Tank-tank Ethiopia Kepung Tigray, Ancam Warga Sipil 'Tak Ada Ampun'
Senin, 23 November 2020 - 06:31 WIB
MEKELE - Tank-tank militer Ethiopia telah mengepung Tigray dan mengancam warga sipil yang terkepung bahwa "tidak ada ampun" jika mereka tidak menyelamatkan diri sebelum serangan terakhir diluncurkan. Serangan terakhir akan diluncurkan untuk mengusir para pemimpin regional yang membangkang.
Human Rights Watch mengatakan ancaman seperti itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum internasional.
"Mulai sekarang, pertempuran akan menjadi pertempuran tank," kata juru bicara militer Ethiopia Kolonel Dejene Tsegaye Sabtu malam, menegaskan bahwa tentara berbaris di Ibu Kota Tigray; Mekele, dan akan mengepungnya dengan tank. (Baca: Ethiopia Tegaskan Akan Habis-habisan untuk Kepung Ibu Kota Tigray )
"Orang-orang kami di Mekele harus diberi tahu bahwa mereka harus melindungi diri dari artileri berat," lanjut dia, seperti dikutip AP, Senin (23/11/2020).
Dia menuduh para pemimpin Tigray bersembunyi di antara populasi kota yang berpenduduk sekitar setengah juta orang dan memperingatkan warga sipil untuk menjauh dari mereka.
"Tapi, memperlakukan seluruh kota sebagai sasaran militer tidak hanya melanggar hukum, itu juga bisa dianggap sebagai bentuk hukuman kolektif," kata peneliti Human Rights Watch Laetitia Bader di Twitter pada hari Minggu.
"Dengan kata lain, kejahatan perang," imbuh mantan penasihat keamanan nasional Amerika Serikat Susan Rice yang ikut mengomentari konflik di negara Afrika tersebut.
Perdana menteri pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Ethiopia, Abiy Ahmed, dalam sebuah pernyataan baru memberikan waktu 72 jam kepada para pemimpin Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) untuk menyerah. "Anda berada di titik tanpa harapan," katanya. (Baca juga: Pasukan Tigray Ethiopia Tembakkan Roket ke Ibu Kota Amhara )
Dia menuduh para pemimpin TPLF menggunakan situs keagamaan, hotel, sekolah dan bahkan kuburan sebagai tempat persembunyian dan menggunakan penduduk Mekele sebagai tameng manusia.
Selama berhari-hari, pemerintah Abiy menegaskan bahwa mereka bergerak ke Mekele dalam upaya terakhir untuk mengakhiri konflik mematikan yang mulai meletus pada 4 November antara pemerintah federal dan pemerintah daerah Tigray yang bersenjata lengkap.
TPLF mendominasi koalisi yang berkuasa di Ethiopia selama seperempat abad sebelum Abiy menjabat dan memperkenalkan reformasi politik yang dramatis. Pada akhirnya para pemimpin TPLF tersingkir.
Sekarang, masing-masing pihak menganggap satu sama lain sebagai kubu ilegal, memperumit permintaan internasional untuk berdialog di tengah kekhawatiran bahwa salah satu negara paling kuat di Afrika itu dapat terpecah dan mengguncang Tanduk Afrika yang strategis.
Komunikasi dan transportasi ke wilayah Tigray hampir sepenuhnya terputus. Kondisi itu sulit untuk memverifikasi klaim pihak yang bertikai.
Pemerintah Ethiopia telah mengusir seorang analis dari International Crisis Group, William Davison. Menurut organisasi itu, pemerintah belum memberikan alasan formal. "Tetapi pada akhirnya, ada sedikit keraguan bahwa alasan deportasinya berkaitan dengan situasi tegang saat ini di negara tersebut dan meningkatnya kepekaan pihak berwenang terhadap sudut pandang yang tidak mendukung gadis kebijakannya," kata organisasi itu dalam sebuah pernyataan.
"Patut dicatat bahwa pada hari yang sama Davison diusir, pihak berwenang juga mengeluarkan surat peringatan kepada koresponden kantor berita Reuters di Ethiopia dan kepada stasiun BBC serta Deutsche Welle."
Sementara itu, krisis kemanusiaan yang luas sedang berlangsung, di mana PBB mengatakan sekitar 2 juta orang di Tigray sangat membutuhkan bantuan karena makanan, bahan bakar, medis dan persediaan lainnya sangat menipis.
Dua krisis pengungsi berkembang. Pertama, lebih dari 35.000 orang Etiopia telah melarikan diri ke daerah terpencil di Sudan, tempat komunitas lokal dan kemanusiaan berjuang untuk memberi makan dan menampung mereka. Kedua, di dalam wilayah Tigray, pertempuran telah mendekati kamp-kamp yang menampung hampir 100.000 pengungsi dari Eritrea. Beberapa dari warga Eritrea kini telah melarikan diri untuk kedua kalinya, ke Sudan.
