Diseleksi Ketat, China Larang Publikasi Penelitian Asal Virus Corona
Kamis, 16 April 2020 - 10:44 WIB
BEIJING - Pemerintah China telah melarang keras memublikasikan hasil penelitian tentang asal virus corona Covid-19. Belakangan ini, sejumlah situs perguruan tinggi telah menghapus setiap jurnal tentang asal Covid-19.
Di bawah peraturan baru, semua jurnal akademik tentang Covid-19 akan disaring dan diedit terlebih dahulu sebelum dapat dipublikasikan. Bahkan, jurnal tentang asal Covid-19 harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat China.
Kebijakan baru itu dikeluarkan di tengah meluasnya wabah Covid-19 ke seluruh dunia yang menewaskan lebih dari 100.000 orang dan menyebabkan 1,7 orang jatuh sakit. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sering menyebut virus itu sebagai "virus China".
Setidaknya sejak Januari, para ahli kesehatan China juga telah memublikasikan serangkaian jurnal tentang Covid-19 di situs internasional. Beberapa laporan menyebutkan virus itu sudah ditemukan sejak Desember, tapi tidak digubris Pemerintah China.
Penemuan itu tidak hanya menuai keraguan tentang respons pemerintah dalam mengendalikan Covid-19 lebih awal, tapi juga perdebatan panjang di kalangan masyarakat China. Sebagian dari mereka meluapkan kekesalan dan kekecewaannya di media sosial.
Seorang peneliti dari China yang tidak ingin disebutkan namanya menilai langkah ini tidak tepat dan dapat mengganjal perkembangan penelitian. Karena, saat ini, para peneliti sedang melanjutkan observasi dari hasil-hasil penelitian sebelumnya.
"Saya kira kebijakan ini dikeluarkan secara terkoordinasi di tubuh pemerintah pusat untuk mengendalikan wacana. Mereka mencoba menulis wacana baru seakan-akan wabah ini tidak berasal dari China," katanya, kepada CNN. "Saya yakin pemerintah tidak akan menoleransi siapa pun yang melakukan pelanggaran," tambahnya.
Kementerian Pendidikan China menyatakan jurnal akademik tentang asal virus wajib dikelola secara ketat. Setiap hasil penelitian tidak dapat langsung dipublikasikan dan harus melalui berbagai tahapan pemeriksaan, mulai dari komite tertinggi di universitas hingga badan pemerintah.
"Semuanya harus dikirim terlebih dahulu menuju Kementerian Pendidikan. Setelah itu, kami akan mengirimnya lagi ke gugus tugas yang khusus menangani penyaringan," ungkap Kementerian Pendidikan China. "Jika gugus tugas mengesahkan, baru jurnal itu dapat dipublikasikan."
Penerbitan jurnal tentang Covid-19 juga diwajibkan menimbang nilai akademis dan waktu publikasi sehingga tidak bersinggungan dengan kondisi di lapangan. Kebijakan ini disepakati selama rapat Dewan Negara pada 25 Maret lalu.
Pengumuman tentang peraturan tersebut pertama kali dipublikasikan pada akhir pekan lalu di situs web Fudan University, Shanghai, salah satu universitas terkemuka di China. Kementerian Pendidikan juga membenarkan informasi itu.
"Jurnal seperti ini tidak seharusnya dipublikasikan karena merupakan dokumen internal," kata staf Kementerian Pendidikan yang juga tidak ingin disebutkan namanya. Beberapa jam kemudian, situs web Fudan University mati. Begitu pun dengan situs The China University of Geoscience.
Para peneliti di China mengatakan imbauan itu sudah ada sejak beberapa hari yang lalu. Namun, hanya jurnal tentang Covid-19 yang memerlukan pemeriksaan ketat, sedangkan hasil penelitian lainnya dibiarkan bebas seperti sebelumnya. Namun, ahli pernapasan David Hui Shu-cheong dari University of Hong Kong mengaku tidak menerima desakan apa pun dari Pemerintah Pusat China.
