Status Darurat di Malaysia Bernuansa Politik?
Rabu, 13 Januari 2021 - 06:15 WIB
KUALA LUMPUR - Beberapa negara menempuh kebijakan pemberlakuan status darurat untuk mengendalikan pandemi korona (Covid-19) di saat vaksinasi massal menjadi fokus utama. Malaysia mengikuti Jepang memberlakukan status darurat untuk membendung penyebaran virus korona.
Namun, status darurat di Malaysia dinilai lebih bersifat politik dibandingkan di negara lain. Itu dikarenakan kepemimpinan Perdana Menteri (PM) Muhyiddin Yassin dinilai lemah dan tidak mendapatkan dukungan kuat dari parlemen. Apalagi, serangan dari kubu oposisi yang dipimpin Anwar Ibrahim masih saja terus bergulir.
(Baca juga: COVID-19 Menggila, Raja Malaysia Umumkan Keadaan Darurat )
Raja Malaysia Al-Sultan Abdullah mendeklarasikan status darurat di seluruh wilayah untuk membendung Covid-19. Status darurat akan diberlakukan hingga 1 Agustus mendatang atau tergantung dengan penyebaran virus korona di negara bagian.
“Al-Sultan Abdullah menganggap penyebaran Covid-19 dalam tahapan kritis dan perlu mendeklarasikan darurat,” demikian keterangan Istana Negara Malaysia, dilansir Reuters.
Pada Oktober lalu, Raja Malaysia Sultan Abdullah menolak status darurat virus korona. Saat itu, Raja Malaysia memiliki kekuasaan untuk menyatakan keadaan darurat jika diyakinkan bahwa ada ancaman besar bagi keamanan Malaysia.
(Baca juga: Hyundai Geser Markas di Malaysia ke RI, BKPM Sesumbar Soal Daya Saing )
Namun, status darurat di Malaysia kali ini berbeda dengan pemberlakuan status darurat sebelumnya. Dulu, pemberlakuan status darurat kerap dikaitkan dengan politik. Seperti pada September 1964, ketika terjadi konfrontasi Indonesia-Malaysia. Kemudian, September 1966 ketika pemberlakuan status darurat di Sarawak. Status darurat ketiga diberlakukan pada 1969 karena adanya kerusuhan rasisme. Status darurat keempat pada November 1977 ketika terjadi pertarungan kekuasaan di Kelantan antara UMNO (Organisasi Nasional Melayu Bersatu) dan PAS (Partai Islam se-Malaysia).
Pemberlakuan status darurat yang dilakukan di beberapa negara, termasuk di Malaysia, merupakan representasi dan bentuk respons dari kepemimpinan dan strategi yang diterapkan. "Jangan sampai satu pihak mendorong orang melakukan perjalanan dan makan di luar. Di sisi lain, mereka juga meminta masyarakat tetap hati-hati," kata Kenji Shibuya, Direktur Institute for Population Health di King's College London, dilansir CNN. "Pemerintah seharusnya meminta orang untuk melakukan aktivitas secara sukarela dan bertindak seperlunya, bukan melakukan lebih dari itu," ujarnya.
Namun, status darurat di Malaysia dinilai lebih bersifat politik dibandingkan di negara lain. Itu dikarenakan kepemimpinan Perdana Menteri (PM) Muhyiddin Yassin dinilai lemah dan tidak mendapatkan dukungan kuat dari parlemen. Apalagi, serangan dari kubu oposisi yang dipimpin Anwar Ibrahim masih saja terus bergulir.
(Baca juga: COVID-19 Menggila, Raja Malaysia Umumkan Keadaan Darurat )
Raja Malaysia Al-Sultan Abdullah mendeklarasikan status darurat di seluruh wilayah untuk membendung Covid-19. Status darurat akan diberlakukan hingga 1 Agustus mendatang atau tergantung dengan penyebaran virus korona di negara bagian.
“Al-Sultan Abdullah menganggap penyebaran Covid-19 dalam tahapan kritis dan perlu mendeklarasikan darurat,” demikian keterangan Istana Negara Malaysia, dilansir Reuters.
Pada Oktober lalu, Raja Malaysia Sultan Abdullah menolak status darurat virus korona. Saat itu, Raja Malaysia memiliki kekuasaan untuk menyatakan keadaan darurat jika diyakinkan bahwa ada ancaman besar bagi keamanan Malaysia.
(Baca juga: Hyundai Geser Markas di Malaysia ke RI, BKPM Sesumbar Soal Daya Saing )
Namun, status darurat di Malaysia kali ini berbeda dengan pemberlakuan status darurat sebelumnya. Dulu, pemberlakuan status darurat kerap dikaitkan dengan politik. Seperti pada September 1964, ketika terjadi konfrontasi Indonesia-Malaysia. Kemudian, September 1966 ketika pemberlakuan status darurat di Sarawak. Status darurat ketiga diberlakukan pada 1969 karena adanya kerusuhan rasisme. Status darurat keempat pada November 1977 ketika terjadi pertarungan kekuasaan di Kelantan antara UMNO (Organisasi Nasional Melayu Bersatu) dan PAS (Partai Islam se-Malaysia).
Pemberlakuan status darurat yang dilakukan di beberapa negara, termasuk di Malaysia, merupakan representasi dan bentuk respons dari kepemimpinan dan strategi yang diterapkan. "Jangan sampai satu pihak mendorong orang melakukan perjalanan dan makan di luar. Di sisi lain, mereka juga meminta masyarakat tetap hati-hati," kata Kenji Shibuya, Direktur Institute for Population Health di King's College London, dilansir CNN. "Pemerintah seharusnya meminta orang untuk melakukan aktivitas secara sukarela dan bertindak seperlunya, bukan melakukan lebih dari itu," ujarnya.
tulis komentar anda