Human Rights Watch mengatakan ancaman seperti itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum internasional.
"Mulai sekarang, pertempuran akan menjadi pertempuran tank," kata juru bicara militer Ethiopia Kolonel Dejene Tsegaye Sabtu malam, menegaskan bahwa tentara berbaris di Ibu Kota Tigray; Mekele, dan akan mengepungnya dengan tank. (Baca: Ethiopia Tegaskan Akan Habis-habisan untuk Kepung Ibu Kota Tigray )
"Orang-orang kami di Mekele harus diberi tahu bahwa mereka harus melindungi diri dari artileri berat," lanjut dia, seperti dikutip AP, Senin (23/11/2020).
Dia menuduh para pemimpin Tigray bersembunyi di antara populasi kota yang berpenduduk sekitar setengah juta orang dan memperingatkan warga sipil untuk menjauh dari mereka.
"Tapi, memperlakukan seluruh kota sebagai sasaran militer tidak hanya melanggar hukum, itu juga bisa dianggap sebagai bentuk hukuman kolektif," kata peneliti Human Rights Watch Laetitia Bader di Twitter pada hari Minggu.
"Dengan kata lain, kejahatan perang," imbuh mantan penasihat keamanan nasional Amerika Serikat Susan Rice yang ikut mengomentari konflik di negara Afrika tersebut.
Perdana menteri pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Ethiopia, Abiy Ahmed, dalam sebuah pernyataan baru memberikan waktu 72 jam kepada para pemimpin Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) untuk menyerah. "Anda berada di titik tanpa harapan," katanya. (Baca juga: Pasukan Tigray Ethiopia Tembakkan Roket ke Ibu Kota Amhara )
Dia menuduh para pemimpin TPLF menggunakan situs keagamaan, hotel, sekolah dan bahkan kuburan sebagai tempat persembunyian dan menggunakan penduduk Mekele sebagai tameng manusia.
Selama berhari-hari, pemerintah Abiy menegaskan bahwa mereka bergerak ke Mekele dalam upaya terakhir untuk mengakhiri konflik mematikan yang mulai meletus pada 4 November antara pemerintah federal dan pemerintah daerah Tigray yang bersenjata lengkap.
TPLF mendominasi koalisi yang berkuasa di Ethiopia selama seperempat abad sebelum Abiy menjabat dan memperkenalkan reformasi politik yang dramatis. Pada akhirnya para pemimpin TPLF tersingkir.
Sekarang, masing-masing pihak menganggap satu sama lain sebagai kubu ilegal, memperumit permintaan internasional untuk berdialog di tengah kekhawatiran bahwa salah satu negara paling kuat di Afrika itu dapat terpecah dan mengguncang Tanduk Afrika yang strategis.
Komunikasi dan transportasi ke wilayah Tigray hampir sepenuhnya terputus. Kondisi itu sulit untuk memverifikasi klaim pihak yang bertikai.
Pemerintah Ethiopia telah mengusir seorang analis dari International Crisis Group, William Davison. Menurut organisasi itu, pemerintah belum memberikan alasan formal. "Tetapi pada akhirnya, ada sedikit keraguan bahwa alasan deportasinya berkaitan dengan situasi tegang saat ini di negara tersebut dan meningkatnya kepekaan pihak berwenang terhadap sudut pandang yang tidak mendukung gadis kebijakannya," kata organisasi itu dalam sebuah pernyataan.
"Patut dicatat bahwa pada hari yang sama Davison diusir, pihak berwenang juga mengeluarkan surat peringatan kepada koresponden kantor berita Reuters di Ethiopia dan kepada stasiun BBC serta Deutsche Welle."
Sementara itu, krisis kemanusiaan yang luas sedang berlangsung, di mana PBB mengatakan sekitar 2 juta orang di Tigray sangat membutuhkan bantuan karena makanan, bahan bakar, medis dan persediaan lainnya sangat menipis.
Dua krisis pengungsi berkembang. Pertama, lebih dari 35.000 orang Etiopia telah melarikan diri ke daerah terpencil di Sudan, tempat komunitas lokal dan kemanusiaan berjuang untuk memberi makan dan menampung mereka. Kedua, di dalam wilayah Tigray, pertempuran telah mendekati kamp-kamp yang menampung hampir 100.000 pengungsi dari Eritrea. Beberapa dari warga Eritrea kini telah melarikan diri untuk kedua kalinya, ke Sudan.
(min)
tulis komentar anda