Perpanjangan New START Tanda Bahwa Pemerintah AS Siap Kurangi Resiko Nuklir
Minggu, 07 Februari 2021 - 07:02 WIB
"Setiap New START berlaku di hari lain, kami menghindari penyebaran senjata nuklir tanpa batasan. New START baru sangat penting bagi keamanan nasional AS dan jelas bahwa pemerintahan Biden memahami hal itu. Perpanjangan ini juga akan memberi AS dan Rusia waktu untuk melanjutkan perjanjian pengendalian senjata," sambungnya.
New START adalah perjanjian besar terakhir dari jenisnya antara Rusia dan AS setelah Washington pada 2019 atau di era Presiden Donald Trump menarik diri dari perjanjian kontrol senjata nuklir lainnya dengan Rusia yang dikenal sebagai Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty (INF).
Perjanjian penting itu pertama kali ditandatangani untuk jangka waktu 10 tahun oleh mantan Presiden AS, Barack Obama dan mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev pada tahun 2010. Perjanjian tersebut mulai berlaku pada 5 Februari 2011.
Perjanjian tersebut membatasi jumlah senjata ofensif strategis yang dapat dimiliki kedua negara. Perjanjian itu membatasi masing-masing pihak tidak lebih dari 700 rudal balistik antarbenua (ICBM) yang dikerahkan, rudal balistik yang diluncurkan oleh kapal selam (SLBM) dan pembom berat; tidak lebih dari 1.550 hulu ledak pada ICBM yang dikerahkan, SLBM yang dikerahkan dan pembom berat untuk persenjataan nuklir; dan total 800 peluncur ICBM yang dikerahkan dan tidak dikerahkan, peluncur SLBM, dan pembom berat.
Lihat Juga: Riwayat Pendidikan Kamala Harris, Capres Pengganti Joe Biden di Pemilu Amerika Serikat 2024
New START adalah perjanjian besar terakhir dari jenisnya antara Rusia dan AS setelah Washington pada 2019 atau di era Presiden Donald Trump menarik diri dari perjanjian kontrol senjata nuklir lainnya dengan Rusia yang dikenal sebagai Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty (INF).
Perjanjian penting itu pertama kali ditandatangani untuk jangka waktu 10 tahun oleh mantan Presiden AS, Barack Obama dan mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev pada tahun 2010. Perjanjian tersebut mulai berlaku pada 5 Februari 2011.
Perjanjian tersebut membatasi jumlah senjata ofensif strategis yang dapat dimiliki kedua negara. Perjanjian itu membatasi masing-masing pihak tidak lebih dari 700 rudal balistik antarbenua (ICBM) yang dikerahkan, rudal balistik yang diluncurkan oleh kapal selam (SLBM) dan pembom berat; tidak lebih dari 1.550 hulu ledak pada ICBM yang dikerahkan, SLBM yang dikerahkan dan pembom berat untuk persenjataan nuklir; dan total 800 peluncur ICBM yang dikerahkan dan tidak dikerahkan, peluncur SLBM, dan pembom berat.
Lihat Juga: Riwayat Pendidikan Kamala Harris, Capres Pengganti Joe Biden di Pemilu Amerika Serikat 2024
(esn)
tulis komentar anda