10 Eks Bos Pentagon: Militer AS Harus Jauhkan Diri dari Sengketa Pemilu
Senin, 04 Januari 2021 - 15:22 WIB
WASHINGTON - Sebanyak 10 mantan menteri pertahanan Amerika Serikat (AS) atau kepala Pentagon yang masih hidup memperingatkan militer Amerika untuk menjauhkan diri dari sengketa pemilu.
Mereka mendesak militer untuk memfasilitasi transisi kekuasaan secara damai dari Presiden Donald Trump ke Presiden terpilih Joe Biden. (Baca: Ancaman Iran Makin Menjadi-jadi, AS Batal Pulangkan Kapal Induk dari Teluk )
Ke-10 mantan bos Pentagon yang menyampaikan sikap itu termasuk dua orang yang ditunjuk Presiden Trump, yakni James Mattis dan Mark Esper.
Dalam sebuah esai yang diterbitkan di The Washington Post, Ashton Carter, Leon Panetta, William Perry, Dick Cheney, William Cohen, Robert Gates, Chuck Hagel, Donald Rumsfeld, James Mattis dan Mark Esper mendesak Pentagon untuk berkomitmen pada transisi kekuasaan yang damai.
"Upaya untuk melibatkan angkatan bersenjata AS dalam menyelesaikan sengketa pemilu akan membawa kami ke wilayah yang berbahaya, melanggar hukum, dan tidak konstitusional," kata mereka dalam esai tersebut, yang menambahkan bahwa pejabat yang menyeret militer dalam sengketa pemilu akan menghadapi konsekuensi profesional dan kriminal yang serius.
Mengacu pada proses pemilu dan pengalihan kekuasaan secara damai sebagai "ciri khas demokrasi AS", para mantan bos Pentagon itu mencatat bahwa selain pemilu era Abraham Lincoln pada tahun 1860 yang pada akhirnya menyebabkan pemisahan wilayah selatan Amerika yang pro-perbudakan dan Perang Saudara AS, negara tersebut telah mengalami catatan transisi damai yang tak terputus.
"Tahun ini tidak terkecuali,” tulis mereka. (Baca juga: Lagi, Israel Kirim Sistem Rudal Iron Dome ke AS )
Para mantan menteri pertahanan, yang berasal dari kedua partai politik AS dengan Esper dan Mattis keduanya ditunjuk oleh Trump, menunjukkan bahwa semua gugatan hukum terhadap hasil pemilihan presiden (pilpres) telah ditolak oleh pengadilan, dan hasil pilpres sudah disertifikasi oleh gubernur negara bagian masing-masing.
Menurut mereka, ini adalah waktu untuk secara resmi mengesahkan suara dari Electoral College.
Mereka juga meminta Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Pertahanan Christopher Miller dan semua pejabat Departemen Pertahanan untuk memfasilitasi transisi kekuasaan ke pemerintahan Presiden terpilih Joe Biden secara penuh, kooperatif, dan transparan.
"Mereka juga harus menahan diri dari setiap tindakan politik yang merusak hasil pemilu atau menghambat keberhasilan tim baru," lanjut esai mereka.
Trump, yang menolak untuk mengakui kekalahannya dalam pilpres dari Biden, hingga baru-baru ini menahan diri dari mengizinkan lembaga pemerintah untuk bekerja sama dengan tim Biden. Padahal, izin seperti itu sudah jadi tradisi dari presiden yang akan lengser.
Pada akhir Desember lalu, Biden mengatakan bahwa orang-orang yang ditunjuk secara politik di Pentagon, yang telah dipenuhi oleh para loyalis Trump sejak pemilu, telah menolak untuk memberikan "gambaran yang jelas" tentang postur pasukan atau anggaran.
"Tidak ada yang singkat, dalam pandangan saya, tentang tidak bertanggung jawab," kata Biden di Wilmington, Delaware, yang memperingatkan bahwa musuh AS dapat memanfaatkan transisi kekuasaan tersebut.
Mereka mendesak militer untuk memfasilitasi transisi kekuasaan secara damai dari Presiden Donald Trump ke Presiden terpilih Joe Biden. (Baca: Ancaman Iran Makin Menjadi-jadi, AS Batal Pulangkan Kapal Induk dari Teluk )
Ke-10 mantan bos Pentagon yang menyampaikan sikap itu termasuk dua orang yang ditunjuk Presiden Trump, yakni James Mattis dan Mark Esper.
Dalam sebuah esai yang diterbitkan di The Washington Post, Ashton Carter, Leon Panetta, William Perry, Dick Cheney, William Cohen, Robert Gates, Chuck Hagel, Donald Rumsfeld, James Mattis dan Mark Esper mendesak Pentagon untuk berkomitmen pada transisi kekuasaan yang damai.
"Upaya untuk melibatkan angkatan bersenjata AS dalam menyelesaikan sengketa pemilu akan membawa kami ke wilayah yang berbahaya, melanggar hukum, dan tidak konstitusional," kata mereka dalam esai tersebut, yang menambahkan bahwa pejabat yang menyeret militer dalam sengketa pemilu akan menghadapi konsekuensi profesional dan kriminal yang serius.
Mengacu pada proses pemilu dan pengalihan kekuasaan secara damai sebagai "ciri khas demokrasi AS", para mantan bos Pentagon itu mencatat bahwa selain pemilu era Abraham Lincoln pada tahun 1860 yang pada akhirnya menyebabkan pemisahan wilayah selatan Amerika yang pro-perbudakan dan Perang Saudara AS, negara tersebut telah mengalami catatan transisi damai yang tak terputus.
"Tahun ini tidak terkecuali,” tulis mereka. (Baca juga: Lagi, Israel Kirim Sistem Rudal Iron Dome ke AS )
Para mantan menteri pertahanan, yang berasal dari kedua partai politik AS dengan Esper dan Mattis keduanya ditunjuk oleh Trump, menunjukkan bahwa semua gugatan hukum terhadap hasil pemilihan presiden (pilpres) telah ditolak oleh pengadilan, dan hasil pilpres sudah disertifikasi oleh gubernur negara bagian masing-masing.
Menurut mereka, ini adalah waktu untuk secara resmi mengesahkan suara dari Electoral College.
Mereka juga meminta Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Pertahanan Christopher Miller dan semua pejabat Departemen Pertahanan untuk memfasilitasi transisi kekuasaan ke pemerintahan Presiden terpilih Joe Biden secara penuh, kooperatif, dan transparan.
"Mereka juga harus menahan diri dari setiap tindakan politik yang merusak hasil pemilu atau menghambat keberhasilan tim baru," lanjut esai mereka.
Trump, yang menolak untuk mengakui kekalahannya dalam pilpres dari Biden, hingga baru-baru ini menahan diri dari mengizinkan lembaga pemerintah untuk bekerja sama dengan tim Biden. Padahal, izin seperti itu sudah jadi tradisi dari presiden yang akan lengser.
Pada akhir Desember lalu, Biden mengatakan bahwa orang-orang yang ditunjuk secara politik di Pentagon, yang telah dipenuhi oleh para loyalis Trump sejak pemilu, telah menolak untuk memberikan "gambaran yang jelas" tentang postur pasukan atau anggaran.
"Tidak ada yang singkat, dalam pandangan saya, tentang tidak bertanggung jawab," kata Biden di Wilmington, Delaware, yang memperingatkan bahwa musuh AS dapat memanfaatkan transisi kekuasaan tersebut.
(min)
tulis komentar anda