Trump Tumbang, Apakah Era Populisme Akan Tenggelam?

Kamis, 03 Desember 2020 - 10:13 WIB
Selama empat tahun, Presiden Donald Trump merupakan ikon populisme sayap kanan. Trump menjadi standar bagi pemimpin populis lainnya. Foto: dok/Reuters
WASHINGTON - Selama empat tahun, Presiden Donald Trump merupakan ikon populisme sayap kanan. Trump menjadi standar bagi pemimpin populis lainnya. Seiiring dengan Trump yang tumbang pada pemilu presiden, apakah era populisme akan digantikan dengan tren politik demokratis seperti Joe Biden ? Jawabannya tidak!

Trump memang memiliki legitimasi yang kuat ketika berkuasa dengan retorika pesan hingga kebijakan yang sangat populis dan nasionalis. Dia pun menjadi juara sebagai pemimpin yang populis. Hingga kini pun hampir dipastikan belum ada pemimpin di dunia yang mampu melampui kekhasan dan kekuatan populisme yang telah dibangun Trump selama empat tahun berkuasa. (Baca: Kabinet Biden Fokus Atasi Kesenjangan)

Hingga kekalahan telak bagi pemilu presiden lalu bukan hanya menjadi tekanan bagi Trump, tetapi pemimpin populis lainnya di dunia. Para pemipin populis dunia juga berpikir kembali dengan retorika dan kebijakan anti-imigran, seksisme, dan ultranasionalisme. “Trump telah memberikan legitimasi terhadap populisme,” kata Fabrizio Tonello, profesor politik di Universitas Padua. Gaya trump mampu mempengaruhi gaya politik dalam membangun kesepakatan dan kompromi.



Namun, Trump dan pemimpin populis tetap bangga dan membusungkan dada. Trump mampu meraih 47% suara populer dengan lebih dari 73 juta suara. Ini hanya masalah waktu saja. “Saya sangat berhati-hati kalau ada anggapan kalau populisme sudah berakhir,” kata Timothy Garton Ash, profesor kajian Eropa di Universitas Oxford, dilansir New York Times. “Secara umum, anggapan itu salah. Lebih dari 70 juta rakyat AS memilih Trump,” katanya.

Meski populisme terus terkikis di AS, bahkan semakin marginal, tapi tidak dengan populisme di berbagai belahan dunia. Kenapa? Pandemi dan krisis tidak berdampak serius terhadap populisme global. Ketika pemimpin Demokratis dianggap berhasil mengatasi pandemi, toh jumlah kasus pandemi di negara yang dipimpin pemimpin demokratis juga mengalami kenaikan sama seperti negara yang dipimpin pemimpin populis. (Baca juga: Nasehat Menghadapi Ujian dan Fitnah Akhir Zaman)

Gerakan populis semakin kuat karena ketegangan ekonomi, sosial dan politik masih memanas di seluruh dunia. Apalagi dipicu lagi dengan pandemi virus korona. Media sosial juga ikut andil besar dalam menyebarkan ide dan gerakan populis dengan balutan teori konspirasi untuk mengabaikan fakta ilmiah.

Misalnya, Brasil dan India, yang memiliki pemimpin populis juga mengalami peningkatan infeksi dan tingkat kematian yang tinggi. Demikian juga kasus di negara Eropa Barat yang menjadi basis demokrasi liberal. Di Jerman yang awalnya dipuji memiliki response bagus dalam menangani pamdemi ternyata juga gagal juga membendung kenaikan jumlah kasus korona.

Di Brasil, Presiden Jair Bolsanaro yang dianggap gagal dalam mengatasi pandemi, tetapi popularitasnya justru mengalami peningkatan yang tajam. Kenapa? Kebijakan kompensasi kepada warga Brasil yang kehilangan pekerjaan mampu membangun kepercayaan terhadap Bolsanaro. (Baca juga: Perkuliahan Tahun Depan Terapkan Campuran Tatap Muka dan Daring)

Cerita yang sama juga terjadi di Rusia. Tingkat popularitas Putin pernah mencapai titik terendah sepanjang sejarah pada Mei silam hingga 59% ketika infeksi virus korona meningkat. Tapi, itu tidak berlangsung lama. Levada Center mencatat popularitas Putin meningkat hingga 69% karena dia berhasil menangkal gelombang kedua Covid-19.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan juga gagal mengatasi pandemi juga. Popularitas merosot tajam di bawah 50% selama musim semi dan panas lalu. Namun, popularitasnya kembali pulih meski kasus korona di negaranya terus meningkat.

