Polisi Filipina Tembak Kepala Seorang Ibu dan Anaknya, Duterte Merasa Ngeri
Selasa, 22 Desember 2020 - 15:09 WIB
MANILA - Seorang polisi Filipina yang sedang tidak bertugas membunuh secara brutal seorang Ibu dan putranya, di mana kedua korban ditembak kepalanya dari jarak dekat. Aksi polisi yang terekam dalam video itu membuat Presiden Rodrigo Duterte merasa ngeri.
"Saya tidak berpikir Anda bisa lepas dari kerasnya keadilan karena tertangkap di televisi (TV). Bahkan saya tercengang...Itu tidak adil dan terlalu brutal," kata Duterte dalam rapat kabinetnya yang disiarkan televisi pada Senin (21/12/2020) malam. (Baca: AS Gertak Iran dengan Kapal Selam Nuklir Bersenjata Rudal Tomahawk )
Presiden yang terkenal mengumbar ancaman pembunuhan terhadap para pelaku kriminal ini mengaku telah melihat video berdurasi lima menit dari aksi Sersan Jonel Nuezca, 46, yang menembak Sonya Gregorio, 52, dan putranya Anthony Gregorio, 25, dari jarak dekat pada Minggu sore di kota Paniqui, provinsi Tarlac.
Laporan polisi mengatakan pembunuhan sadis itubuntut dari perkelahian yang dimulai setelah Anthony meledakkan meriam udara yang terbuat dari pipa PVC. Aksi meledakkan meriam itu rupanya manuver korban dari pertengkaran sengit atas sengketa tanah.
Sepanjang insiden itu, Sonya memeluk putranya erat-erat untuk mencegah Nuezca membawanya.
Beberapa detik sebelum penembakan, putri Nuezca, yang masih di bawah umur, mendekati Sonya, menampar lengan wanita itu, dan menyuruhnya melepaskan putranya. (Baca juga: Potret Wuhan: Dulu Pusat Wabah COVID-19, Kini Pusat Pesta )
"Lepaskan saja dia! Lepaskan saja!" teriak gadis itu. Sonya mengatakan kepadanya: "Kamu beritahu (ayahmu) untuk melepaskan."
Ketika gadis itu berteriak bahwa ayahnya adalah seorang polisi, wanita itu menjawab "Saya tidak peduli!" dan mengejeknya.
Nuezca bertanya pada Sonya: "Apakah kamu ingin aku mengakhiri kamu sekarang?". Kemudian tanpa peringatan, dia mengeluarkan pistol 9mm dan menembak kepalanya, dengan lusinan orang menonton dan setidaknya dua orang merekam video dengan ponsel mereka. Dia kemudian menembak putra Sonya, juga di bagian kepala.
Tepat sebelum melarikan diri dari tempat kejadian, sang polisi tersebut sekali lagi menembak Sonya di kepala saat dia tergeletak di tanah.
Pembunuhan brutal itu memicu gelombang kemarahan yang diarahkan pada pemerintah dan sekali lagi menyoroti pelanggaran yang dirasakan oleh polisi yang disebut-sebut diberanikan oleh presiden.
Namun Presiden Duterte mengatakan Nuezca telah melewati batas. "Anda tidak mengikuti hukum, Anda membunuh, maka saya minta maaf. Itu bukan bagian dari kesepakatan kita tentang bagaimana kita harus melakukan pekerjaan kita...Kunci dia, dan jangan biarkan dia keluar," kata Duterte.
Dia menggambarkan tindakan Nuezca sebagai "penyimpangan" dalam kepolisian. "Dia ada yang salah di kepalanya," katanya.
Tetapi para pengkritik presiden bersikeras bahwa insiden itu bukanlah "insiden terpisah", seperti yang telah ditegaskan sekutunya, dan bahwa itu harus mengarah pada reformasi polisi. Para pengkritik mendesak Duerte menghentikan tindakan keras kontroversialnya terhadap perdagangan narkoba.
Duterte telah berdiri teguh di belakang polisi ketika jumlah kematian dalam perang narkoba melonjak melebihi 8.000 jiwa.
Kelompok hak asasi manusia telah melaporkan jumlah yang lebih tinggi, dan mengatakan kekerasan terus berlanjut bahkan ketika negara itu tetap berada di bawah penguncian akibat virus corona yang diumumkan pada bulan Maret.
Duterte mengaitkan sebagian besar pembunuhan itu dengan perang wilayah di antara geng narkoba, dan polisi yang terlibat dibebaskan dengan mengatakan mereka hanya membalas ketika ditembaki.
Dia mengatakan akan memaafkan petugas yang dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan saat melakukan tindakan keras.
Kritikus mengatakan retorika tingkat tinggi seperti itu ditafsirkan di dalam kepolisian sebagai "izin untuk membunuh".
