menggeledah setiap gedung di jalan Kyun Taw—mereka menghancurkan kunci gedung apartemen jika mereka dikunci di lantai bawah," kata penduduk yang berbicara dalam kondisi anonim karena takut akan pembalasan dari pasukan junta. Dia mendengar ada puluhan orang yang ditangkap.
Menjelang fajar, pasukan keamanan telah mundur, yang memungkinkan beberapa pengunjuk rasa melarikan diri dari daerah tersebut.
San Chaung—kota yang ramai yang terkenal dengan kafe, bar, dan restorannya—telah berubah sejak protes dimulai, di mana barikade darurat dari bambu, karung pasir, meja, dan kawat berduri dipasang oleh pengunjuk rasa dalam upaya untuk memperlambat gerak pasukan keamanan.
Pagi ini para penjual makan di jalan-jalan beroperasi secara cepat. ”Kami harus menyelesaikan penjualan barang-barang kami sebelum pukul 09.00 pagi—akan ada tindakan keras lagi di jalan-jalan,” kata seorang pedagang.
Sejak kudeta, lebih dari 60 orang telah terbunuh ketika pasukan keamanan membubarkan demonstrasi anti-kudeta. Data korban tewas ini berasal dari kelompok pemantau Assistance Association for Political Prisoners.
Langkah untuk menutup jalan-jalan di San Chaung mendorong beberapa kedutaan besar di Yangon—termasuk kedutaan Amerika Serikat dan Inggris—untuk mendesak pasukan keamanan membebaskan para demonstran.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyerukan “pengekangan maksimum”, mendesak pembebasan yang aman bagi semuanya tanpa kekerasan atau penangkapan.
Penggerebekan pada Senin malam di San Chaung terjadi setelah tiga pengunjuk rasa ditembak mati pada saat demo ketika banyak toko, pabrik dan bank tutup sebagai bagian dari aksi mogok kerja untuk memprotes kudeta.
Militer membantah bertanggung jawab atas hilangnya nyawa dalam protes dan membela perebutan kekuasaan dengan menuduh ada kecurangan pemilu yang meluas dalam pemilu November lalu.
Pasukan junta juga menargetkan apartemen yang mengibarkan bendera Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), partai Aung San Suu Kyi, yang menang telak pada pemilu November 2020 lalu.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan dan menahan Suu Kyi bulan lalu, memicu protes harian di seluruh negeri untuk menuntut junta memulihkan demokrasi.
Polisi dan tentara telah merespons dengan tindakan keras yang semakin brutal dan beberapa bagian dari Yangon telah muncul sebagai titik api kekerasan karena pengunjuk rasa terus menentang pihak berwenang dan turun ke jalan.
Massa sekali lagi berbondong-bondong ke pusat kota San Chaung di pusat komersial untuk menyerukan pembebasan Suu Kyi dari tahanan dalam protes hari Senin yang bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional.
Menurut kantor HAM PBB, pada malam harinya, pasukan keamanan menutup blok jalan dengan sekitar 200 pengunjuk rasa masih di dalam. Hal itu memicu kekhawatiran dari sejumlah misi diplomatik asing.
Dentuman keras terdengar dari daerah tersebut, meskipun tidak jelas apakah suara itu disebabkan oleh tembakan atau granat kejut.
Seorang penduduk setempat mengatakan kepada AFP bahwa pasukan keamanan mulai menggeledah apartemen setelah pemadaman internet setiap malam pada pukul 01.00 waktu setempat. Penggeledahan tersebut terutama ditargetkan terhadap mereka yang mengibarkan bendera merah dan emas partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) di balkon apartemen.
Seorang warga mengatakan rumahnya—yang tidak ada pengunjuk rasa yang bersembunyi di dalamnya—digeledah.
"Mereka menggeledah setiap gedung di jalan Kyun Taw—mereka menghancurkan kunci gedung apartemen jika mereka dikunci di lantai bawah," kata penduduk yang berbicara dalam kondisi anonim karena takut akan pembalasan dari pasukan junta. Dia mendengar ada puluhan orang yang ditangkap.
Menjelang fajar, pasukan keamanan telah mundur, yang memungkinkan beberapa pengunjuk rasa melarikan diri dari daerah tersebut.
San Chaung—kota yang ramai yang terkenal dengan kafe, bar, dan restorannya—telah berubah sejak protes dimulai, di mana barikade darurat dari bambu, karung pasir, meja, dan kawat berduri dipasang oleh pengunjuk rasa dalam upaya untuk memperlambat gerak pasukan keamanan.
Pagi ini para penjual makan di jalan-jalan beroperasi secara cepat. ”Kami harus menyelesaikan penjualan barang-barang kami sebelum pukul 09.00 pagi—akan ada tindakan keras lagi di jalan-jalan,” kata seorang pedagang.
Sejak kudeta, lebih dari 60 orang telah terbunuh ketika pasukan keamanan membubarkan demonstrasi anti-kudeta. Data korban tewas ini berasal dari kelompok pemantau Assistance Association for Political Prisoners.
Langkah untuk menutup jalan-jalan di San Chaung mendorong beberapa kedutaan besar di Yangon—termasuk kedutaan Amerika Serikat dan Inggris—untuk mendesak pasukan keamanan membebaskan para demonstran.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyerukan “pengekangan maksimum”, mendesak pembebasan yang aman bagi semuanya tanpa kekerasan atau penangkapan.
Penggerebekan pada Senin malam di San Chaung terjadi setelah tiga pengunjuk rasa ditembak mati pada saat demo ketika banyak toko, pabrik dan bank tutup sebagai bagian dari aksi mogok kerja untuk memprotes kudeta.
Militer membantah bertanggung jawab atas hilangnya nyawa dalam protes dan membela perebutan kekuasaan dengan menuduh ada kecurangan pemilu yang meluas dalam pemilu November lalu.
(min)
Lihat Juga :
tulis komentar anda