Padahal, dia bersama koleganya dari daratan utama China juga meneliti Covid-19 dan memublikasikannya pada Februari. "Prosesnya sangat sederhana. Saya telah memeriksanya sendiri sebelum dikirim ke New England Journal of Medicine (NEJM). Saya tidak mendapat larangan apa pun. Saya tak tahu, mungkin penelitian yang lain isinya terlalu sensitif," kata Hui. (Muh Shamil)
Di bawah peraturan baru, semua jurnal akademik tentang Covid-19 akan disaring dan diedit terlebih dahulu sebelum dapat dipublikasikan. Bahkan, jurnal tentang asal Covid-19 harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat China.
Kebijakan baru itu dikeluarkan di tengah meluasnya wabah Covid-19 ke seluruh dunia yang menewaskan lebih dari 100.000 orang dan menyebabkan 1,7 orang jatuh sakit. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sering menyebut virus itu sebagai "virus China".
Setidaknya sejak Januari, para ahli kesehatan China juga telah memublikasikan serangkaian jurnal tentang Covid-19 di situs internasional. Beberapa laporan menyebutkan virus itu sudah ditemukan sejak Desember, tapi tidak digubris Pemerintah China.
Penemuan itu tidak hanya menuai keraguan tentang respons pemerintah dalam mengendalikan Covid-19 lebih awal, tapi juga perdebatan panjang di kalangan masyarakat China. Sebagian dari mereka meluapkan kekesalan dan kekecewaannya di media sosial.
Seorang peneliti dari China yang tidak ingin disebutkan namanya menilai langkah ini tidak tepat dan dapat mengganjal perkembangan penelitian. Karena, saat ini, para peneliti sedang melanjutkan observasi dari hasil-hasil penelitian sebelumnya.
"Saya kira kebijakan ini dikeluarkan secara terkoordinasi di tubuh pemerintah pusat untuk mengendalikan wacana. Mereka mencoba menulis wacana baru seakan-akan wabah ini tidak berasal dari China," katanya, kepada CNN. "Saya yakin pemerintah tidak akan menoleransi siapa pun yang melakukan pelanggaran," tambahnya.
Kementerian Pendidikan China menyatakan jurnal akademik tentang asal virus wajib dikelola secara ketat. Setiap hasil penelitian tidak dapat langsung dipublikasikan dan harus melalui berbagai tahapan pemeriksaan, mulai dari komite tertinggi di universitas hingga badan pemerintah.
"Semuanya harus dikirim terlebih dahulu menuju Kementerian Pendidikan. Setelah itu, kami akan mengirimnya lagi ke gugus tugas yang khusus menangani penyaringan," ungkap Kementerian Pendidikan China. "Jika gugus tugas mengesahkan, baru jurnal itu dapat dipublikasikan."
Penerbitan jurnal tentang Covid-19 juga diwajibkan menimbang nilai akademis dan waktu publikasi sehingga tidak bersinggungan dengan kondisi di lapangan. Kebijakan ini disepakati selama rapat Dewan Negara pada 25 Maret lalu.
Pengumuman tentang peraturan tersebut pertama kali dipublikasikan pada akhir pekan lalu di situs web Fudan University, Shanghai, salah satu universitas terkemuka di China. Kementerian Pendidikan juga membenarkan informasi itu.
"Jurnal seperti ini tidak seharusnya dipublikasikan karena merupakan dokumen internal," kata staf Kementerian Pendidikan yang juga tidak ingin disebutkan namanya. Beberapa jam kemudian, situs web Fudan University mati. Begitu pun dengan situs The China University of Geoscience.
Para peneliti di China mengatakan imbauan itu sudah ada sejak beberapa hari yang lalu. Namun, hanya jurnal tentang Covid-19 yang memerlukan pemeriksaan ketat, sedangkan hasil penelitian lainnya dibiarkan bebas seperti sebelumnya. Namun, ahli pernapasan David Hui Shu-cheong dari University of Hong Kong mengaku tidak menerima desakan apa pun dari Pemerintah Pusat China.
Padahal, dia bersama koleganya dari daratan utama China juga meneliti Covid-19 dan memublikasikannya pada Februari. "Prosesnya sangat sederhana. Saya telah memeriksanya sendiri sebelum dikirim ke New England Journal of Medicine (NEJM). Saya tidak mendapat larangan apa pun. Saya tak tahu, mungkin penelitian yang lain isinya terlalu sensitif," kata Hui. (Muh Shamil)
(yuds)
tulis komentar anda