"Pemerintah tahu bahwa pembunuhan berdarah dingin terhadap seorang Ibu dan anak di Tarlac bukan kasus tersendiri lagi. Polisi haus darah ada di mana-mana," kata anggota Kongres, Ruffy Biazon, kepada Politico, Selasa (22/12/2020). Dia mengatakan itu adalah "gejala dari apa yang bisa membuat kepolisian "sakit".
"Saya tidak berpikir Anda bisa lepas dari kerasnya keadilan karena tertangkap di televisi (TV). Bahkan saya tercengang...Itu tidak adil dan terlalu brutal," kata Duterte dalam rapat kabinetnya yang disiarkan televisi pada Senin (21/12/2020) malam. (Baca: AS Gertak Iran dengan Kapal Selam Nuklir Bersenjata Rudal Tomahawk )
Presiden yang terkenal mengumbar ancaman pembunuhan terhadap para pelaku kriminal ini mengaku telah melihat video berdurasi lima menit dari aksi Sersan Jonel Nuezca, 46, yang menembak Sonya Gregorio, 52, dan putranya Anthony Gregorio, 25, dari jarak dekat pada Minggu sore di kota Paniqui, provinsi Tarlac.
Laporan polisi mengatakan pembunuhan sadis itubuntut dari perkelahian yang dimulai setelah Anthony meledakkan meriam udara yang terbuat dari pipa PVC. Aksi meledakkan meriam itu rupanya manuver korban dari pertengkaran sengit atas sengketa tanah.
Sepanjang insiden itu, Sonya memeluk putranya erat-erat untuk mencegah Nuezca membawanya.
Beberapa detik sebelum penembakan, putri Nuezca, yang masih di bawah umur, mendekati Sonya, menampar lengan wanita itu, dan menyuruhnya melepaskan putranya. (Baca juga: Potret Wuhan: Dulu Pusat Wabah COVID-19, Kini Pusat Pesta )
"Lepaskan saja dia! Lepaskan saja!" teriak gadis itu. Sonya mengatakan kepadanya: "Kamu beritahu (ayahmu) untuk melepaskan."
Ketika gadis itu berteriak bahwa ayahnya adalah seorang polisi, wanita itu menjawab "Saya tidak peduli!" dan mengejeknya.
Nuezca bertanya pada Sonya: "Apakah kamu ingin aku mengakhiri kamu sekarang?". Kemudian tanpa peringatan, dia mengeluarkan pistol 9mm dan menembak kepalanya, dengan lusinan orang menonton dan setidaknya dua orang merekam video dengan ponsel mereka. Dia kemudian menembak putra Sonya, juga di bagian kepala.
Tepat sebelum melarikan diri dari tempat kejadian, sang polisi tersebut sekali lagi menembak Sonya di kepala saat dia tergeletak di tanah.
Pembunuhan brutal itu memicu gelombang kemarahan yang diarahkan pada pemerintah dan sekali lagi menyoroti pelanggaran yang dirasakan oleh polisi yang disebut-sebut diberanikan oleh presiden.
Namun Presiden Duterte mengatakan Nuezca telah melewati batas. "Anda tidak mengikuti hukum, Anda membunuh, maka saya minta maaf. Itu bukan bagian dari kesepakatan kita tentang bagaimana kita harus melakukan pekerjaan kita...Kunci dia, dan jangan biarkan dia keluar," kata Duterte.
Dia menggambarkan tindakan Nuezca sebagai "penyimpangan" dalam kepolisian. "Dia ada yang salah di kepalanya," katanya.
Tetapi para pengkritik presiden bersikeras bahwa insiden itu bukanlah "insiden terpisah", seperti yang telah ditegaskan sekutunya, dan bahwa itu harus mengarah pada reformasi polisi. Para pengkritik mendesak Duerte menghentikan tindakan keras kontroversialnya terhadap perdagangan narkoba.
Duterte telah berdiri teguh di belakang polisi ketika jumlah kematian dalam perang narkoba melonjak melebihi 8.000 jiwa.
Kelompok hak asasi manusia telah melaporkan jumlah yang lebih tinggi, dan mengatakan kekerasan terus berlanjut bahkan ketika negara itu tetap berada di bawah penguncian akibat virus corona yang diumumkan pada bulan Maret.
Duterte mengaitkan sebagian besar pembunuhan itu dengan perang wilayah di antara geng narkoba, dan polisi yang terlibat dibebaskan dengan mengatakan mereka hanya membalas ketika ditembaki.
Dia mengatakan akan memaafkan petugas yang dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan saat melakukan tindakan keras.
Kritikus mengatakan retorika tingkat tinggi seperti itu ditafsirkan di dalam kepolisian sebagai "izin untuk membunuh".
"Pemerintah tahu bahwa pembunuhan berdarah dingin terhadap seorang Ibu dan anak di Tarlac bukan kasus tersendiri lagi. Polisi haus darah ada di mana-mana," kata anggota Kongres, Ruffy Biazon, kepada Politico, Selasa (22/12/2020). Dia mengatakan itu adalah "gejala dari apa yang bisa membuat kepolisian "sakit".
(min)
Lihat Juga :
tulis komentar anda