Gadis 12 Tahun Diculik, Diperkosa dan Dirantai di Kandang Sapi Selama 5 Bulan
Kamis, 21 Januari 2021 - 14:05 WIB
FAISALABAD - Seorang gadis 12 tahun di Pakistan diculik, diperkosa berulang kali dan dipaksa menikah dengan seorang pria yang menahannya di kandang sapi selama lima bulan. Korban diselamatkan polisi yang menemukannya dalam kondisi kaki terluka akibat dirantai.
Gadis remaja non-Muslim itu telah ditahan oleh seorang pria Muslim berusia 45 tahun selama lima bulan. Selama itulah korban dipaksa untuk menyekop kotoran sepanjang hari.
Mengutip laporan The Telegraph, Rabu (20/1/2021), gadis itu diselamatkan oleh polisi di Faisalabad, Pakistan, bulan lalu. Pergelangan kakinya terluka akibat dirantai.
Kelompok hak asasi manusia (HAM) kini telah menangani kasus ini di tengah laporan bahwa sekitar 1.000 gadis Kristen dan Hindu di negara itu diculik dan dipaksa pindah agama setiap tahun.
Keluarga gadis itu menuduh bahwa mereka berulang kali mengajukan pengaduan kepada pihak berwenang setempat setelah penculikan pada 12 Juni. Namun, aduan itu diabaikan selama berbulan-bulan.
"(Dia) telah mengatakan kepada saya bahwa dia diperlakukan seperti seorang budak. Dia dipaksa bekerja sepanjang hari, membersihkan kotoran di kandang ternak. 24-7 (24 jam seminggu), dia diikat ke rantai," kata ayah korban yang identitasnya dilindungi.
Dia menambahkan bahwa, meskipun telah mengajukan banyak pengaduan ke polisi, dia tidak dapat mengajukan laporan resmi hingga September dan petugas bahkan membuat komentar rasial tentang dia dan mengancam akan menuntutnya dengan tuduhan penistaan agama.
Sang ayah juga mengkritik laporan medis yang ditugaskan pengadilan yang menyatakan gadis itu berusia 16 atau 17 tahun. Padahal, akta kelahirannya menyatakan dia berusia 12 tahun.
Korban telah ditempatkan di pengungsian perempuan saat penyelidikan sedang berlangsung.
Badan amal Aid to the Church in Need mengatakan kasus itu menimbulkan pertanyaan bagaimana Inggris membelanjakan bantuan luar negerinya, dengan lebih dari £300 juta untuk Pakistan.
Badan amal tersebut mengatakan pemerintah Inggris harus berbuat lebih banyak untuk mengatasi penganiayaan terhadap orang Kristen di luar negeri daripada mendukung rezim di mana pernikahan anak terjadi.
"Memaksa perempuan dan anak perempuan untuk menikah adalah pelanggaran hak asasi manusia yang serius yang merampas hak mereka untuk memilih masa depan mereka sendiri," kata Kantor Luar Negeri Inggris melalui seorang juru bicaranya kepada The Telegraph.
"Inggris memimpin dalam menangani praktik ini di seluruh dunia," ujarnya.
Gadis remaja non-Muslim itu telah ditahan oleh seorang pria Muslim berusia 45 tahun selama lima bulan. Selama itulah korban dipaksa untuk menyekop kotoran sepanjang hari.
Mengutip laporan The Telegraph, Rabu (20/1/2021), gadis itu diselamatkan oleh polisi di Faisalabad, Pakistan, bulan lalu. Pergelangan kakinya terluka akibat dirantai.
Kelompok hak asasi manusia (HAM) kini telah menangani kasus ini di tengah laporan bahwa sekitar 1.000 gadis Kristen dan Hindu di negara itu diculik dan dipaksa pindah agama setiap tahun.
Keluarga gadis itu menuduh bahwa mereka berulang kali mengajukan pengaduan kepada pihak berwenang setempat setelah penculikan pada 12 Juni. Namun, aduan itu diabaikan selama berbulan-bulan.
"(Dia) telah mengatakan kepada saya bahwa dia diperlakukan seperti seorang budak. Dia dipaksa bekerja sepanjang hari, membersihkan kotoran di kandang ternak. 24-7 (24 jam seminggu), dia diikat ke rantai," kata ayah korban yang identitasnya dilindungi.
Dia menambahkan bahwa, meskipun telah mengajukan banyak pengaduan ke polisi, dia tidak dapat mengajukan laporan resmi hingga September dan petugas bahkan membuat komentar rasial tentang dia dan mengancam akan menuntutnya dengan tuduhan penistaan agama.
Sang ayah juga mengkritik laporan medis yang ditugaskan pengadilan yang menyatakan gadis itu berusia 16 atau 17 tahun. Padahal, akta kelahirannya menyatakan dia berusia 12 tahun.
Korban telah ditempatkan di pengungsian perempuan saat penyelidikan sedang berlangsung.
Badan amal Aid to the Church in Need mengatakan kasus itu menimbulkan pertanyaan bagaimana Inggris membelanjakan bantuan luar negerinya, dengan lebih dari £300 juta untuk Pakistan.
Baca Juga
Badan amal tersebut mengatakan pemerintah Inggris harus berbuat lebih banyak untuk mengatasi penganiayaan terhadap orang Kristen di luar negeri daripada mendukung rezim di mana pernikahan anak terjadi.
"Memaksa perempuan dan anak perempuan untuk menikah adalah pelanggaran hak asasi manusia yang serius yang merampas hak mereka untuk memilih masa depan mereka sendiri," kata Kantor Luar Negeri Inggris melalui seorang juru bicaranya kepada The Telegraph.
"Inggris memimpin dalam menangani praktik ini di seluruh dunia," ujarnya.
(min)
tulis komentar anda