Pemimpin populis di Asia juga menunjukkan tren menguat. Di India, Perdana Menteri (PM) Narendra Modi justru menguat karena Partai Bharatiya Janata beraliran sayap kanan nasionalis berhasil memenangkan pemilu di negara bagian. Kemudian, popularitas Presiden Filipina Rodrigo Duterte juga cenderung meningkat.

Di Eropa tengah, tren populisme juga semakin meningkat. Di Polandia, Partai Hukum dan Keadilan yang berkuasa mendoronga pembelakuan hukum aborsi yang ditentang oposisi. Di Hungaria, Perdana Menteri Viktor Orbán mengajukan perubahan undang-undang untuk memperkuat kekuasaan. Di Prancis, Marine Le Pen yang memimpin kelompok kanan jauh juga tetap memperoleh dukungan luas. (Baca juga: Manfaat konsumsi Air Rebusan Jahe di Pagi Hari)

“Gerakan populis dari dari perubahan budaya jangka panjang, sehingga kamu tidak dapat memperkirakan mereka akan tenggelam. Meskipun citra brand itu rusak dengan kekakalah Trump sebagai pemimpin global populisme,” kata Pippa Norris dari Kennedy School of Government, Universitas Harvard, kepada CNN.

Pemimpin populis muncul dipicu sejumlah peristiwa besar seperti krisis keuangan pada 2007-2008 dan gelombang pengungsi ke Eropa pada 2015. Itu mendorong munculnya partai populis yang cenderung anti-imigran.

“Kita juga menghadapi Brexit pada pertengahan 2016, dan jika kita tidak menghadapi krisis pengungsi, saya pikir hasilnya tidak akan seperti itu,” jelasnya. Dia mengungkapkan, dunia seharusnya mengingat Trump baik konsekuensi dan perubahan karenanya. “Populisme di Eropa terus tumbuh karena Trump,” ujarnya.

Bagaimana kedepannya? “Populisme akan terus berkembang di saat krisis, terutama krisis ekonomi,” katanya. Dana Moneter Internasional (IMF) telah memproyek ekonomi dunia akan berkontraksi hingga 4,4% pada 2020. Sejauh ini, ekonomi turun 1% pada 2019 dikarenakan krisis keuangan ketika tingkat pengangguran melonjak hingga 212 juta orang. (Baca juga: DPR Harap Kerawanan Pilkada Papua Mampu Diredam)

Pandemi memang menjadi kekuatan yang tidak diprediksi. Di saat PM Selandia Baru Jacinda Ardern dan PM Australia Scott Morrison sukses mengatasi pandemi. Tapi, Bolsonaro, Putin dan Erdogan yang dianggap gagal mengatasi pandemi juga terus mengalami peningkatan popularitas.

Di Eropa, Daphne Halikiopoulou dari University of Reading di Inggris mengatakan, pemilu AS mampu menjadi penyemangat kubu kiri dan tengah-kiri. “Jika Trump menang, ada perayaan bagi kelompok populis kanan jauh karena mereka mengatakan, ‘lihat, ide kita menjadi mainstream’,” kata Halikiopoulou. Tapi, sinyal yang diperoleh dari pemilu AS adalah kubu kiri dan kanan akan mencoba mencari resep baru untuk bisa menggapai akses.

Di Brasil, pemilu lokal juga menunjukkan bahwa warga Brasil masih menginginkan pemimpin populis terus berkuasa. Pada 2022m Bolsonaro juga diprediksi akan kembali menang. “Bolsonaro memang kecewa dengan apa yang terjadi di AS,” kata Mark Langevin, direktur lembaga konsultan politik BrazilWorks. Tapi, peluang Bolsonaro, menurut Langevin, masih tetap kuat. (Lihat videonya: 5 Tips Aman Menerima Paket Disaat Pandemi)

Langevin mengungkapkan, Bolsonaro memang tidak membangun kekuatan komunikasi personal yang kuat dengan pers. Misalnya, ketika dia berkunjung keliling Brasil, tak ada sepatah kata yang diungkapannya. Tapi, dia hanya makan kue para politikus lokal. “Rakyat Brasil pun sudah senang dengan gaya komunikasi seperti itu,” ujarnya.(Andika H Mustaqim)
(ysw)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More